Sahabat Surat Miskin Part ke-2

Jangan ratapi nasib yang kurang beruntung, bangkit dan berjuanglah merubah nasibmu. goodnewsfromindonesia.id

"Tidak Cukup Meratapi Nasib" 
by Elbar

TendaBesar.Com - Kisah - Akhirnya hal yang paling ia takutkan itupun tiba “Perpisahan”. Kata itu senantiasa menjadi hantu dalam benaknya. Berpisah dengan teman-temannya, berpisah dengan guru-gurunya, berpisah dengan sekolahnya dan berpisah dengan jalan yang senantiasa dilaluinya. Ya  pada hari itu tepatnya hari sabtu 16 Juli 1993 acara perpisahan itu digelar, semua temannya merasa gembira, senang, dan bahagia. 

Mereka gembira dengan keberadaan status yang akan segera berubah dari siswa SD menjadi siswa SMP atau MTs, senang dengan semakin dekatnya kenyataan yang pernah dicita citakan, ada yang ingin melanjutkan ke pondok pesantren Nurul Hakim, Ponpes Al Aziziyah dan ponpes-ponpes lainnya. Ada yang mau ke SMPN 1 Gunung Sari, Madrasah Tsanawiyah favorit Sesela, bahkan ada juga yang mau melanjutkan ke luar daerah. Ya hari itu mereka bahagia karena dalam khayal mereka di sekolah baru pasti akan menemukan pengalaman baru, teman baru, guru baru dan lingkungan yang baru. Ehm… indah memang khayalan yang mungkin akan segera menjadi kenyataan..

Namun berbeda dengan Mahmud, ia justru bermurung hati, perasaannya sangat sedih dengan acara itu, tak terasa air matanya mengalir deras membasahi pipinya. Dia menyendiri di sumur tua di belakang sekolahnya, dirinya takut bertemu dengan teman-temannya yang lain, semakin dalam ia meratapi nasibnya yang lahir dari pasangan keluarga kurang beruntung di desa itu, ayahnya tercinta Amak Syawaludin dan ibunya tersayang Inak Rukiyah, semakin deras pula air matanya bercucuran. Masih terngiang dalam telinganya kata-kata sang ayah :

"Nak kamu harus bersabar ya..? ayah tidak bisa melanjutkan pendidikan kamu ke Tsanawiyah karena ayah  tidak kuasa menanggung beban biayamu, bagaimana ayah mampu menyekolahkan kamu ke jenjang yang lebih tinggi sementara pekerjaan ayah hanya sebagai buruh kayu bakar yang hasilnya hanya cukup untuk makan kita sehari hari”. 

“Ya Allah seberat inikah Engkau menyertai hidup kedua orang tua hamba..? gumamnya

Di sela-sela pikirannya yang penuh dengan kesedihan Mahmud-pun teringat dengan tragedi sebulan yang lalu di saat beberapa hari menjelang EBTANAS. Pada hari itu  semua siswa kelas 6 yang berjumlah 39 orang ditanya satu persatu oleh pak guru Najamuddin wali kelasnya. Sebelumnya pertanyaan diarahkan kepada masing-masing siswa, pak guru memberikan wejangan yang menyemangati para siswa-siswi agar tetap belajar meskipun menghadapi berbagai rintangan.

“Anak-anakku sekalian…” 

Begitulah  beliau membuka wejangannya…

“Kalian harus terus dan terus belajar, lanjutkan pendidikan kalian sampai jenjang yang paling tinggi, karena dengan memiliki ilmu pengetahuan kalian akan mampu bersaing dalam menempuh hidup yang semakin sulit dimasa kalian. Tidak sedikit orang kaya yang akhirnya anak-anaknya menjadi miskin dan melarat karena mereka mengabaikan dan menyepelekan pendidikan. Namun banyak pula orang miskin yang anak-anaknya menjadi sukses karena mereka bersungguh-sungguh dalam memperhatikan pendidikan. Ingatlah akan firman  Allah ini semoga menjadi semangat yang selalu terhujam dalam hati kalian:

“…Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. 58, Al Mujadilah:11)

Demikianlah pak Guru Najamuddin,  begitu ia biasa dipanggil… dengan semangat berapi-api memberikan wejangannya kepada siswa-siswinya. Tidak cukup mengutif ayat Al Qur’an, di akhir motivasinya beliau mengutif sebuah I’tibar yang artinya:

“Barang siapa yang menghendaki dunia maka gapailah ia dengan ilmu, barang siapa yang menginginkan hidup bahagia di akhirat maka capailah dia dengan ilmu dan barang siapa yang menghendaki keduanya maka raihlah ia dengan ilmu”.

Setelah selesai memberikan motivasi kepada siswa-siswinya, pak Guru Najamuddin bertanya kepada setiap siswanya, pertanyaan pertama ditujukan kepada siswa yang terkenal paling kaya di kelas itu namanya Mohammad Mohli

“Mohli..! kamu rencananya mau melanjutkan kemana..?” tanya pak guru. insya Allah ke SMP 1 Gumung Sari pak guru jawab Mohli.. 

“Baguuus” kata pak guru memuji

“Martini…! Kalau kamu kemana? pak guru Najamuddin bertanya kepada murid lainnya”… Insya Allah ke Tsanawiyah  Tegal pak guru jawab Martini dengan wajah optimis”

“Kalau kamu Zulkarnain…! Pak guru mengalihkan pertannyaan ke siswa lain…“Insya Allah ke Pondok Pesantren Kayangan pak guru sahut Zulkarnain”

Disaat siswa sedang ditanya satu persatu Mahmud merasakan ketakutan yang amat sangat, ia menggigil seperti orang yang terkena demam, ia berpikir dengan apa ia akan menjawab pertanyaan pak Guru yang sangat ditakutinya itu. Si Fajri yang duduk di sampingnya mulai keheranan, Mud...! kumbek  mek ..? begitu si Fajri bertanya kepadanya.. endek arak ape-ape , jawabnya singkat. Namun semakin dekat giliran pak guru bertanya kepadanya semakin menggigil badannya dan kembali terbayang ucapan ayahnya tercinta:

“Mud kamu harus bersabar ya..? ayah tidak bisa melanjutkan pendidikan kamu ke Tsanawiyah  karena ayah  tidak kuasa menanggung beban biayamu, bagaimana ayah mampu menyekolahkan kamu ke jenjang yang lebih tinggi sementara pekerjaan ayah hanya sebagai buruh kayu bakar yang hasilnya hanya cukup untuk makan kita sehari hari”.

Dia mulai meneteskan air mata, ya dia menangis menundukkan pandangan. Seiring waktu iapun menjadi pusat perhatian teman-temannya, ia tidak kuat menahan sedihnya, kepalanya tiba-tiba terasa pusing, keringat dingin bercucuran di badannya, pandangannya menjadi sayu, ya Allah… plaaak.. dia tersungkur dan tidak sadarkan diri.

Pak Guru Najmuddin dan murid lainnya membawanya keruangan UKS. Lama dia terbebas dari hingar bingar cita-cita temannya, mungkin ia merasa nyaman dengan pingsannya. Semua guru merasa panik, seluruh siswa heboh, Mahmud menjadi buah bibir teman-temannya.

Setelah berlalu hampir satu jam, Mahmud terbangun dari tidur sesaatnya, pada saat ia sadar, dirinya sudah berada di ruang UKS, sayup ia melihat semua guru telah berkumpul dan berkerumun di sampingnya, ada pak guru Sahirin, Pak guru Najamuddin, Pak guru Abdul Majid, Bapak kepala sekolah yaitu pak guru Yasin dan pak guru serta bu guru yang lain. Sementara  teman-temannya berkerumun menyaksikan keadaannya dari balik jendela ruangan. Pak guru Sahirin, guru yang telah membimbingnya selama lima tahun sejak kelas 1 hingga kelas 5 dan guru yang paling diidolakannya mendekat dan bertanya … 

“kamu kenapa naak? Kamu ada masalaah?”

