Trending

Konsep Ekonomi Ibnu Hazm



Oleh : Shobri, M.E.I


TendaBesar.Com - Opini - Sistem ekonomi islam yang diterapkan pada zaman Rosulullah SAW, para sahabat dan tabi’it tabi’in baik pada zaman Daulah Umayyah maupun Daulah Abbasiah dan daulah-daulah penerusnya, telah memberikan bukti konkrit betapa bermu’amalah dengan sistem islam menuai kedamaian dan keberkahan. Tidak hanya keuntngan berlipat ganda yang didapatkan tapi lebih dari itu ketenangan jiwa juga menghiasi dalam kehidupan. Tidak hanya kekayaan materi yang didapatkan namun lebih dari itu kepuasan bathin juga dirasakan. Sistem  transaksi yang dihiasi oleh prinsip tauhid, kemanusiaan, keadilan, kebajikan dan prinsip bebas bertanggung jawab adalah keunggulan tersendiri dalam konsep ekonomi islam. 

Sistem  ekonomi islam  yang mengedepankan sifat ta’awuniyah (saling tolong-menolong) adalah ciri khas tersendiri yang melekat pada konsep ekonomi  islam. Perpaduan antara kepuasan jasmani dan kepuasan rohani serta penyatuan antara naluriyah kemanusiaan yang bersifat sosial kemasyarakatan, sama-sama menikmati keuntungan dan sama-sama menanggung beban kerugian menjadi hal yang diprioritaskan dalam transaksi islam.

Kebanggaan akan sistem  ekonomi islam  yang elegan itu tenggelam setelah tumbangnya daulah Utsmaniyah pada abad 20 tepatnya pada tahun 1924 M. Keserakahan akan untung besar dan berlipat lipat telah menjiwai para pelaku bisnis akibat dari penerapan sistem  ekonomi kapitalis yang dilakukan oleh kaum Yahudi dan Salibis melalui orientalis mereka yang berupaya mempengaruhi masyarakat muslim. Jiwa ta’awuniyah tidak lagi menghiasi prilaku para usahawan, sebaliknya sifat individual materialistic menjadi pegangan dan acuan. 

Ekonomi kapitalis libralis dijadikan sebagai arah kiblat oleh para usahawan juga oleh pemerintah dalam menentukan arah kebijaka ekonomi Negara. Mengeluarkan modal sekecil-kecilnya dan meraup untung sebesar-besarnya menjadi ayat dalam kitab  ekonomi kapitalis yang wajib diterapkan.  Lihat bagaimana George R. Terry dalam bukunya “Principle Of Management” alih bahasa oleh Dr. Winardi, SE dengan judul Asas-Asas Management menyatakan: 
“Perencanaan biaya meliputi tindakan penyelarasan aktifitas-aktifitas agar para pekerja menjadi keranjingan laba dan untuk mencapai hasil maksimal berdasarkan usaha secara pengeluaran yang minimal” 

Mazhab ekonomi kapitalis ini telah diterapkan berabad-abad, namun hingga saat ini tidak mampu membuat ekonomi dunia menjadi stabil. Alasannya sangat jelas, sistem  ekonomia kapitalis menghalalkan segala cara, tidak memperdulikan etika dalam konsep produksi, konsusi maupun distribusi. Bunga (riba) menjadi persoalan paling mendasar  penyebab morat maritnya perekonomi saat ini. tidak sedikit Negara yang hampir bangkrut terlilit hutang dan tidak mampu mengembalikan hutangnya akibat membengkaknya bunga dari hutang tersebut. 

Lalu mengapa negara-negara ini masih menjadikan konsep ekonomi kemelaratan tersebut tetap menjadi kiblat dan kebijakan dalam perekonomian negara, tentu ini akibat dari penjajahan ekonomi yang dilakukan oleh negara adi daya dan keronconya.

Sakitnya ekonomi dunia membuat kesengsaraan terjadi di mana-mana, bahkan kini angka kemiskinan dihampir semua negara termasuk negara adidaya Paman Sam “Amerika Serikat” bertambah sangat signifikan. 

Atas dasar inilah para ekonom islam memikirkan sistem  ekonomi solutif yang mampu menjadi obat sekaligus menjadi solusi atas penyakit yang diakibatkan oleh sistem  kapitalis tersebut. 

