Bukti Lemahnya Pengawasan Aparatur Negara Pada Kasus Buronan BLBI Djoko Tjandra



TendaBesar.Com - Jakarta - Mencuatnya kasus Djoko Tjandra buronan kasus BLBI yang leluasa menjejakkan kakinya di Indonesia membuktikan bahwa Indonesia sangat lemah dalam inteligen dan pengawasan.

Bagaimana tidak manusia yang selama ini menjai buronan penegak hukum tiba-tiba dengan mudah keluar masuk negeri berdaulat dan seperi dijadikan permainan.

Terlebih keterlibatan oknum Polri Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo dalam meloloskan pelarian Djoko Tjandra buronan kasus BLBI itu membuktikan bahwa maling kakap mampu membeli oknum pejabat di negeri ini.

Mestinya Kapolri Idham Azis tidak hanya mencopot Prasetijo dari posisinya sebagai Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri kemudian memutasinya sebagai perwira tinggi pelayanan masyarakat (Pati Yanma), melainkan dipecat secara tidak hormat dari anggota kepolisian RI.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai bahwa mekanisme pengawasan dalam kelembagaan di negeri ini sangat lemah dan kurang diperhatikan.

Julius menilai pemerintah pusat dalam hal ini presiden Jokowi tidak memperhatikan mekanisme pengawasan. Baik itu tingkat kepolisian, tingkat Kejaksaan, Komisi Yudisial, maupun di instansi Imigrasi.

"Apa yang dilakukan Djoko Tjandra betul-betul membuktikan bahwa Presiden Joko Widodo sama sekali tidak memperhatikan mekanisme pengawasan. Baik itu tingkat kepolisian tidak terlihat kinerjanya, Kejaksaan sama sekali tidak berproses, Komisi Yudisial, termasuk dari instansi Imigrasi dan Kemendagri mekanisme pengawasannya nol besar," kata Julius, Ahad, (26/7/2020).

Lebih jauh Juliu menyampaikan bahwa lemahnya pengawasan aparatur negara terlihat sejak proses pengurusan e-KTP hingga proses imigrasi.

"Mungkin sebaiknya Presiden Joko Widodo kembali berpikir untuk membubarkan komisi-komisi tersebut karena memang tidak bekerja atau mungkin dibentuk lembaga lain lain yang lebih efekti," harap Julius.

Karena itu Julius meminta presiden Jokowi melakukan pembenahan secara sungguh-sungguh. Dan pembenahan itu dimulai dari kelembagaan administrasi kependudukan.

"Baiknya presiden memerintahkan Menteri Dalam Negeri untuk membenahi akuntabilitas sistem pencatatan sipil dan pendaftaran penduduk, dari hulu ke hilir, mulai dari pencatatan kelahiran sampai dengan pencatatan kematian, bukan hanya pada soal-soal teknis di permukaan tentang KTP-el," saran Julius.

Julius juga menyarankan agar Jokowi memberikan arahan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk membahas Rancangan Undang Undang (RUU) Perlindungan data pribadi melibatkan ahli serta masyarakat sipil. 

Hal tersebut dimaksudkan agar dapat menjamin keamanan data pribadi masyarakat dan adanya jaminan terhadap pelanggaran hak-hak kebebasan sipil warga negara.

"Baiknya Presiden mendorong RUU perlindungan data peribadi melibatkan ahli serta masyarakat sipil untuk menjamin bahwa interoperabilitas data bila nantinya ada, tidak melanggar hak-hak kebebasan sipil warga dan untuk sebesar-besarnya pencapaian kesejahteraan yang adil," kata Julius. (af/tendabesar)
Lebih baru Lebih lama

Iklan

Iklan

Formulir Kontak