Oleh: Kim Bullimore
TendaBesar.Com - Opini - Selama lebih dari 120 tahun terakhir, gerakan Zionisme yang kemudian berkembang menjadi negara Israel telah membangun jaring-jaring kebohongan dalam penciptaan Israel dan konflik yang sedang berlangsung, dan sekaligus membenarkan pemusnahan etnis dan penindasan yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina.
Jaring-jaring kebohongan ini, baik tentang sejarah maupun yang sekarang terjadi, diulang terus menerus oleh media kapitalis dan pemerintahan Barat untuk memperluas cengkraman imperialis mereka di Timur Tengah, yang tidak hanya mencoba untuk memistikkan asal usul konflik maupun juga memastikan solusi yang adil tidak akan pernah tercapai.
Hanya dengan memblejeti mitos-mitos ini, memisahkan kebenaran sejarah dari fiksi para Zionis, kita bisa memahami asal-usul dan penyebab dari konflik.
MITOS #1: KONFLIK AGAMA
Mitologi Zionis seringkali mengambil skenario konflik antara Israel-Palestina sebagai konflik agama yang telah terjadi berabad-abad antara Yahudi dan Arab Palestina. Ini semata-mata adalah fiksi sejarah. Kenyataannya ini adalah konflik kolonialisme-pemukim, yang baru muncul pada awal abad ke-20. Zionisme, ideologi yang mendasari berdirinya negara Israel, muncul pada akhir abad ke-19 sebagai reaksi atas anti-Semit Eropa dan gelombang razia anti-Yahudi.
Sebagai reaksi atas penganiayaan yang dihadapi oleh kaum Yahudi di bawah kekaisaran Astro-Hungaria dan Rusia, sebagian kecil kelompok borjuis picik Yahudi Eropa mulai mengusulkan ide bahwa anti-Semit bukanlah hasil dari perkembangan sejarah namun adalah keadaan yang tidak terelakkan selama orang-orang Yahudi hidup di antara non-Yahudi. Selanjutnya, para Zionis memulai kampanye mereka untuk mendirikan tanah air “nasional”, terlepas dari fakta bahwa mereka bukan merupakan sebuah bangsa, namun kelompok agama dan budaya.
Theodore Herzl, bapak pendiri gerakan Zionis, memahami bahwa dunia sudah dipahat oleh kekuatan kolonial yang saling bersaing dan ada kemungkinan bisa jadi “tanah air nasional” Yahudi tidak bisa berdiri di Palestina. Dalam akta politik yang ditulisnya pada 1896, Negara Yahudi, Herzl mempertanyakan, “Bisa kah kita memilih Palestina atau Argentina?”
Dia mencatat bahwa gerakan Zionis akan “mengambil apa yang diberikan pada kami, dan apa yang dipilih oleh opini publik Yahudi”. Herzl juga mempertimbangkan kemungkinan mendirikan tanah air nasional mereka di Angola, Kenya, dan Afrika Utara. Setahun sebelum kematiannya pada 1904, Herzl secara antusias menerima tawaran Inggris untuk mendirikan negara Yahudi di Uganda. Namun pada 1905, Kongres Zionis menolak rencana itu demi mendirikan negara Yahudi di Palestina.
MITOS #2: ISRAEL BUKAN NEGARA KOLONI
Masyarakat koloni-pemukim jelas merupakan tipe formasi imperialis, yang mana ditujukan untuk menghapus ras populasi asli masyarakat melalui jalan apapun, termasuk pemusnahan etnis, genosida, dan/atau asimilasi.
Berbeda dengan bentuk kolonialisme lainnya yang berpusat pada eksploitasi sumber daya, kolonialisme-pemukim ini berkonsentrasi utama pada kontrol wilayah dan penghapusan populasi asli demi menggantinya dengan populasi pemukim. Sebagai akademisi Australis dan pelopor teori kolonial-pemukim, Patrick Wolfe, mencatat: “kolonialisme-pemukim menghancurkan untuk menggantikan”.
Sebelum, selama, dan setelah peletakan dasar-dasar Israel, gerakan Zionisme berupaya menguasai sebanyak mungkin wilayah (yang dulunya) Palestina, mendirikan populasi pemukim permanen dengan mengeliminasi dan menggantikan populasi asli rakyat Arab Palestina.
