TendaBesar.Com - Jakarta - Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 44 P/HUM/2019 atas gugatan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) berkaitan dengan kemenangan Jokowi yang dianggap belum memenuhi syarat menjadi presiden kini membuat gaduh jagat Indonesia.
Banyak kalangan mengatakan bahwa putusan atas gugatan yang diajukan Rachmawati Soekarnoputri terhadap Peraturan KPU tersebut tak berimplikasi apapun terhadap kedudukan Joko Widodo (Jokowi) dan Ma'ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019.
Rakyat yang oposisi terhadap pemerintah meminta agar MPR segera menggelar rapat luar biasa untuk memakzulkan Presiden Jokowi. Sementara pendudukng pemerintah yang oleh oposisi disebut sebagai Bzzer Istana (Buzstan) sibuk mengkonter dan menyebarkan pendapat yang menguntungkan buat presiden.
Fahri Hamzah (FH) singa parlemen yang di ILC selalu menjadi bintang itu, tergelitik hingga angkat bicara terkait dengan persteruan yang kembali memanas di media sosial tersebut.
Dalam sebuah video yang viral FH mengatakan bahwa keputusan MA tersebut menegaskan jika seseorang sah menjadi presiden apabila terikat oleh 3 kriteria kemenangan antara lain: Menang 50% + 1 secara populasi dari total jumlah pemilih, berikutnya harus menang berbasis elektoral atau menang secara provinsi 50% + 1 Provinsi di seluruh Indonesia. Dan Dia harus menang minimal 20% pada setiap provinsi.
"Kalo merujuk pada putusan MA tersebut maka calon presiden dikatakan sah menjadi pemenang pada pilpres apabila terikat oleh tiga hal pertama harus menang secara populasi minimal 50%+1 suara, kedua harus menang secara elektoral 50% + 1 Provinsi dan yang ke tiga dia haru mendapatkan suara paling minimal 20% di masing masing provinsi", kata FH
FH menyoroti maksud dari pasal 6a UU 1945 tersebut mengatur pemilihan presiden yang berlangsung dengan dua putaran dan memang sistem pemilihan presiden kita diatur dengan sistem 2 putaran.
"Ada dua yang diatur di sana, apa bila dalam putaran pertama atau apabila dalm putaran ke dua. Putaran pertama seseorang dianggap menang kalo memenuhi ketentuan tadi, tapi jika sudah masuk pada putaran ke dua siapapun yang mendapatkan popularvote dia sudah menang", lanjut FH
Menyingkapi putusan MA yang memenangkan gugatan Rahmawati SP, FH mengatakan bahwa MA menggunakan mazhab pemilu dimana pemilu kita harus dua putaran. Kalaupun terdapat 2 kandidat yang bertarung, apabila tidak memenuhi tiga hal yang mengikat menjadi pemenang maka dilanjutkan ke putaran ke dua.
"MA itu mengkopi undang-undang sebelumnya, MA menggunakan mazhab pemilu kita yang dirancang dengan sistem 2 putaran", tegas FH
Di sisi lain FH juga menyinggung kenapa KPU memenangkan Jokowi pada pilpres 2019 karena KPU merujuk pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada periode pertama yang menganggap bahwa seolah-olah konstitusi dapat diabaikan oleh kompromi partai politik yang menghendaki kandidat itu hanya dua. Menurut FH disinilah letak kesalahan fatalnya.
"Konstitusi berpikir menyadari bahwa bansa Indonesia ini besar, rakyatnya terpencar dari Sabang sampai Merauke, beragam jumlahnya, oleh sebab itu Absorvsi pemimpin harus dimungkin berasala dari komposisi seluruh rakyat indonesia, maka president threshold harus nol persen", kata FH
FH menduga ada yang mengatur supaya kandidat itu cukup 2 saja dalam pilpres dengan tujuan supaya gampang mengatur siapa yang menang dan siapa yang kalah.
FH mengendus bahwa sejak awal sudah terjadi pelanggaran terhadap konstitusi. Ia bahkan berani mengatakan bahwa MK telah mengambil keputusan yang keliru dalam menafsirkan pasal 6a UU 1945.
"Memang di kita di belakang ada yang merekayasa supaya kandidat ini 2 pasang, supaya mudah diatur siapa yang kalah siapa yang menang. MK juga telah melakukan kekeliruan dalam mengambil keputusan. Oleh karena kita pastikan kedepannya president threshold harus nol persen agar orang-orang terbaik bangsa bisa tampil mengadu ide dan gagasan dalam pencalonan pilpres", tutup FH. (erf/tendabesar)