Fiqh Covid-19: Hukum Shalat Berjamaah dengan Pysical Distancing


Oleh: Abdurrahman Misno BP

Direktur Program Pascasarjana INAIS Bogor.

TendaBesarCom - Opini - Covid-19 telah memberikan banyak hikmah bagi umat Islam, salah satu bidang yang banyak terkena dampaknya adalah fiqh Islam. Sebagai hasil dari pemikiran seorang mujtahid maka fiqh Islam adalah produk pemahaman yang banyak dipengaruhi oleh keadaan masyarakat pada waktu itu, selain metode penetapan hukum yang mereka lakukan (madzhab). Maka, ketika terjadi perubahan zaman misalnya munculnya wabah ini maka berbagai dimensi fiqh Islam mengalami perubahan, bahkan bagi mereka yang belum bisa mmebedakan antara syariah dan fiqh akan gagal paham. 

Banyak sekali fiqh Islam yang kemudian mengalami perubahan karena munculnya wabah ini, diantaranya adalah; larangan oleh pemerintah dn dikukung oleh sebagian umat Islam untuk shalat berjamaah di masjid baik lima waktu ataupun Jumat dan taraweh di bulan Ramadhan. Demikian pula tidak dilaksanakannya i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, serta shalat Idhul Fitri di lapangan. 

Bagi mereka yang ingin tetap melaksanakan shalat berjamaah di masjid maka siap-siap akan mendapatkan hukuman seperti pemukulan (viral di media sosisal) dan denda yang mengancam (masih berupa ancaman). Pada wilayah yang belum terpapar virus ini (zona hijau) masih diperkenankan untuk melaksanakan dengan protokol standar penanganan Covid-19 seperti mencuci tangan dan menjaga jarak (pysical distancing). 

Pysical distancing adalah upaya menjaga jarak aman lebih kurang 1 hingga 2 meter antara manusia agar tidak terjadi penularan virus ini. Bagaimana pysical distancing dilaksanakan dalam shalat berjamaah? Padahal kita diperintahkan untuk meluruskan dan merapatkan shaf. Inilah fenomena yang menarik perhatian penulis untuk membahasnya. Terlepas dari berita dan gambar yang menyebar di media sosial mengenai pelaksanaan shalat Jumat di Rusia dengan shaf berjarak rata-rata satu meter serta pelaksanaan shalat di depan Ka’bah yang juga dilaksanakan dengan jarak satu meter antar jamaah, maka penulis juga berfikir sebelum itu apakah ini mungkin untuk dilaksanakan? Apakah shalat berjamaah di masjid dengan jarak antar Jamaah lebih kurang satu meter tidak mengurangi kesempurnaan shalat? 

Merapatkan dan meluruskan shaf adalah salah satu dari kesempurnaan shalat berjamaah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam: 

سَوُّوا صُفُوفَكُمْ , فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاةِ

“Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf adalah kesempurnaan shalat” (HR. Bukhari no.690, Muslim no.433).

Merujuk pada riwayat ini maka lurusnya jamaah dalam shalat berjamaah merupakan salah satu kesempurnaan shalat. Riwayat lainnya menyebutkan: 

سَوُّوا صُفُوفَكُمْ , فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاةِ

“Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf adalah bentuk menegakkan shalat (berjama’ah)” (HR. Bukhari no.723).

Riwayat ini menunjukkan tidak tegaknya shalat berjamaah apabila shaf mereka tidak lurus. Tentu saja bisa dipahami bahwa “tidak tegak” menunjukan ketidaksempurnaan shalat berjamaah yang tidak meluruskan shaf. Berkaitan dengan hal ini juga sebuah riwayat menyebutkan dari Abu Mas’ud radhiallahu’anhu, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِي الصَّلاةِ وَيَقُولُ : ( اسْتَوُوا , وَلا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ 

“Dahulu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memegang pundak-pundak kami sebelum shalat, dan beliau bersabda: luruskanlah (shaf) dan jangan bengkok, sehingga hati-hati kalian nantinya akan bengkok (berselisih) pula” (HR. Muslim, no. 432).

Ini adalah salah satu hikmah dari lurusnya shaf dalam shalat berjamaah yang disebutkan oleh Nabi, bahwa shaf yang tidak lurus menunjukan hati umat Islam yang tidak seiya-sekata dalam gerak dan juga langkah. Hal ini bisa dipahami, karena gesture atau gerak tubuh dalam shalat merupakan gambaran hati setiap yang melaksanakannya. 

Kembali ke permasalahan awal, bahwa lurusnya shalat merupakan salah satu bentuk kesempurnaan shalat berjamaah. Bagaimana dengan rapatnya shalat? Muhammad bin Shalih Al Utsamin mengatakan:

المعتبر المناكب في أعلى البَدَن ، والأكعُب في أسفل البَدَن

“Yang menjadi patokan meluruskan shaf adalah pundak untuk bagian atas badan dan mata kaki untuk bagian bawah badan” (Asy Syarhul Mumthi’, 3/7-13). 

Ini adalah pemahaman (fiqh) beliau atas riwayat sebelumnya yaitu bahwa meluruskan shaf adalah dengan bertemunya pundak bagian atas dan mata kaki di bagian bawah yang saling bertemu antara jamaah. Lebih detail lagi beliau mengatakan:

المساواة إنما هي بالأكعب لا بالأصابع؛ لأن الكعب هو الذي عليه اعتماد الجسم؛ حيث إنه في أسفل الساق، والساق يحمل الفخذ، والفخذ يحمل الجسم، وأما الأصابع فقد تكون رجل الرجل طويلة فتتقدم أصابع الرجل على أصابع الرجل الذي بجانبه وقد تكون قصيرة

“Meluruskan shaf adalah dengan meluruskan mata kaki bukan meluruskan jari-jari. Karena mata kaki itu yang menjadi tumpuan badan, sebab ia berada di bawah betis, dan betis yang menjadi tumpuan paha, dan paha yang menjadi tumpuan badan. Adapun jari jemari, terkadang ada orang yang tinggi badannya sehingga panjang jarinya, dan orang yang disebelahnya terkadang pendek” (Majmu’ Fatawa war Rasa’il, jilid 13. (https://ar.islamway.net/fatwa/11956).

Adapun rapatnya shaf merupakan salah satu bentuk dari sunnah Nabi, sebagaimana sabda  Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

اقيمو صفوفكم وتراصوا, فانيِّ اراكم من وراء ظهري

“Luruskan shaf kalian dan hendaknya kalian saling menempel, karena aku melihat kalian dari balik punggungku” (HR. Al Bukhari no.719).

Riwayat ini dijelaskan oleh Anas bin Malik yang menyatakan; 

كان أحدُنا يَلزَقُ مَنكِبَه بمَنكِبِ صاحبِه، وقدمَه بقدمِه

“Setiap orang dari kami (para sahabat), merapatkan pundak kami dengan pundak sebelahnya, dan merapatkan kaki kami dengan kaki sebelahnya” (HR. Al Bukhari no.725).

Atsar ini menunjukan pemahaman Anas untuk menempelkan kaki dengan kaki orang disebelahnya, serta pundak dengan pundak di sebelahnya. Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam beiau bersabda:

أقيموا الصفوف وحاذوا بين المناكب وسدوا الخلل ولينوا بأيدي إخوانكم ، ولا تذروا فرجات للشيطان ومن وصل صفا وصله الله ومن قطع صفا قطعه الله

“Luruskan shaf dan luruskan pundak-pundak serta tutuplah celah. Namun berlemah-lembutlah terhadap saudaramu. Dan jangan kalian biarkan ada celah untuk setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, Allah akan menyambungnya. Barangsiapa yang memutus shaf, Allah akan memutusnya” (HR. Abu Daud no. 666, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Al Imam Bukhari membuat judul bab:

بَاب إِلْزَاقِ الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ وَالْقَدَمِ بِالْقَدَمِ فِي الصَّفِّ  وَقَالَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيرٍ رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ

“Bab menempelkan pundak dengan pundak dan kaki dengan kaki dalam shaf. An Nu’man bin Basyir berkata: aku melihat seorang di antara kami menempelkan pundaknya dengan pundak sahabatnya”.

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengomentari bab ini dengan menyatakan.

الْمُرَاد بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفّ وَسَدِّ خَلَلِهِ ، وَقَدْ وَرَدَ الْأَمْرُ بِسَدِّ خَلَل اَلصَّفّ وَالتَّرْغِيب فِيهِ فِي أَحَادِيثَ كَثِيرَةٍ

Yang dimaksudkan dengan hal itu adalah bersungguh-sungguh dalam melurukan shaf dan menutupi celah-celah. Perintah dan anjuran untuk menutupi celah shaf  itu ada dalam banyak hadits”. [Fathul Bâri, 3/77]

Pendapat ini yang dikuatkan oleh Nashiruddin Al Albani berdasarkan zhahir dari dalil-dalil. Namun sebagian ulama mengatakan maksud dari hadits-hadits ini bukanlah menempel lahiriyah, namun maksudnya agar tidak ada celah. Sehingga tidak harus menempel. Ibnu Al Utsaimin mengatakan:

ولكن المراد بالتَّراصِّ أن لا يَدَعُوا فُرَجاً للشياطين ، وليس المراد بالتَّراص التَّزاحم ؛ لأن هناك فَرْقاً بين التَّراصِّ والتَّزاحم … لا يكون بينكم فُرَج تدخل منها الشياطين ؛ لأن الشياطِين يدخلون بين الصُّفوفِ كأولاد الضأن الصِّغارِ ؛ من أجل أن يُشوِّشوا على المصلين صلاتَهم

“Namun yang dimaksud dengan merapatkan adalah hendaknya tidak membiarkan ada celah untuk setan. Namun maksudnya rapat yang sangat rapat. Karena ada perbedaan antara at tarash (merapatkan) dan at tazahum (rapat yang sangat rapat) … maka hendaknya tidak membiarkan ada celah yang bisa membuat setan masuk. Karena setan biasa masuk ke shaf-shaf, berupa anak kambing yang kecil, sehingga bisa membuat shalat terganggu” (Asy Syarhul Mumthi’, 7/3-13).

Berdasarkan penjelasan ini, rapatnya shaf tidak harus saling menempel namun sekadar bisa menghalangi anak kambing kecil untuk bisa lewat. 

Jumhur ulama (mayoritas) berpandangan bahwa hukum meluruskan shaf adalah sunnah. Sedangkan Ibnu Hazm, Imam Bukhari, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Asy-Syaukani menganggap meluruskan shaf itu wajib. Dalil kalangan yang mewajibkan adalah berdasarkan riwayat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya kalian meluruskan shaf kalian atau tidak Allah akan membuat wajah kalian berselisih.” (HR. Bukhari, no. 717 dan Muslim, no. 436). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Tidak lurusnya shaf akan menimbulkan permusuhan dan kebencian, serta membuat hati kalian berselisih.” (Syarh Shahih Muslim, 4:157). 

Merujuk kepada beberapa pendapat sebelumnya maka shalat berjamaah dengan jarak tertentu adalah sah, namun tidak sempurna. Tentu saja hukum ini akan mengalami perubahan ketika ternyata sebab penerapan jarak ini karena adanya bahaya yang mengancam, misalnya adalah Covid-19 yang sedang mewabah ini. Seperti ketika ada orang yang sakit dengan penyakit menular pada jarak tertentu maka ketika shalat di dekatnya kita tidak boleh untuk terlalu dekat karena dikhawatirkan akan menularkan penyakitnya. 

Adanya jarak dalam shalat berjamaah khususnya di masjid saat ini karena mewabahnya virus corona menjadi alasan kuat, karena menjaga nyawa (hifdz an-nafs) merupakan tujuan dari syariat Islam. Hukum menjaga dan melindungi nyawa manusia lebih wajib dari perintah meluruskan dan merapatkan shaf, apalagi jika bahaya dari virus ini sangat jelas dan diprediksi kuat akan menular apalagi terlalu dekat dengan orang lain. Sehingga kemudian ada pemikirn selanjutnya untuk tidak melaksanakan shalat berjamaah di masjid atau shalat Idhul Fitri di mushala (lapangan) karena sebab bahaya yang mengancam nyawa manusia.

Salah satu dari tujuan Syariah Islam (maqashid syariah) adalah untuk menjaga dan melindungi nyawa manusia, sehingga ketika ia terancam maka meninggalkan sesuatu yang hukumnya sunnah menjadi boleh. Apalagi jika hal sunnah tersebut adalah pemahaman (fiqh) mujtahid dalam memahami sebuah riwayat.

Sunnah meluruskan dan merapatkan shaf merupakan bagian dari syariah Islam yang sangat terpuji karena merupakan salah satu bentuk dari kesempurnaan shalat berjamaah, namun karena bahaya dari virus corona ini yang menyebar karena kedekatan fisik menjadikan shalat berjamaah tetap sah dan boleh dilakukan walaupun memiliki jarak antara 15 cm hingga 100 cm. Karena untuk melindungi nyawa mereka dari bahaya virus ini yang bisa mengakibatkan kematian apabila tertular. Begitu bahayanya virus ini bahkan di beberapa tempat dan wilayah tidak lagi mewajibkan shalat berjamaah lima waktu termasuk shalat Jumat dan Idhul Adha. Ini adalah keadaan emergency atau darurat karena bahayanya lebih besar apabila tetap dilaksanakan. Wallahu a’lam. 

Lebih baru Lebih lama

Iklan

Iklan

Formulir Kontak