Sebelum 1890-an, Yahudi hanya berjumlah kurang dari 4 persen populasi Palestina. Sisanya adalah rakyat Palestina yang beragama Islam dan Nasrani yang berbahasa Arab. Saat itu, gerakan Zionis berupaya membeli tanah dari tuan-tuan tanah Palestina dan Arab, kemudian mengusir keluarga-keluarga petani yang telah bekerja di tanah itu sejak berabad-abad sebelumnya. Namun, terlihat jelas bahwa mayoritas rakyat Palestina tidak tertarik untuk menjual tanah mereka kepada populasi imigran Eropa.
Kemudian pada 1947, PBB memutuskan untuk memecah wilayah Palestina, bertentangan dengan keinginan penduduk asli Arab-Palestina, dan menyerahkan lebih dari 54 persen wilayah itu pada Zionis. Saat itu pun Yahudi hanya berjumlah 33% dari populasi, dan 67% nya rakyat Palestina yang terdiri dari 1.845.000 juta penduduk. Kurang dari setahun, pada akhir 1948, meja demografi pun terbalik, kini pemukim Yahudi menjadi mayoritas.
Ini karena, beberapa bulan menjelang usulan partisi, antara Desember 1947 dan April 1948, milisi Zionis melancarkan serangan strategis ke kota-kota dan desa-desa Palestina, meneror dan membunuh ribuan rakyat Palestina. Milisi Zionis dengan paksa mengusir 1 juta Arab di 418 dari 476 kota-kota dan desa-desa seluruh Palestina. Dengan 750.000 orang melarikan diri ke negara-negara tetangga, dan 150.000 menjadi pengungsi di dalam negara baru Zionis. Dari 418 desa dan kota yang dimusnahkan secara etnis, 385 diratakan dengan tanah begitu Israel menguasai 78 persen wilayah Palestina.
Terlepas dari apakah pemukim Israel berusaha membeli lahan atau mengambil paksa wilayah seperti yang mereka lakukan pada 1984, dinamisasi kolonial-pemukim dari gerakan Zionisme dan negara Israel tetaplah sama. Pada keduanya, gerakan Zionisme berupaya menjajah wilayah secara permanen dengan menggantikan populasi aslinya.
Hingga hari ini, Israel masih negara koloni-pemukim yang semakin bertambah besar. Di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, Israel terus menerus mencuri tanah Palestina dan melakukan pembersihan etnis terhadap rakyat Palestina demi membangun koloni illegal yang diperuntukkan hanya untuk Yahudi. Di saat yang sama, di dalam Israel sendiri, ia terus melakukan pemusnahan etnis terhadap 70.000-100.000 suku Bedouin-Badui Palestina dari tanah air mereka di Naqab (Negev), demi membangun kota-kota dan pemukiman baru Yahudi.
Laporan Khusus Persatuan Bangsa-Bangsa pada 2012 mengenai hak untuk bertempat-tinggal, mengecam Israel, menyebutkan “Dari Galiee dan Negev hingga Yerusalem Timur dan Tepi Barat, otoritas Israel melakukan pembangunan wilayah yang mengasingkan, mendiskriminasi, dan menghapus minoritas, terutama terhadap komunitas rakyat Palestina, bersamaan dengan percepatan pembangunan pemukiman Yahudi”.
MITOS #3: ISRAEL ADALAH DAUD PEMBERANI YANG MELAWAN ARAB SI JALUT/ GOLIAT
Mitologi Zionis secara konsisten menggambarkan Israel yang berusaha bertahan dalam perang Daud dan Jalut, melawan negara-negara Arab yang agresif dan mencari kesempatan sekecil apapun untuk menghancurkannya. Bahkan hingga sekarang, kelahiran negara Zionis pada 1948 dan perang 1967 yang mana Israel berhasil menguasai Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur digambarkan dengan mitos ini.
Narasi ini tidak ditentang secara sistematis hingga kemunculan para “sejarawan baru” Israel pada 1980-an. Para sejarawan baru seperti Avi Shlaim membongkar “mukjizat” kelahiran negara Israel yang melawan gerombolan Arab yang “berjumlah sangat besar” adalah mitos.
Menurut Shlaim, pada pertengahan Mai 1948, “jumlah total tentara Arab, baik regular maupun non-reguler, yang bertarung di arena Palestina hanya di bawah 25.000 tentara, di mana tentara militer Israel (IDF) mencapai 35.000 tentara”. Pada pertengahan Juli, tentara Israel mencapai 65.000, bertambah lagi menjadi 96.000 pada Desember 1948. Di tambah lagi, militer Zionis jauh lebih terlatih dan disiplin dibandingkan dengan militer Arab. Seperti yang dicatat Shlaim, “Hasil akhir perang bukanlah mukjizat, namun hasil yang sudah pasti dari ketidakseimbangan militer dalam arena Palestina”.