Pada abad 21 ini, perkembangan ekonomi islam makin menggeliat dan telah menunjukkan progres yang sangant baik. Lembaga-lembaga keungan syari’ah baik Bank maupun lembaga bukan Bank telah tumbuh pesat di dunia. Lahirnya perbankan syari’ah adalah langkah pertama dari usaha para ekonom muslim dalam merealisasikan gerakan ekonomi islam. Tujuan utama dari pendirian lembaga keungan berlandaskan syari’ah tiada lain sebagai uapaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonomi berlandaskan Al Qur’an dan Sunnah Rosulullah SAW. Serta menciptakan ekonomi yang berkeadilan di dunia ini.

Upaya awal dalam penerapan sistem  profit and loss sharing, tercatat di Pakistan dan Malaysia pada tahun 1940-an, yaitu dengan adanya upaya mengelola dana  jama’ah haji secara non konvensional. Sementara rintisan institusional pertama dilakukan oleh Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr, Kairo Mesir. 

Setelah itu mulailah bermunculan bank-bank yang mendasari konsep operasionalnya berdasarkan syari’ah islam. Hingga saat ini tercata ratusan bahkan ribuan bank islam dan Lembaga Keuangan Non Bank  yang berlandaskan syari’ah telah beroprasi di Indonesia juga di dunia. 

Namun demikian perkembangan ekonomi islam masih terbatas pada beberpa bentuk peraktek pembiyaan dan akad yang digunakan oleh perbankan. Sementara dalam peraktek pembayaran berkaitan jual beli  di sebagian pusat-pusat perbelanjaan masih menginduk pada sistem libral kapitalis. 

Prekonomian akan maju apabila roda prekonomian berjalan dengan baik. Proses produksi, distribusi dan konsumsi adalah suatu keniscayaan yang menjadi tumpuan dalam ukuran berjalannya ekonomi di suartu negara. Sebab tiga model proses ini akan melahirkan transaksi antara produsen dan konsumen. 

Pada permulaannya di zaman nenek moyang, transaksi ekonomi islam masih mengadopsi dan menggunakan  sistem  barter (tukar barang dengan barang), meskipun pada saat itu sudah mulai ada alat tukar sederhana yakni mata uang Romawi dan Persia,  namun seiring perjalanan waktu transaksi telah dilakukan dengan cara sangat peraktis dan mudah yakni dengan menggunakan alat tukar yang disahkan oleh masing-masing negara, namun justru menyisakan permasalahan pundamental terutama masalah keadilan.

Kita yakin dan percaya bahwa sistem ekonomi islam lebih baik dari sistem  kapitalis atau sosialis. Sebab islam mengatur masalah ini dengan bimbingan Allah SWT dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulnya Muhammad SAW. Sebagai mana firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat An Nisa’ : 29

Artinya:  “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (Q.S.4, An Nisa:29)

Ayat ini dengan jelas memberikan peringatan kepada para pelaku ekonomi untuk menjalankan prekonomian  dengan cara yang haq, saling meridhai satu sama lainnya, tidak ada tipu menipu atau berlaku curang diantara para pelaku ekomomi.

Masipnya perkembangan ekonimi islam saat ini tidak terlepas dari sejarah perkembangan ekonomi pada masa Rosulullah saw, para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in. pada setiap kurun itu terdapat para pemikir dan pelaku ekonomi yang sangat berjasa dalam mengembangkan perekonomian pada masanya. Pada zaman Rosulullah saw dan Zaman Sahabat, kita mengenal para pelaku ekonom yang sangat handal, diantara mereka adalah Rosulullah saw, Abu Bakar ra, Umar Bin Khattab ra, Usman Bin Affan ra, Abdurrohman Bin Auf, Zubair Bin Awwam, Thalhah Bin Ubaidillah ra, Sa’ad Bin Abi Waqqas ra, Abu Ubaidah Bin Al Jarrah ra, Sa’id Bin Ziyad ra, Suhaib Bin Sinan ra, Abu Sufyan ra, dan lainnya.

