Oleh Mahfud Hidayat, S.S.I, M.E.
Pemerhati pendidikan dan sosial keagamaan.
TendaBesar.Com - Opini - Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal". (QS. Al Taubah, 9: 51)
Menurut para ulama tafsir, antara lain Imam Al Thabari dan Imam Al Razi, ayat ini turun berkaitan dengan kaum munafik yang merasa risih saat kaum mukminin menang perang seperti ketika perang Badar dan merasa senang saat kaum mukminin mendapat kekalahan seperti perang Uhud. Mereka dengan segala keburukan hatinya, tidak percaya bahwa semuanya terjadi atas kehendak Allah SWT.
Terkadang sifat munafik tempo dulu ini tanpa disadari hinggap pada diri kita. Ketika saudara kita mendapat kebahagiaan, kita malah jengkel bahkan ingin sekali dengan berbagai cara agar kebahagiaan itu hilang darinya. Sebaliknya ketika saudara kita celaka atau terkena musibah, kita malah senang dan mensyukurinya. Naudzu billah. Ini merupakan perilaku hasad. Jika dipelihara dalam hati kita maka akan memberangus amal baik kita. Layaknya api yang menghanguskan kayu bakar.
Di sisi lain, ayat di atas bagi orang beriman merupakan bentuk tasliyah (penghibur). Sebab tidak ada satupun yang terjadi di muka bumi melainkan sudah ditetapkan oleh Allah SWT, Tuhan Yang Mahakuasa dan Berkehendak atas atas segala sesuatu. Apapun yang menimpa kepada manusia, baik atau tidak, menang atau kalah, untung atau rugi, bagi orang beriman dimaknai sebagai ujian keimanan.
Tawakal adalah kata kuncinya. Berserah diri kepada Allah SWT bukan berarti melepaskan semuanya tanpa ada upaya dan ikhtiar. Kausalitas duniawi dimaknai sebagai hukum sebab akibat yang senantiasa menjadi barometer dalam berikhtiar. Ada evaluasi di dalamnya. Namun ketika hanya mengandalkan pada ikhtiar, seperti yang dilakukan oleh kaum Munafik yang melihat baik buruk sesuai hukum kausalitas duniawi, maka inilah bukti ketidakberdayaan kita saat didera musibah.
Tidak selamanya yang diikhtiarkan itu menjadi kenyataan. Banyak pasien yang masuk ke rumah sakit yang nomor wahid namun tidak juga kunjung sembuh. Beberapa pelajar rajin dan giat belajar hingga lulus ujian namun masa depannya tetap suram. Bahkan ketika mendapat pekerjaan yang tinggi gajinya sekalipun, dia tetap tidak menemukan kenyamanan. Apalagi saat ia di PHK, maka jiwanya akan mengalami kegoncangan. Inilah jika tawakal kepada Allah tidak menyertai langkah dan pekerjaan yang diusahakan.
Memang bagi orang biasa, musibah itu tidak diinginkan. Namun ketika menyertakan tawakkal dalam aktivitasnya, maka seseorang tidak akan berlarut-larut sedih memikirkannya. Ada Allah sebagai Pelindungnya. Dialah sebaik-baik Pelindung.
Biasanya ketika berada dalam puncak musibah, seseorang baru mendekat kepada Allah. Bisnisnya bangkrut, anak terjebak pergaulan bebas, rumangtangga berantakan, hutang menggunung, dan seabreg masalah lainnya. Saat inilah ia baru menyadari kehadiran Tuhannya. Karenanya, dalam tahapan ini, musibah itu juga perlu disyukuri sebagai tangga untuk lebih dekat kepada Allah. Dengan begitu, apa yang Allah takdirkan kepadanya, ia akan menerima dengan ikhlas. Inilah musibah yang akan menaikkan derajatnya di sisi Allah SWT.
Dengan demikian, manusia yang menyadari segala kelemahan dan kekurangannya tidak akan lepas dari tawakal. Semestinya bertawakal, berserah diri kepada Allah selalu disertakan dalam setiap ikhtiar yang dilakukannya. Karena sehebat apapun usahanya, tanpa menyertakan Allah di dalamnya, minimal putus nilai keberkahannya.
Jika keberkahan itu dicabut oleh Allah, meskipun kesuksesan yang diraih, ujungnya hanya dunia yang fana, tidak akan sampai ke akhirat. Namun dengan keberkahan yang ada, sekecil apapun hasil ikhtiarnya, ia akan mensyukurinya dan menerimanya dengan penuh keridhaan. Inilah sifat orang beriman untuk mendapat kebaikan dunia dan akhirat. Dan inilah puncak tawakal. Wallahu a'lam.
Curug Mekar Bogor, 27 Juli 2020 M. / 6 Dzulhijjah 1441 H.