Hal yang sama juga terjadi pada perang 1967, Israel digambarkan menghadapi kehancuran di tangan agresi Arab. Menurut menteri luar negeri Israel, Abba Eban – dalam pidatonya di depan PBB pada 19 Juni 1967 yang merupakan pembenaran penaklukan Israel pada wilayah Palestina, Mesir, dan Suriah – negara Israel menghadapi pilihan nyata “untuk hidup atau mati, untuk membela eksistensi nasional atau terhapus selama-lamanya”. Namun, dalam Perang Enam Hari yang dilakukan Israel pada 5 Juni pada Mesir, Suriah, dan Yordan bukanlah perang mempertahankan diri, namun perang perluasan, memberikan kesempatan pada Israel untuk mengambil alih dan menjajah sisa-sisa Palestina.
Sebagai sejarawan Israel, Ilan Pappe menulis dalam buku terbarunya, Sepuluh Mitos Israel, sejak tahun 1948, elit militer dan politik Israel selalu mencari cara untuk menguasai sisa-sisa Palestina untuk mendirikan “Israel yang lebih besar”. Menurut Pappe, perang 1967 adalah “kesempatan terbaik” untuk melakukannya.
Sebelum perang dimulai, baik Israel maupun Amerika Serikat menyadari bahwa presiden Mesir, Gamal Nasser tidak mencari peperangan. Pada saat pergerakan tentara Mesir, Yitzhak Rabin, kepala angkatan bersenjata Israel, menginformasikan pemerintahnya bahwa meski militer Mesir telah berada di Sinai, mereka tidak berada dalam posisi menyerang dan bahwa “Nasser tidak menginginkan perang”. Perdana Mentri Israel Menachem Begin, yang menjabat mentri kabinet dalam pemerintahan “persatuan” selama Perang Enam Hari, belakangan mengakui bahwa Israel lah penyerang, ia berkata “Kita harus jujur pada diri kita sendiri. Kita lah yang memutuskan untuk menyerangnya.”
Presiden dan Mantan Mentri Pertahanan Israel Ezer Weizmann, yang mejabat sebagai kepala operasi militer pada 1967 dan berperan penting dalam peluncuran perang Juni, juga mengakui bahwa sebenarnya Israel tidak menghadapi ancaman penghancuran apapun dan bahwa pimpinan militer Israel meyakinkan bahwa, jika pun Mesir menyerang terlebih dulu, dia akan “menderita kekalahan telak” dalam 13 jam.
Pada 1972, jenderal Mattiyahu Peled, yang memimpin peperangan Israel pada 1967, pernah sekali memblejeti mitos yang menyebutkan kalau Israel pergi perang karena menghadapi ancaman kehancuran. Menurut Peled, klaim itu hanya “bohongan”, dan Israel tidak menghadapi ancaman apapun. Peled kemudian mengecam aksi Israel sebagai “kampanye sinis atas ekspansi wilayah”.
Hari ini, Israel merupakan salah satu dari kekuatan militer terkuat di dunia. Menurut ranking dari Global Firepower pada 214, kapabilitas militer Israel menduduki ranking 11 dari 133 negara, empat posisi lebih banyak dari Kanada, dan Sembilan posisi lebih banyak dari Australia. Sejak Perang Dunia Kedua, Israel menjadi penerima bantuan luar negeri terbanyak AS. Pada 2016, AS menandatangani perjanjian baru berupa bantuan militer berjangka waktu 10 tahun dengan Israel, dengan nilai terbanyak dalam sejarah Amerika Serikat, bernilai 38 miliar dolar AS. Perjanjian itu lebih banyak 27 persen dari perjanjian bantuan militer antara AS dan Israel sebelumnya, yang ditandatangani pada 2007.
Imperialisme AS mencari akses untuk menguasai minyak mentah dan gas alam di Timut Tengah. Dengan ini, Israel menjadi ketua sekutu imperialisme AS, dan aliansi AS-Israel didasarkan pada kepentingan politik yang sama – melawan segala bentuk radikalisme di Arab yang dapat mengancam dominasi AS dan Israel di wilayah itu.