Pada zaman tabi’in dan tabi’tabi’in, kita mengenal para pemikir dan praktisi ekonom islam yang handal. Namu mereka bukan hanya menaruh perhatian pada satu model keilmuan melainkan juga pada keilmuan yang lain. Mereka  antara lain: Zaid Bin Ali (w. 738M), Abu Hanifah (w. 769 M), Azwai (w.774 M), Malik (w.798 M), Hasan al Bishri (w. 728), Fudhail bin Ayad (w. 8o2), Ma’ruf Karchi  (w.815 M),  Ibrahim Bin Dam (w. 874 M),Abu Yusuf (113 H-182 H / 729-798 M), Imam As Syaibani (132 H-189 H / 751M-804 M), Yahya Bin Dam (w. 818 M), Imam Syafi’i (w. 820 M), Abu Ubaid (158 H-224 H /775 M-841 M), Imam Ahmad Bin Hambal (w. 855 M), Imam Yahya Bin Umar (213 H-289 H / 825 M-901 M)Qudama Bin Ja’far (w. 948 M), Abu Ja’far Ad Dawudi (w. 1012 M), Almawardi (w. 1058 M), Ibnu Hazm (184 H-254 H / 994 M-1064 M), Nizham Al Mulk (308 H /1017 M),Imam Al Ghazali (450 H-505 H / 1058 M-1111 M), Ibnu u Taimiyyah (661 H-728H / 1263 M-1328 M), Ibnu  Khaldun (732 H-808 H / 1332 M-1406 M), Imam As Syatibi (w.790 H1388 M),  dan Imam Al Maqrizi (766 H-845 H /1364 M-1442 M) dan lainnya

Inilah praktisi dan pemikir-pemikir ekonomi islam pada masa keemasan islam. Mereka telah mendedikasikan perhatiannya kepada kemajuan perekonomian islam pada masanya. Mereka telah berjasa mereformasi sistem ekonomi yang sederhana menjadi lebih modern dan menjadi rujukan para ekonom barat meskipun akhirnya ekonom-ekonom barat tidak mengakui kalau mereka belajar dari ekonom islam.

A. Sejarah Singkat Kehidupan Ibnu Hazm

Nama lengkap Ibnu Hazm adalah Abu Muhammad Ali Bin Abu Umar Ahmad Bin Said Ibnu  Hazm Al Qurthubi Al Andalusi. Lahir pada bulan ramadhan 184 H/ 994 M. ia berasal dari keluarga bangsawan yang kaya raya. Ayahnya bernama Abu Umar Ahmad adalah seorang keturunan Persia dan sebagai seorang wazir (menteri) administrasi pada masa pemearintahan Hajib Al Mansur Abu Amir Muhammad Bin Abu Amir Al Qanthani (w. 192 H) dan beliau juga dipercaya tetap memegang jabatan yang sama pada masa pemerintahan Hajib Abdul Malik Al Mudzaffar (w. 399 H)

Ibnu Hazm Kecil sudah ditinggal oleh Ibunya dan dia dibesarkan di istana. ia diasuh oleh para jawari (wanita-wanita) terpelajar yang mengajarkannya belajar baca tulis Al Qur’an, memhamai dan mentadabburi isinya dan juga mengajarkan kepada beliau berbagai syair Arab. Dirinya terisolasi dalam kehidupan istana dan nyaris tidak mengenal dunia luar, tidak banyak mengenal masyarakat Kordova yang pada saat itu menjadi kota metropolitan.

Setelah Ibnu Hazm mampu membaca dan menulis, ayahnya menyerahkannya untuk meneruskan pembelajarannya kepada seorang ulama kharismatik, Abu Ali Al Husain Bin Ali Al Farisi. Di bawah bimbingan gurunya ini ia mulai belajar ilmu dengan serius dan giat menghadiri berbagai majlis ilmiah baik dibidang ilmu agama maupun ilmu umum. Ia mempelajari ilmu hadits pertama kalinya kepada seorang ulama hadits bernama Amir Al Jasur ketika berusia 16 tahun

Tidak cukup dengan ilmu yang di dapat dari gurunya, Ibnu  Hazm pergi merantau untuk mendalami bergai ilmu di beberapa kota hingga ke Maroko. Dari perantauan itu beliau menyerap berbagai macam ilmu pengetahuan seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqh, ilmu ushul fiqh,  teologi, perbandingan agama, ilmu bahasa, ilmu sastra, ilmu sejarah, dan ilmu filsafat. Hal itu tergambar dari berbagai macam judul kitab karangan beliau yang menggambarkan betapa luas ilmu beliau sehingga beliau dikenal sebagai ilmuan yang generalis dan produktif.
Keberhasilan Ibnu Hazm dalam berbagai disiplin ilmu, tidak terlepas dari arahan orang tuanya yang sangat menyukai ilmu pengetahuan, di samping ketekunan dan kesungguhan serta kecerdasan yang dimilikinnya sangat luar biasa. 