Mahmud terdiam dan hanya menggelengkan kepala. Dengan penuh kasih sayang pak guru Sahirin dan pak guru Najamuddin meminta Mahmud menceritakan apa sebenarnya yang sedang dia alami. Setelah dibujuk beberapa kali, akhirnya Mahmud pun luluh dan  bersedia menceritakan apa yang sebenarnya ia rasakan. Dia memulai ceritanya dengan kata-kata yang terbata: 

“Pak guru saya minta maaf telah merepotkan pak guru, sebenarnya hal yang paling saya takutkan adalah acara perpisahan nanti, ketika teman-teman  pada melanjutkan ke sekolah yang diidamkannya, saya cuma bisa menghabiskan waktu, membantu ayah pergi mencari kayu bakar di hutan untuk biaya hidup kami sehari-hari. Sebenarnya saya ingin sekali melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, saya ingin seperti teman-teman yang diberikan rizki lebih oleh Allah, mereka bisa melanjutkan ke sekolah manapun yang mereka inginkan, mereka bisa bahagia dan bergembira, memiliki teman yang baru dan pengalaman baru, sementara saya…”

Mahmud  terdiam dan tidak lama air matanya meluncur deras membasahi pipinya.. 

“sebenarnya saya…saya…”
kata-katanya seolah tertahan dan sulit untuk dikeluarkan…
“saya sangat takut  dengan pertanyaan ini pak guru, kemana kamu akan melanjutkan?, karena pertanyaan itu sangat menyakitkan buat saya”

Air matanya mengalir deras, ia sesenggukan dan tidak mampu melanjutkan ceritanya. Ia berusaha menenangkan diri, ia terdiam sembari menatap lantai dengan tatapan yang kosong. lama ia terdiam. setelah merasa tenang, Dia-pun mulai bertutur melanjutkan ceritanya. Mendengar cerita Mahmud yang mengalir bagai air di sungai Niel tersebut, banyak para guru menyeka air matanya. mereka seolah merasakan betul gejolak jiwa yang dialami oleh murid kesayangannya itu. Dengan suara lirih  pak guru Sahirin berkata:

“Muud… kamu anak yang baik, kamu anak yang cerdas, insya Allah pasti ada jalan bagi kamu untuk bisa melanjutkan sekolahmu, bersabarlah dan tetap berdo’a kepada Allah niscaya Ia akan mengabulkan permintaanmu. Pak guru berjanji akan membantumu mencari informasi sekolah yang bisa memberikan  keringanan biaya untukmu”.

Mendengar kata-kata itu Mahmud merasakan ada semangat baru dalam hidupnya, Allah pasti memberikan jalan untuknya,… ia tersadar dari lamunannya.

Acara itu masih berlangsung, Mahmud kemudian bangkit, aku tidak bisa terus begini, menangis meratapi nasib bukanlah solusi, aku harus mencari cara agar aku bisa melanjutkan
“ya Allah… adakah secercah harapan untukku bisa melanjutkan?

Ia terus berfikir dan berfikir, hinggga sampailah ia pada sebuah kesimpulan nekad… jika aku tidak bisa melanjutkan sekolahku, aku akan pergi berpetualang mencari pondok pesantren yang bisa menampungku, apapun ceritanya aku harus belajar, harus belajar, harus belajar, itulah tekad membara seorang pelajar tulen.

Lalu apakah kalian yang sedang membaca cerita ini memiliki semangat yang sama? Jika masih ada sifat malas, enggan, cemen, gampang mengeluh, mudah capek bangkitlah..! songsong kesuksesan kalian dengan semangat membara, bukan dengan semangat loyo bin leloy alias mental cemen, he..he..

Mahmud berdo’a kepada Rabb-nya “Ya Allah aku serahkan hidupku sesuai dengan aturan-Mu”

Ia melangkah dengan mantap menuju lokasi acara. Ia duduk di tempat yang telah disediakan khusus untuk siswa, ia bergabung bersama teman-temannya yang lain, mengikuti rangkaian acara itu dengan khusu’.

Tibalah saat pengumuman hasil EBTANAS, terdengar dengan jelas suara pak guru Najamuddin,  menyampaikan;
  
“Al Hamdulillahi Robbil’alamin, segala puji hanya milik Allah, Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rosul Muhammd saw, keluarga dan para sahabatnya. Para hadirin, wali murid yang kami muliakan. Alhamdulillah tahun ini, SDN 2 Batu Layar mampu menempati peringkat 5 besar prolehan nilai EBTANAS tingkat  kecamatan dan mampu menembus 10 besar tingkat kabupaten. Ini adalah prestasi yang luar biasa dari anak-anak kita. Anak kita yang telah mampu mengharumkan nama sekolah kita adalah ananda Zulkarnain dengan nilai 36,14 dan Ananda Mahmud dengan prolehan nilai 38,62 dari 4 mata pelajaran yang di EBTANAS-kan yaitu Bahasa Indonesia, PPKN, Matematika dan Sejarah”.

Sontak semua hadirin bertanya tanya, manakah anak yang bernama Mahmud itu? 

“Kepada ayahanda dari ananda Mahmud dan ayahanda dari ananda Zulkarnain harap maju ke depan lanjut pak guru Najamuddin”.

Terlihat ayahanda Mahmud maju ke depan dengan sikap tersipu malu, bukan karena maju kedepannya ia merasa malu, tapi karena pakaian yang beliau pakai adalah pakaian paling lusuh diantara semua wali murid yang hadir. Dengan rasa haru yang amat sangat dan senyuman yang tertahan Amak Syawaludin menerima bingkisan yang diserahkan oleh pak guru Sahirin. 
“Selamat ya paak, sapa pak guru Sahirin sembari menjabat tangan amak Syawaludin” 

“terimakasih, terimakasih, jawab amak Syawaludin dengan suara yang lirih sembari membungkukkan badan sebagai tanda rendah hati”

Sebelum kembali ketempat duduk amak Syawaludin diminta untuk memberikan sepatah dua patah kata kepada para hadirin bagaimana kiat-kiat agar anak bisa cerdas seperti Mahmud. Amak Syawaluddin yang belum pernah berbicara di depan orang banyak, terlihat gugup dan seperti kebingungan, namun akhirnya ia memulai kalimatnya; 

“Assalamu’alaikum wr. wb. terimakasih saya ucapkan atas kehormatan ini, terus terang saya tidak menyangka jika anak kami Mahmud telah membuat nama sekolah ini menjadi sekolah yang kualitas anak didiknya diperhitungkan, baik di kecamatan maupun di Kabupaten, demikian  Amak Syawaludin memulai kata-katanya. Mahmud adalah anak yang baik, setiap hari dia selalu bersemangat berangkat ke sekolah, karena rumah kami jaraknya jauh ke sekolah ini, Mahmud  selalu bangun sebelum azan subuh di kumandangkan, selesai sholat shubuh dia sudah bersiap untuk berangkat, dia tidak pernah meminta uang jajan, karena kami juga memiliki keterbatasan rizki buat jajan anak-anak kami. Dia  hanya meminta do’a kepada kami agar dia mudah menerima pelajaran. Sepulang  dari sekolah dia masih menyempatkan diri untuk berjualan es mambo keliling ke setiap rumah, hal itu dia lakukan karena ia ingin sekali bisa mendapatkan uang jajan. 

Sepulang dari berjualan es mambo, ia selalu pergi ngawis   untuk pakan binatang ternak kami dua ekor sapi betina yang kami adas . Tidak hanya itu di saat libur tiba, Mahmud sering pergi ke rumah pamannya untuk ikut nelayan, baik ngerakat  atau  nongkol  di laut lepas. Jika ia mendapatkan rizki, ia selalu memberikannya kepada ibunya untuk tambahan biaya hidup kami. Mahmud itu anak yang rajin, setiap selesai maghrib dia selalu membantu mengajar ngaji, selesai sholat isya selalu mengulangi pelajaran yang  hari itu dia dapatkan”.

Tiba-tiba amak Syawaludin terdiam, lalu beliau  meneteskan air mata. Suasana menjadi hening dan hadirin terdiam membisu. Perlahan suaranya kembali terdengar :

“Suatu hari saya  pernah memukulnya karena dia terlambat pulang. Setelah saya tanyakan kepadanya, mengapa dirinya terlambat pulang, dia menjawab dengan jujur, kalau dia habis nonton “film Mahaberata”, waktu itu saya tanpa pikir panjang, langsung memukulnya dengan tali nilon, dia merintih, menangis dan meminta maaf serta berjanji tidak akan pernah mengulangi lagi perbuatannya itu”

Terlihat sebagian hadirin menyeka air mata mereka mendengar penuturan Amak Syawaludin tersebut. Kemudian Amak Syawaludin melanjutkan.

“Saya  sangat menyesal telah melakukan perbuatan konyol itu pada anak sebaik Mahmud dan hingga saat ini rasa penyesalan itu tetap terpatri dalam sanubari saya”

Pada kesempatan itu juga  Amak Syawaludin menceritakan hal kepergian Mahmud beberapa bulan yang lalu. 

“Waktu itu Mahmud minta dibelikan sepatu, karena sudah dekat dengan EBTANAS, memang Mahmud belum pernah menggunakan sepatu selama dia menempuh pendidikannya dari kelas satu sekolah dasar hingga seminggu menjelang EBTANAS. Waktu itu saya hanya menjawab dengan ketus. 

“kamu ini ada-ada saja, memang kamu lihat bapak punya uang apalagi untuk membelikan kamu sepatu..! bilang sama guru kamu bahwa kita orang miskin..!  

Mahmud terdiam dan besoknya dia berangkat ke sekolah seperti biasa, dia tidak lupa meminta do’a kepada saya juga ibunya

“Amaak! doakan Mahmud ya” begitu  Amak Syawaludin menirukan gaya Mahmud. 

Biasanya pukul 14.00 siang dia sudah sampai di rumah,  memang perjalan antara sekolah dengan rumah kami sangat jauh  sekitar 16 km  sambung amak Syawaludin. Tapi hari itu dia tidak kunjung datang, keesokan harinya kami tanyakan kepada teman-temannya, semuanya tak satupun yang tau, kecuali si Fajri yang  bilang bahwa dia pulang seperti biasa tapi dia langsung berangkat ngujur (nyari ikan di laut) , saya langsung menanyakan keberadaannya kepada keluarga yang ada di kampung Aik Genit, ternyata keluarga di sana tidak ada yang tau, kami tanyakan ke keluarga yang di kampung Karang  Panas juga tidak ada yang tau, mulailah kami berpikiran yang bukan-bukan”. 

Amak Syawaludin mengambil nafas sejenak kemudian kembali melanjutkan.

“Pada  hari ke 3 kami dapat kabar kalau dia ikut nongkol (melaut mencari ikan tongkol),  pada kakak sepupunya yang ada di kampung Melase, saya langsung menuju ke keluarga di sana dan ternyata memang benar dia ikut nelayan di sana. Setelah ditanya kenapa dia melakukan hal itu, dia bilang  pengen punya sepatu namun tidak ingin membebani ayah dan ibunya untuk membelikannya. Waktu itu saya merasa benar-benar menjadi orang tua yang tidak berguna”

Kembali  amak Syawaludin menyeka air matanya lalu beliau diam sejenak dan kembali menyeka air matanya.
  
“Saya membujuknya untuk pulang seraya berjanji untuk membelikannya sepatu, meskipun pada awalnya dia tetap ingin mengumpulkan uang sendiri namun akhirnya kami terus membujuknya barulah dia mau pulang” lanjut amak syawaludin dengan suara parau

Hadirinpun kembali terenyuh dan ikut larut dalam haru, seolah mereka merasakan apa yang amak Syawaludin rasakan. Saat ini hanya satu yang Mahmud  harapkan, dia ingin melanjutkan sekolahnya ke Tsanawiyah  atau Pondok Pesantren, Namun entahlah harapannya itu akan terkabul atau tidak…

“Terimakasih bapak guru dan ibu guru atas bimbingannya kepada Mahmud selama ini, semoga dia dan semua siswa kelas 6 menjadi anak yang shalih-shalihah dan menjadi kebanggaan bangsa dan negeri ini kelak di masa yang akan datang”

Demikian amak Syawaludin menutup ceritanya dan diamini oleh para hadirin.

to be continue..

Catatan

Amak = bapak, Inak= Ibu (bahasa sasak)
Kumbek mek =kamu kenapa?
Endek arak ape-ape = nggak apa apa
Ngawis = mencarikan rumput
Adas = pelihara
Ngujur = Bantu nelayan tarik jala (jaring ikan)
Nongkol = Nelayan mancing ikan tongkol
Lebih baru Lebih lama

Iklan

Iklan

Formulir Kontak