MITOS #4: ISRAEL ADALAH SATU-SATUNYA NEGARA DEMOKRATIS DI TIMUR TENGAH
Israel seringkali dipuji sebagai “satu-satunya negara demokratis di Timur Tengah”. Tapi kenyataannya sangat jauh dari demokrasi untuk seluruh rakyatnya, ia adalah negara etnokratik yang tidak memberikan hak yang sama bagi seluruh rakyatnya. Satu dari undang-undang pertama yang disahkan Israel pada 1949 adalah hukum properti “Absen”, yang memungkinkan penyitaan tanah dan properti milik lebih dari 1 juta rakyat Palestina yang telah diusir paksa meninggalkan tanah airnya oleh milisi Zionis pada 1948.
Antara 1949 dan 1966, warga Palestina di Israel dipaksa hidup di bawah darurat militer. Tidak seperti warga Yahudi di negara Zionis, warga Palestina setiap hari berada di bawah represi politik dan dibatasi oleh jam malam, gubernur militer Israel dapat mengatur hidup rakyat Palestina seenaknya. Meskipun menjadi warga negara Israel, rakyat Palestina tidak bisa meninggalkan atau memasuki kota-kota mereka tanpa izin, pembatasan juga dilakukan terhadap pendidikan dan pekerjaan mereka, serta pelarangan segala aktivitas politik dan organisasi.
Aktivis dan novelis Palestina, Odeh Bisharat, menceritakan melalui Haaretz pada 16 Juni 2013 pengalaman keluarganya sendiri di bawah rezim militer Israel antara 1949 dan 1966. Selain perjuangan sehari-hari untuk mendapatkan izin keluar untuk bekerja di “kota-kota Yahudi”, Bisharat mencatat bahwa Shin Bet (polisi rahasia Israel) dan jaringan kolaborator informannya berada di mana-mana dalam kehidupan semua orang Palestina, demi memastikan bahwa “pemerintahan militer menetap di rumah-rumah kami, terletak antara seprai tempat tidur kami, berada antara ayah dan anak, suami dan istrinya, hingga segala sesuatu tampak seperti tersangka”.
Menurut peneliti Sarah Ozacky-Lazar, peraturan militer Israel yang “menembus semua bidang kehidupan sipil dan menjadi instrument negara sebagai kontrol politik, ekonomi, dan sosial atas minoritas Arab”.
Meski rezim militer Israel secara formal berakhir pada 1966, rakyat Palestina yang berwarganegara Israel tetap tidak memiliki hak sipil demokratis yang sama dengan warga Yahudi di sana. Menurut kelompok hak asasi manusia Israel, Adalah – Pusat Hukum bagi Minoritas Arab – sejak 1948, lebih dari 50 undang-undang diskriminatif terhadap rakyat Palestina telah disahkan, yang mana mencapai 20 persen dari penduduk Israel.
Pada tahun 2015 dan 2016, Israel mensahkan tujuh undang-undang lanjutan yang mendiskriminasi warga negara Palestina dan orang-orang Palestina yang hidup di bawah pendudukan Zionis di Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Gaza. Adalah menjelaskan bahwa undang-undang baru ini, “menghancurkan perlindungan hukum paling dasar, hak asasi dan kebebasan, termasuk hak untuk memilih dan dipilih, berekspresi politik, prosedur keamanan dasar bagi tahanan, dan kepemilikan properti.
Di antaranya adalah undang-undang yang memperkenankan mayoritas Yahudi di Knesset (parlemen Israel) untuk mengeluarkan anggota Arab yang terpilih dan daftar politik mereka hanya berdasarkan perbedaan pertimbangan politik maupun ideologi. Menurut Adalah, undang-undang ini adalah “cara terbaru pemerintah untuk mendelegitimasi perwakilan politik terpilih dari minoritas rakyat Palestina di Israel”, diikuti dengan berbagai undang-undang berikutnya termasuk “Undang-Undang Pemilihan Umum”, “Undang-Undang Nakba”, dan “Undang-Undang Boikot” demi membungkam suara rakyat Arab Palestina.
REALITAS DARI REZIM APARTHEID ISRAEL
Meskipun ada lebih dari 50 undang-undang yang mendiskriminasi warga negara non-Yahudi di Israel, pemerintah dan para pendukungnya menyangkal sifat apartheid dari negara Zionis itu, mengklaim bahwa Israel sama sekali bukan seperti Afrika Selatan.
Meski Israel tidak mau mengakui kesamaannya dengan rezim apartheid di Afrika Selatan terhadap rakyat Palestina , ia memaksakan sistem di mana hak dan keistimewaan diberikan dengan basis identitas etnis dan agama, yang sesuai dengan definisi apartheid yang disebutkan dalam Konvensi Internasional untuk Supresi dan Hukuman atas Kejahatan Apartheid pada 1973.
Menurut konvensi tersebut, apartheid terdiri dari penyangkalan hak untuk hidup bagi kelompok ras tertentu, ancaman penangkapan sewenang-wenang, penahanan illegal, pencederaan fisik dan mental serius (seperti penyiksaan atau hukuman yang merendahkan martabat), pengeksploitasi kelompok ras tertentu dengan kerja paksa dan pembuatan kondisi kehidupan yang bertujuan untuk menghancurkan – sebagian atau keseluruhan – kelompok tersebut.
Selanjutnya, Pasal Dua konvensi tersebut mendefinisikan apartheid sebagai penyangkalan atas “hak asasi dan kebebasan dasar” terhadap kelompok ras dan pelaksanaan “segala tindakan legislatif dan tindakan lainnya yang diperhitungkan untuk mencegah satu atau banyak kelompok ras tertentu dari partisipasinya di kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya dalam negara”, ini termasuk hak atas kewarganegaraan, pendidikan, pekerjaan, kebebasan berpendapat dan berekspresi, berkumpul dan berserikat dan kebebasan bertempat tinggal dan berpindah tempat.
Di saat rakyat Palestina berkewarganegaraan Israel tunduk pada hukum apartheid di berbagai bidang seperti kepemilikan atas tanah, aktivitas kerja dan politik, salah satu undang-undang apartheid paling terkenal di Israel, Undang-Undang Kewarganegaraan dan Masuk Israel (Ketentuan Sementara), disahkan pada 2003. Undang-undang ini melarang pemberian kewarganegaraan atau status kependudukan kepada rakyat Palestina dari wilayah yang diduduki, termasuk dari Arab lainnya seperti Iran, Libanon, Suriah dan Irak, yang menikah dengan warga negara Israel. Menurut Adalah, undang-undang ini secara spesifik mempengaruhi rakyat Palestina yang berkewarganegaraan Israel, mencegah ribuan keluarga untuk hidup bersama.
Rezim apartheid Israel diterapkan baik terhadap rakyat Palestina yang tinggal di Israel maupun rakyat Palestina yang tinggal di wilayah pendudukan militer Israel. Sejak 1967, rakyat Palestina yang tinggal di wilayah pendudukan harus tunduk pada undang-undang militer, yang mengendalikan setiap aspek kehidupan mereka sehari-hari. Rakyat Palestina selalu dikenai berbagai hukuman dan pembatasan, termasuk penghancuran perumahan dan perkebunan mereka, dan pembatasan kebebasan bergerak.
Rezim apartheid Israel di wilayah pendudukan juga memungkinkan penahanan dan penangkapan sejumlah besar warga sipil tanpa melalui pengadilan. Tahanan Palestina, dan pengacara mereka, tidak memiliki hak untuk mengetahui atas tuduhan apa mereka ditangkap dan tidak berhak mengakses “barang bukti” militer yang digunakan untuk menuntut mereka.
Sejak 1967, lebih dari 40 persen populasi laki-laki Palestina, termasuk anak-anak di bawah umur, pernah ditahan oleh Israel. Menurut Addameer, Asosiasi Hak Asasi dan Bantuan Tahanan Palestina, “Penyiksaan fisik dan psikologi terhadap rakyat Palestina dan tahanan Arab telah menjadi faktor pembeda dari pendudukan Israel sejak 1967”. Asosiasi tersebut memperkirakan bahwa sejak awal Intifada Pertama tahun 1987, setidaknya ada 30.000 rakyat Palestina yang telah disiksa oleh Israel.[]
Tulisan ini diterjemahkan dari artikel Debunking the myths of Israel/Palestine yang ditulis oleh Kim Bullimore di Red Flag Australia pada 5 Agustus 2017. Artikel asli dapat diakses di https://redflag.org.au/node/5943.
Diterjemahkan oleh Aghe Bagasatriya, anggota Solidaritas Rakyat untuk Pembebasan Palestina (SRuPP).