Kedudukan sosial  yang tinggi, karir politik yang cemerlang dan musibah serta rintangan hidup yang dialaminya tidak menyurutkan semangatnya untuk senantiasa mengembangkan ilmu pengetahuannya.

B. Kondisi Sosial Politik Yang Mempengaruhi Pemikirannya

Pada masa hidupnya Ibnu  Hazm mengalami berbagai macam kondisi kehidupan dari kondisi yang nyaman di istana hingga kondisi berpindah-pindah akibat ketidak pastian keamanan dalam setiap pergantian khalifah. Ketentraman Cordoba yang tidak kunjung tiba memaksa Ibnu  Hazm dan Keluarganya berhijrah ke Almeria sebuah kota yang berada di tepi pantai yang merupakan kota kedua sesudah Cordoba. Kota ini didiami oleh penduduk yang mayoritas pendukung Abu Mansur al-Amiri. Di Almeria Ibnu  Hazm benar-benar menikmati ketenangan dan ketentraman. Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk membaca, menulis dan berdiskusi dengan para ulama dan cendekiawan setempat. 

Aktifitas intelektual Ibnu  Hazm semakin menanjak dan semakin matang. Namun setiap kehidupan tidak akan lepas dari ujian dan rintangan. Pada  tahun 407 H, Ibnu Hazm dan temannya, Muhammad bin Ishaq dituduh membuat gerakan bawah tanah untuk mengibarkan bendera Bani Umayyah. Karena itu, pemerintahan Alawiyyiin yang berkuasa saat itu menangkap dan memenjarakan keduanya. Namun lagi-lagi di atas kesulitan pasti ada kemudahan. Atas jasa pejabat  yang loyal pada Abu Mansur akhirnya keduanya dibebaskan dan kemudian diserahkan kepada salah seorang sahabatnya seorang ulama yang bernama Abu al-Qasim Abdullah bin Hudail yang  lebih dikenal dengan sebutan Ibnu  al-Muqaffal. Keduanya menjadi tamu istimewa ulama itu selama satu bulan sesudah di penjara selama sebulan. Setelah itu Ibnu Hazm dan Muhammad Bin Ishaq berangkat menuju Valensia untuk mendukung al-Murtada dalam rangka mengibarkan bendera Umayyah kembali

Keterlibatan Ibnu Hazm dalam politik peraktis mampu mengantarkannya menjadi seorang menteri pada masa pemerintahan Khalifah Al Murtadha. Namun ketika terjadi pertempuran sengit antara Khalifah Murtadha dan Alawiyyin, Al Murtadha tewas beserta sebagian  pasukannya, sementara yang masih hidup dijadikan tawanan termasuk Ibnu Hazm. Setelah dirinya dibebaskan ia tidak lagi menoleh dunia politik dan sebaliknya dia melakukan perjalanan ilmiyah dari kota ke kota sehingga dirinya sering bergonta ganti mazhab.

Pada awalnya Ibnu Hazm menganut mazhab Maliki yang ketika itu merupakan mazhab mayoritas di kawasan Andalusia dan Maghribi pada umumnya. Mazhab Maliki bukan saja menjadi panutan masyarakat dan ulama setempat akan tetapi sudah menjadi mazhab resmi negara tersebut. Hal itu tergambar dari keputusan-keputusan qodhi yang berlandaskan pada mazhab tersebut. Ibnu  Hazm menganut mazhab Maliki karena ia sempat belajar pada ulama-ulama pengikut imam Malik seperti Abdullah Bin Dahun dan Ahmad Bin Jasut. Salah satu kitab yang menjadi paporit Ibnu Hazm adalah kitab Al Muwattho’ karangan Imam Malik.

