TendaBesar.Com - Jakarta - Pada saat memimpin rapat kabinet terbatas pada 18 Juni lalu, Presiden Jokowi marah-marah melihat kinerja kabinetnya masih santai-santai dalam menghadapi covid-19.
Kala itu jokowi sampai mengancam akan melakukan reshuffle kepada mereka yang kinerjanya tidak ekstra ordinary alias masih biasa-biasa saja dalam upaya penanggulangan pandemi corona.
Menanggapi hal tersebut politisi sekaligus anggota DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengatakan jika dirinya sedang menunggu momen-momen tersebut.
Bahkan Mardani memberikan tenggat waktu satu minggu Jokowi mewujudkan janjinya melakukan reshuffle kabinetnya. Kalo dalam satu minggu ini Jokowi tidak membuktikan ucapannya berarti Omdo.
"Saya enggak mau suuzon tentang reshuffle atau gimik, kalau seminggu ini enggak ada kabar, omdo," kata Mardani dalam sebuah diskusi online bertajuk 'Menanti Perombakan Kabinet', Sabtu (4/7/2020).
Mardani menilai tiga hal dari pidato Presiden yang berapi-api waktu itu. Ia mengatakan pidato itu dilihat dari sudut aktor, sudut sistem, dan sudut kultur.
"Dari sudut aktor, sebenarnya Jokowi marah pada dirinya sendiri. Sejak awal pembentukan kabinet, mestinya dibuat kabinet yang ramping, gak perlu sampai 34 cukup 20-25 saja, itu sudah maksimal. Jangankan antar menteri, antar dirjen saja susah berkordinasi", kata Mardani, Sabtu, (4/6/2020)
Mardani menilai bahwa Kementerian Pertanahan, Kementerian PUPR, dan Kementerian energi itu bisa disatukan. Demikian juga Kementerian Sosial bisa disatukan dengan Kemendagri.
"Misalnya Kementerian Pertanahan, Kementerian energi, dengan Kementerian PUPR itu bisa disatukan. Itu infrastruktur akan luar biasa sekali. Lalu Kementerian Sosial disatukan dengan Kemendagri. Ini akan membuat Pak Jokowi punya pembantu yang powerfull dan anggarannya besar. Berani enggak Pak Jokowi," tutur Mardani.
Sisi lain yang menjadi sorotan Mardani adalah sisi keserasian antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah. Tidak sedikit daerah yang mengambil inisiatif sendiri dalam mengambil kebijakan dan tidak mengindahkan arahan dari pusat. Pusat mengatakan new normal misalnya daerah menggunakan diksi yang berbeda seperti Jakarta menggunakan diksi PSBB transisi, jawa Barat menggunakan Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB).
Mardani mengatakan bahwa tidak ada kekompakan sisten yang digunakan oleh pemerintah pusat dan daerah. Ini membuat pemerintahan di bawahnya juga masyarakat ikut-ikutan tidak disiplin, Bingung mau ikut yang mana. Akhirnya mengambil inisiatif sendiri.
"Sekarang ini kita saksikan "ada mensana in corpore sano". Lu ke sana gue ke sono. Pak Presiden ke mana, Gubernurnya ke mana, Kabupaten kotanya ke mana, camat ke mana dan desa juga kemana. Kasihan ini bukan NKRI ayo di-reset balik, paket undang-undang penataan otonomi daerah kita belum kelar. Dikelarin," kata Mardani berapi-api.
Mardani mengatakan bahwa anggaran bangsa ini minim, makanya perlu skala prioritas. Jangan semuanya mau diselesaikan. Covid-19 telah membuat bangsa makin morat marit, maka prioritasnya penanganan covid-19.
"Anggaran kita itu sedikit, mbok ya diamanin yang prioritas saja. UMKM, masyarakat miskin, masyarakat miskin perkotaan. Pak Jokowi marah 18 Juni 28 Juni dirilis, ini memberi kesempatan kepada Menteri. Dengan dirilis para menteri tidak bekerja dengan baik," tegasnya. (af/tendabesar)