Perppu Nomor 1 Tahun 2020, Niat Baik, Berujung Polemik.


Oleh : Harris Sofyan Hardwin, S.H., M.H. 
Ka. Biro Litigasi Bidang Polihukam, DPD Partai Gelora Kab. Bogor

TendaBesar.Com - Opini - Kita sangat mengapresiasi kinerja yang telah dilakukan dan diberikan oleh negara kepada rakyat dalam rangka memerangi penyebaran pandemi Covid-19. Kita yakin negara dalam hal ini sangat lah berperan aktif dalam melindungi hak-hak konstitusional seluruh rakyat indonesia. Mulai dari memberikan bantuan pangan, bantuan sosial, pelatihan melalui berbagai program (kartu pra kerja) dll. 

Bersyukur Negara bisa turun tangan langsung, Namun setiap manusia pasti memiliki rasa bersyukur yang berbeda-beda. Wajar apabila ada segelintir rakyat masih merasa apa yang dilakukan negara kurang cukup membantu untuk mereka. Walaupun kita ketahui bersama Negara dalam hal ini melalui perangkat-perangkat kenegaraan nya sudah berupaya maksimal memberikan yang terbaik. Itulah dinamika dalam bernegara, ada pro dan contra.

Pro kontra juga terjadi ketika sebagaian rakyat gelisah karna negara dianggap lamban dalam mengambil kebijakan untuk memutus rantai penyebaran pandemi covid-19. Terdapat beberapa kebijakan pemerintah juga menjadi polemik pro kontra, salah 1 nya adalah terbitnya Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus  (Covid-19).

Perpu ini lahir dengan pertimbangan antara lain :
1. penyebaran Covid-19 yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, dan kerugian material yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesej ahteraan masyarakat;
2. implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurLlnan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak;
3. implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi (forward lookingl dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan.

Dari pertimbangan itu Pemerintah dan lembaga terkait menanggap perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial (social safety net), dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan. 

Oleh karena itu, guna memberikan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk mengambil kebijakan dan langkah-langkah tersebut dalam waktu yang sangat segera, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Selain itu, latar belakang lahirnya Perppu ini dikarenakan Pandemi Covid-19 juga secara nyata telah mengganggu aktivitas ekonomi dan membawa implikasi besar bagi perekonomian sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan menurun dari 3% (tiga persen) menjadi hanya 1,5% (satu koma lima persen) atau bahkan lebih rendah dari itu.

Perkembangan pandemi Covid-19 juga dirasa oleh Pemerintah berpotensi mengganggu aktivitas perekonomian di Indonesia. Salah satu implikasinya berupa penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan dapat mencapai 4% (empat persen) atau lebih rendah, tergantung kepada seberapa lama dan seberapa parah penyebaran pandemi Covid-19 mempengaruhi atau bahkan melumpuhkan kegiatan masyarakat dan aktivitas ekonomi.

Terganggunya aktivitas ekonomi akan berimplikasi kepada perubahan dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2O2O baik sisi Pendapatan Negara, sisi Belanja Negara, maupun sisi Pembiayaan. Potensi perubahan APBN Tahun Anggaran 2O2O berasal dari terganggunya aktivitas ekonomi atau pun sebaliknya. Gangguan aktivitas ekonomi akan banyak berpotensi mengganggu APBN Tahun Anggaran 2O2O dari sisi Pendapatan Negara.

Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik karena langkah-langkah penanganan pandemi Covid-19 yang berisiko pada ketidakstabilan makro ekonomi dan sistem keuangan yang perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah dan lembaga terkait untuk melakukan tindakan antisipasi (forward looking) untuk menjaga stabilitas sektor keuangan.

Penyebaran pandemi Covid-19 yang memberikan dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain karena menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global, memerlukan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa (ertraordinary) di bidang keuangan negara termasuk di bidang perpajakan dan keuangan daerah, dan sektor keuangan, yang harus segera diambil Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait guna mengatasi kondisi mendesak tersebut dalam rangka penyelamatan kesehatan, perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan dunia usaha yang terdampak. Oleh karena itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai untuk memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan tersebut. 

Dari segi Hukum, lahir nya Perppu ini dikarenakan adanya hal ikhwal/kegentingan yang memaksa sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII|2OO9, kondisi tersebut di atas dianggap telah memenuhi parameter sebagai kegentingan yang memaksa dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang antara lain:

a. karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
b. Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan
c. kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Sehingga dalam hal kegentingan yang memaksa sebagaimana di maksud diatas, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Namun niat mulia Pemerintah dengan menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menimbulkan spekulasi-spekulasi yang berkembang di beberapa kalangan. Beberapa kalangan beranggapan terdapat Pasal-Pasal yang memberikan celah dan ruang untuk terjadinya penyalaghunaan kewenangan. Oleh karena nya beberapa kalangan telah mengajukan Judical Review terhadap Pasal-Pasal yang dianggap kontradiktif dengan tujuan mulia tersebut ke Mahkamah Konstitusi MK).

Salah 1 yang diajukan Judicial Review adalah Pasal 27 Perppu Nomor 1 tahun 2020 yang berbunyi sebagai berikut :

1. Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merrrpakan kerrrgian negara.
2. Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.