Setelah lama memegang mazhab Maliki Ibnu Hazm berpindah ke mazhab Imam Syafi’i, perpindahan tersebut menandakan bahwa Ibnu Hazm tipe pemuda yang tidak cepat puas dengan ilmu pengetahuan. Perpindahan mazhabnya ke mazhab syafi’a juga didasarkan pada ketidak puasannya melihat pengikut imam Malik dan masyarakat dalam bertaqlid kepada mazhab tersebut secara panatik. Bahkan ketika terjadi perdebatan antara Ibnu  Hazm dengan meraka dan terjadi perbedaan pendapat maka mereka bereaksi keras dengan mengatakan “ini bukanlah mazhabmu”

Setelah itu, Ibnu Hazm kembali berganti mazhab menjadi mazhab Zhahiri. Kecendrungannya kepada mazhab zhahiri lebih pada penomena sosial politik dan keagamaan di Andalusia pada masa hidupnya. Krisis politik yang berkepanjangan mengakibatkan runtuhnya kekhalifahan. Penyelewengan dan kezaliman berakar pada ketidak tegasan pelaksanaan syari’at islam bahkan pemimpin dan masyarakat cendrung meninggalkannya. 

Sebagai fuqoha, mazhab Maliki yang memegang jabatan Qodhi menjadi kurang responsif, oportunistik, tunduk pada kemauan politik dan kebijakan hukum penguasa, meskipun kebijakan tersebut jelas-jelas menyimpang dan bertentangan dengan syari’at. Para ulama kebanyakan tidak lagi menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar dalam rangka mengontrol penguasa. Mereka tampil dalam posisi yang lemah dan defensif dalam menghadapi kebijakan pemerintah serta berlindung di balik penggunaan ra’yi dalam rangka mengamankan diri dari tekanan kezaliman penguasa yang menyeleweng itu.

Kondisi sosial dan politik yang sedemikian parah telah menempatkan qiyas dan istihsan sebagai alat bagi timbulnya kolusi antara sebagian fuqoha’ dengan penguasa dalam memberikan berbagai fatwa hukum yang berkaitan dengan realitas kehidupan yang rusak. Untuk memperbaiki kondisi tersebut Ibnu Hazm memilih jalur berijtihad dan menolak segala bentuk taqlid. Dan menurutnya berijtihad adalah kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah Rosulullah saw.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kezhahiran  (mazhab zahiri) Ibnu Hazm merupakan reaksi terhadap rusaknya kondisi yang membutuhkan perbaikan terutama mengembalikan para fuqoha’ kepada jalurnya yakni menegakkan syari’at Allah dan Rosul-Nya Muhammad saw.  

C. Konsep Ekonomi Ibnu  Hazm

Ibnu Hazm adalah ulama sekaligus ekonom dan praktisi ekonomi pada zamannya. Dalam beberapa literatur yang ada, ditemukan bahwa Ibnu Hazm memetakkan pemikiran ekonomi pada beberapa hal antara lain mengenai Kebijakan Fiskalnya. 
Berkaitan dengan kebijakan fiskal, Ibnu Hazm meletakkan beberapa hal dalam kebijakannya antara lain :

i) Tanah Tidak boleh disewakan melainkan dikelola dengan akad  kerjasama (syirkah)

Sejalan dengan mazhabnya mazhab  zhahiriyah, Ibnu Hazm mengemukakan konsep pemerataan bekerja dalam istimbat hukumnya di bidang ekonomi. Dalam hal ini Ibnu u Hazm cendrung kepada prinsip-prinsip ekonomi sosial islami yang mengedepankan kesejahteraan masyarakat, menekankan keadilan sosial dan keseimbangan sesuai petunjuk Al Qur’an dan sunnah.

Di antara kebijakan Ibnu Hazm terkait dengan sewa tanah, beliau mengatakan :

“menyewakan tanah sama sekali tidak diperbolehkan baik untuk bercocok tanam, perkebunan, mendirikan bangunan ataupun segala sesuatu baik untuk jangka pendek, jangka panjang, maupun tanpa batas waktu tertentu baik dengan imbalan dinar maupun dirham. Bila hal ini terjadi hukum sewa-menyewa batal selamanya”.

Ini berdasarkan hadits Rosulullah saw yang diriwayatkan oleh imam Muslim

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ: أَنّ رَسُولَ اللَّهِ: " نَهَى عَنْ كِرَاءِ الْأَرْضِ

Artinya: Rosulullah saw, melarang menyewakan tanah (H.R. Muslim, No: 2.883)


Selanjutnya Ibnu Hazm Mengatakan :

“Dalam persoalan tanah, tidak boleh dilakukan kecuali muzaro’ah (penggarapan tanah) dengan system bagi hasil produksinya atau mugharasah (kerja sama penanaman). Jika terdapat bangunan pada tanah itu, banyak atau sedikit bangunan itu boleh disewakan dan tanah itu ikut pada bangunan tapi tidak masuk pada penyewaan sama sekali”.

Ibnu Hazm memandang bahwa tanah itu tidak boleh disewakan tapi boleh diolah dengan akad musyarokah. Menurut Ibnu Hazm ada tiga alternatif dalam pengelolaan tanah yaitu:

Pertama: tanah tersebut dikerjakan atau digarap oleh pemiliknya, hal ini didasarkan pada hadits Rosulullah saw yang berbunyi:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: كَانَ لِرِجَالٍ فُضُولُ أَرَضِينَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ  فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ : مَنْ كَانَتْ لَهُ فَضْلُ أَرْضٍ، فَلْيَزْرَعْهَا، أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ، فَإِنْ أَبَى، فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ

Artinya: “Dari Jabir Bin Abdillah ia berkata, adalah seorang dari sahabat Rosulullah memiliki kelebihan tanah, kemudian Rosulullah bersabda, barang siapa yang memiliki kelebihan tanah maka hendaklah dia menanaminya atau memberikannya kepada saudaranya. Jika ia menolaknya maka tahanlah tanah tersebut”. (H.R. Muslim, No: 2.861)
Kedua: sipemilik tanah mengizinkan orang lain menggarap tanahnya tanpa meminta sewa. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah saw yang berbunyi:

عَنْ ابْنَ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: " لَأَنْ يَمْنَحَ الرَّجُلُ أَخَاهُ أَرْضَهُ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْخُذَ عَلَيْهَا خَرْجًا مَعْلُومًا "

Artinya: “Dari Ibnu Abbas bahwasanya Rosulullah bersabda: Seseorang yang memberikan tanahnya untuk digarap kepada saudaranya itu lebih baik baginya dari pada ia memungut bayaran tertentu (sewa)”. (H.R. Muslim, No: 2.892)

dalam hal ini Abu Dawud juga meriwayatkan hadits yang redaksinya sangat mirip dengan hadits di atas yaitu:

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ لَمْ يَنْهَ عَنْهَا، وَلَكِنْ قَالَ: " لَأَنْ يَمْنَحَ أَحَدُكُمْ أَرْضَهُ، خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَأْخُذَ عَلَيْهَا خَرَاجًا مَعْلُومًا "
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah tidak melarangnya tapi beliau bersabda: hendaknya seseorang memberikan tanahnya untuk digarap itu lebih baik baginya dari pada mengambil barang tertentu”. (H.R. Abu Dawud, No: 2.941)
Ketiga: si pemilik tanah memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menggarapnya dengan bibit, alat, atau tenaga kerja yang berasal dari dirinya kemudian si pemilik memperoleh bagian dari hasilnya dengan presentasi tertentu sesuai dengan kesepakatan (Muzaro’ah). Hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw kepada kaum Yahudi terhadap tanah Khaibar. 
Pendapat Ibnu Hazm ini sepertinya bertitik tolak dari status tanah sebagai barang  yang tidak hancur di mana tanah itu merupakan ciptaan Allah SWT. Sementara manusia tinggal memanfaatkannya dan mengklaim pemilikan dan penguasaannya. Menurut  Ibnu Hazm kepemilikan itu tidaklah mutlak, tetapi justru relatif selama orang tersebut memanfaatkannya, sehingga apabila sudah tidak dimanfaatkan maka orang tersebut harus memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengelola serta memanfaatkannya, sesuai dengan asas umum kepemilikan tanah sebagai ciptaan Allah.

Pendapat Ibnu Hazm ini sangat berbeda dengan jumhur ekonom islam yang secara umum memperbolehkan penyewaan tanah seperti Abu Hanifah, Abu Yusuf, Malik, Al Syaibani, Syafi’i dan lainnya
Salah satu ulama serta ekonom abad 20 yakni Sayyid Sabiq pengikut mazhab Syafi’i mengatakan bahwa boleh menyewakan tanah untuk bertani dengan uang, makanan dan lainnya yang  dikategorikan harta. Hal ini di dasarkan pada hadits Rosulullah saw.

عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ قَيْسٍ، أَنَّهُ سَأَلَ رَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ: عَنْ كِرَاءِ الْأَرْضِ، فَقَالَ: " نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كِرَاءِ الْأَرْضِ "، قَالَ: فَقُلْتُ: أَبِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ؟، فَقَالَ: أَمَّا بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، فَلَا بَأْسَ بِهِ

Artinya: “Dari Hanzhalah bin Qois bawasanya dia pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadiij tentang menyewakan tanah. Maka ia berkata Rosululah saw melarang meyewakan tanah, Rafi’ berkata aku bertanya bagaimana kalau dengan emas dan mata uang kertas, maka Rosulullah bersabda adapun dengan emas dan uang kertas, tidak masalah”. (H.R. Muslim, No: 2.887 )

ii) Pemerataan Kesempatan Kerja

Adapun konsep pemerataan kesempatan kerja oleh Ibnu  Hazm berangkat dari konsep beliau tentang tidak bolehnya menyewakan tanah. Titik tekan dari konsep pemerataan kerja menurut Ibnu Hazm ialah apabila seseorang memiliki tanah dan dia tidak mampu menggarapnya maka hendaklah ia memberikannya kepada orang yang sedang menganggur untuk menggarapnya. Adapun akad yang bisa digunakan adalah sebagaimana telah disampaikan pada pembahasan sebelunnya yakni akad muzaro’ah atau akad mukhabarah. Namun apabila pemilik tanah tidak mau memberikan tanah tersebut dan dibiarkan dalam kondisi tidak dikelola, maka negara berhak menyitanya dan memberikannya kepada rakyat yang tidak memiliki pekerjaan untuk menggarapnya. Dengan model seperti ini Ibnu  Hazm berpandangan bahwa tidak akan ada pengangguran di dalam masyarakat. Wajar jika pemahaman ini diamini oleh sistem ekonomi sosialis yang mengklaim bahwa Ibnu Hazm adalah tokoh sosialis.

iii) Jaminan Sosial Bagi Orang Yang Tidak Mampu

Ibnu Hazm menyebutkan empat kebutuhan pokok yang memenuhi standar kehidupan manusia, yaitu makanan, minuman, pakaian, dan perlindungan (rumah). Makanan dan minuman harus dapat memenuhi kesehatan dan energi. Pakaian harus dapat menutupi aurat, rumah harus dapat melindungi seseorang dari berbagai cuaca dan juga memberikan kenyamanan yang layak.

Dari pendapat ini, Ibnu Hazm mengingatkan bahwa kemiskinan selalu tumbuh pada masyarakat yang kebutuhannya atau biayaya hidupnya lebih tinggi dari pendapatan mereka. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya kesenjangan yang sangat tajam antara si kaya dan si miskin. 

Maka dalam hal ini Ibnu Hazm memberikan trobosan solusi yang brilian dengan mewajibkan orang kaya menanggung kehidupan orang-orang fakir, miskin anak yatim dan orang-orang yang tidak mampu atau lemah secara ekonomi. Mengenai hal ini Ibnu Hazm berpandangan sebagai berikut:

“orang-orang kaya dari penduduk setiap negeri wajib menanggung kehidupan orang-orang fakir miskin di  antara mereka. Pemerintah harus memaksakan hal ini terhadap mereka jika zakat dan harta kaum muslimin (di bait al mal) tidak cukup untk mengatasinya. Orang fakir miskin itu harus diberi makanan dari bahan makanan semestinya, pakaian untuk musim dingin dan musim panas yang layak dan tempat tinggal yang dapat melindungi mereka dari hujan, panas, dan pandangan orang-orang yang lalu lalang”.

Jika ditelaah lebih jauh, maka Ibnu Hazm memberikan saran kepada pemerintah untuk memaksa para pemilik harta agar senantiasa berbagi dengan orang lain terutama terhadap mereka yang lemah secara ekonomi. Bahkan lebih jauh lagi Ibnu Hazm menyampaiakan bahwa mereka yang kaya dan tidak mau menanggung beban saudaranya yang membutuhkan pertolongan harus diberikan sanksi yang setimpal, karena sesungguhnya kemiskinan dan kelaparan akan mendatangkan bencana yang sangat besar kepada sebuah negara yakitu bencana kemanusiaan.
Pendapat ini didasarkan pada firman Allah dalam Al Qur’an yang berbunyi:

Artinya:. “dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”. (Q.S.17 Al Isro’ ayat: 26)

Dalam ayat yang lain Allah SWT, kembali memperjelas :

Ayat ini menjelaskan kepada umat manusia bahwa menolong fakir-miskin serta yang membutuhkan bantuan, bagi mereka yang memiliki kelebihan harta adalah kewajiban di luar zakat. Sebab berbagi dalam kontek sosial memiliki dampak baik secara mikro maupun makro. Kepedulian orang kaya terhadap orang miskin akan melahirkan rasa cinta antara kedua belah pihak dan dampaknya terjalin ukhuwah yang dilandasi nilai-nilai kasih sayang dan lebih jauh lagi kriminalitas bisa diminimalisir bahkan bisa hilang sama sekali.

Bagi mereka yang memiliki jiwa penolong dan menolong saudaranya, Rosulullah saw, memberikan penghargaan sebagimana  sabdanya:

عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ سَالِمًا أَخْبَرَهُ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: " الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه البخاري

Artinya: “Seorang muslim itu saudara bagi muslim lainnya. Ia tidak boleh menganiaya dan tidak boleh menyerahkannya (kepada musuh). Barang siapa membantu keperluan saudaranya, Allah akan (membalas) membantu keperluannya. Barang siapa membebaskan seorang muslim dari kesusahan, Allah akan membebaskan satu kesusahan darinya dari beberapa kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, Allah akan menutupi (aib) nya pada hari kiamat”. (H.R. Muslim, No: 4.677).


Kedua hadits ini mengisyaratkan bahwa tidak akan pernah rugi mereka yang mau berbagi, tidak akan pernah celaka mereka yang mau menanggung penderitaan saudaranya karena Allah telah menjanjikan sesuatu yang istimewa untuk mereka. yakni Allah akan memudahkan urusan mereka baik dunia maupun akhirat.

Adapun mereka yang kikir dari membantu sesama, Allah mengancamnya dengan siksaan yang amat pedih, sebagaimana firman-Nya.

Artinya: " (42). Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? (43). mereka menjawab: Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, (44). dan Kami tidak (pula) memberi Makan orang miskin”. (Q.S. 74 Al Mudastsir: 42-44)

Hak-hak yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk dipenuhi, oleh Ibnu Hazm dipahami sebagai suatu kewajiban dan kewajiban itu harus dikuatkan oleh pemerintah (umaro’). Hak-hak tersebut tidak lain merupakan hak asasi manusia berupa pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan yang layak dan sesuai dengan harkat kemanusiaan. Bagaimanapun kemiskinan tidak pernah dikehendaki oleh siapapun, karena itu orang miskin harus dibantu agar terbebas dari kemiskinan yang membelenggu.
Jika kita kembali kepada dua ratus tahun sebelumnya pada saat Umar Ibnu  Khattab menjadi khalifah, beliau juga telah melakukan apa yang digagas dan dilakukan Ibnu Hazm. Bahkan Umar ra merinci dengan lebih detail siapa saja yang harus mendapatkan jaminan sosial dari pemerintah. Dan menurut Umar mereka yang berhak mendapatkan jaminan sosial  dari pemerintah adalah: fakir, miskin, janda dan anak yatim, orang sakit, orang lumpuh, keturunan para mujahid, tawanan perang, hamba sahaya, tetangga yang kelaparan, narapidana, gharimin, Ibnu Sabil, dan anak temuan. Luar biasa bukan, inilah ekonomi islam yang menjanjikan kesejahteraan.


iv) Kewajiban Mengeluarkan Harta Selain Zakat

Dalam islam, kaum muslimin yang memiliki kecukupan harta dikenakan kewajiban membayar zakat. Sementara infaq dan sedekah bersifat anjuran yang oleh Allah dihitung sebagai amal shalih yang bersifat sunnah. Ibnu Hazm melakukan trobosan dengan mewajibkan orang mampu agar mengeluarkan sebagian hartannya selain zakat untuk kemaslahatan umat. Langkah Ibnu  Hazm ini dianggap kontropesial oleh sebagian fuqoha, sehingga dalam hal ini para fuqoha’ berbeda pendapat. 

Adapun pendapat yang mewajibkan adanya  kewajiban mengeluarkan harta selain zakat sebagaimana pendapat Ibnu Hazm juga senada dengan pendapat beberapa sahabat diantaranya Umar Ibnu  Khattab, