TendaBesar.Com - Jakarta - Kasus penyiraman air keras terhadap orang yang paling ditakuti di institusi KPK, Novel Baswedan, pelakunya dituntut dengan hukuman 1 tahun penjara.
Alasan dari dijatuhkannya hukuman hanya 1 tahun penjara karena pelaku tidak sengaja menyiramkan air keras tersebut ke muka korban, tapi Novel Baswedan yang sial dan akhirnya terkena mukanya.
Jaksa menilai penganiayaan terhadap Novel Baswedan tersebut tidak memenuhi unsur dakwaan primer terkait penganiayaan berat dari pasal 355 ayat 1.
Jaksa berdalih bahwa terdapat unsur ketidak sengajaan saat pelaku Rahmat dan Ronny melakukan menyirankan cairan asam sulfat yang mengenai dan melukai mata Novel tersebut. Menurut jaksa sebenarnya kedua pelaku berniat menyiramkan air keras tersebut ke badan Novel.
Banyak kalangan menganggap bahwa tuntutan hukuman 1 tahun atas kedua pelaku itu sangat janggal bahkan tidak sedikit yang menganggapnya dagelan.
Direktur lembaga bantuan hukum Lokataru, Haris Azhar, melihat ada kejanggalan yang terang bendrang dari peroses hingga tuntutan hukum yang dilakukan terhadap penyerang Novel tersebut.
Haris menilai adanya konflik kepentingan dari kasus persidangan kedua tersangka. Keduanya adalah polisi aktif dan didampingi oleh pengacara yang anggota polisi juga. Haris juga menyebut jika Rahmat dan Ronny hanyalah boneka dalam kasus tersebut untuk menutupi kasus sebenarnya.
"Nuansa rekayasanya sangat kental, sebagai mana ciri pengadilan rekayasa, banyak keanehan dalam persidangan", kata Haris, Jumat, (12/6/2020)
Di tempat lain, Refli Harun, justru memberikan pernyataan yang mengejutkan. Refli mendukung kedua pelaku untuk dibebaskan.
Dari hasil penelusuran Refli setelah banyak berbincang dengan korban, diduga bahwa yang saat ini menjadi tersangka adalah orang yang dipaksa mengaku dalam arti bukan pelaku yang sesungguhnya. Novel meyakini bahwa bukan mereka berdua yang menjadi pelakunya. Tapi mereka yang dikorbankan, dipaksa mengaku agar kasus segera tuntas.
Maka dari itu, Refli menyarankan kepada pihak yang berwenang agar baiknya jika mereka berdua bukan pelaku sesungguhnya, supaya keduanya dibebaskan. Sebab dalam persidangan mestinya fakta yang ditampakkan bukan rekayasa.
"Kalau keduanya bukan pelaku sesungguhnya, maka peradilan bisa menjadi peradilan sesat. Kalau keduanya bukan pelaku, semestinya keduanya dibebaskan", kata Refli, Ahad (14/6/2020) usai berkunjung ke kediaman Novel.
Refli juga melihat bahwa tuntutan yang dilakukan jaksa kepada kedua tersangka seperti melecehkan peradilan dan hukum di Indonesia.
Ada orang yang getol melakukan pemberantasan korupsi kemudian menjadi korban teror hingga melukai dan berdampak pada fisiknya kok dituntut seperti pelaku kejahatan biasa. Itu layak disebut melecehkan.
"Saya melihat tuntutan itu kok seperti melecehkan. Sebab kita lihat bersama bahwa ada pejuang anti korupsi, kemudian diteror, dianiaya sehingga berdampak besar pada fisiknya dituntut alakadarnya", sambung Refli.
Pada kasus yang sama, sebelumnya pada tahun 2018, terdapat pelaku penyiraman air keras bernama Rika Sonata dihukum dengan hukuman penjara selama 10 tahun oleh pengadilan negeri bengkulu, karena melakukan penyiraman air keras kepada Ronaldo suaminya.
Masih pada kasus yang sama, Heriyanto melakukan penyiraman air keras kepada istrinya Yeta Maryati, hingga korban meninggal dunia pada Juli 2019, dan akhirnya Heriyanto dihukum dengan kurungan penjara selama 20 tahun.
Memang demikian penyelesaian kasus di negeri Katulistiwa, pada kasus yang sama tapi perlakuan hukumnya berbeda tergantung siapa pelakunya. Jika pelakunya berpangkat maka hukumnya ringan tapi tapi jika pelakunya rakyat, maka hukumannya justru berat.
Namun demikian kita jangan cepat menjustifikasi bahwa hukuman pelaku penyiram novel akan sama sebagaimana tuntutan jaksa, sebab proses pradilan belum selesai sampai inkrah. Kita tunggu keberanian hakim (ah/tendabesar)