Namun tak sedikit para ahli, pakar hukum, dan pengamat konstitusi yang mengecam keberadaan perppu ini terutama terhadap ketentuan pasal 27 tersebut yang seakan memberikan impunitas bagi Pejabat Negara dan/atau Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Bahkan, keresahan atas perppu tersebut dihadirkan melalui pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini dikarenakan pasal 27 perppu tersebut menegaskan beberapa ketentuan. Pertama, mengenai ketentuan kerugian negara. Kedua, KSSK tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Ketiga, tindakan/keputusan berdasarkan Perppu tersebut bukan merupakan objek Pengadilan Tata Usaha Negara.

Ketentuan dalam Pasal 27 ayat 1 Perppu ini mengisyaratkan apabila  seluruh biaya yang dikeluarkan Pemerintah/ KSSK dikategorikan sebagai biaya ekonomi bukan merupakan “kerugian negara”. Jika kita lihat dalam Pasal 1 angka 22 UU Nomor 1 tahun 2004 ttg Pembendaharaan Negara, definisi Kerugian Negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. 

Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 ttg Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan : “Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.”

Dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara dikatakan bahwa kerugian negara dapat terjadi karena pelanggaran hukum atau kelalaian pejabat negara atau pegawainegeri bukan bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan administratif atau oleh bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan kebendaharaan. Penyelesaian kerugian negara perlu segera dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeri/pejabat negara pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada khususnya.

bahwa berdasarkan UU BPK dan Keppres No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, yang menilai/menetapkan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (“BPK”) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“BPKP”). Adapun perhitungan kerugian negara sendiri bersifat kasuistis, atau dilihat kasus per kasus.

Ketentuan pada pasal 27 ayat (1) tersebut seolah ingin melegitimasi bahwa setiap biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah/KSSK bukan merupakan kerugian negara, lantas bagaimana apabila biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/ atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan menimbulkan adanya kerugian yang nyata dari akibat perbuatan melawan hukum, tentu dengan penekanan yang terdapat di pasal tersebut memberikan wewenang yang seluas-luasnya dalam mengeluarkan biaya untuk melangsungkan kebijakan sebagaimana dimaksudkan. Dan yang dikhawatirkan akan menimbulkan kemungkinan adanya penyelewengan dalam pelaksanaannya, yang berakibat pada kerugian negara.

Kerugian Negara adalah salah satu unsur tindak pidana korupsi, yang merupakan implikasi dari perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi atau kerugian negara tersebut akibat penyalahgunaan kewenangan secara melawan hukum dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Dengan dimaknainya seluruh biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah / KSSK bukan merupakan kerugian negara, maka akan menghilangkan salah satu unsur penting dalam tindak pidana korupsi, sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang berbunyi: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…”.

Dalam Pasal 27 ayat (2) seolah-olah sebagai Pemberian imunitas kepada Pejabat Negara terkait, sama halnya dengan pemberian imunitas pada UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang PPSK, UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampuan Pajak, Pasal 50 KUHP yang berbunyi: “bahwa orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dapat dipidana.” Dan Pasal 51 ayat 1 KUHP yang berbunyi: “bahwa barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, maka orang tersebut tidak dapat dipidana.” Yang dimana seluruh pemberian imunitas tersebut tidak mutlak (absolute), selama berdasarkan itikad baik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku memang tidak dapat dituntut pidana, akan tetapi tidak melegitimasi kedudukan imunitas yang diberikan, apabila terbukti melakukan sebuah tindak pidana dalam pelaksanaan kebijakan maka dapat dilakukan penuntutan terhadap perbuatan tersebut. Berdasarkan kesimpulan Ahli Hukum Moeljatno yang menganut aliran dualistis, bahwa syarat penjatuhan pidana meliputi perbuatan melawan hukum (actus reus) dan unsur kesalahan pembuat (mens rea), apabila actus reus telah terpenuhi maka sudah dapat dilakukan penuntutan, penuntut umum dapat melanjutkan ke tahapan persidangan yakni poses pembuktian, terkait mens rea akan dilakukan pembuktikan di persidangan sebagai dasar penjatuhan putusan oleh hakim. Ketentuan tersebut sebagai pengejawantahan asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Pemberian imunitas tiada lain ditujukan untuk perlindungan hukum pagi pejabat pemerintahan dalam menjalankan kewenangannya akan tetapi tidak serta-merta membuat pejabat pemerintahan kebal akan hukum positif.

Bahwa dengan adanya Judicial Review terhadap Perppu Nomor 1 tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi (MK), agar MK dapat memberikan putusan membatalkan ketentuan mengenai kerugian negara dan imunitas pada Pasal 27 sehingga Pemerintah/KSSK tidak melegitimasi seluruh kebijakan pembiayaan yang dikeluarkan bukan kerugian negara, karena dikhawatirkan dilakukan penyelewengan yang berakibat terjadinya suatu tindak pidana korupsi karena dikhawatirkan dengan adanya legitimasi pemberian imunitas, dapat memberikan celah hukum bagi oknum-oknum yang ingin mengambil keuntungan untuk kantong sendiri dan kroni-kroni nya dari niat baik dan mulia Negara dengan mengakibatkan kerugian negara.

Lebih baru Lebih lama

Iklan

Iklan

Formulir Kontak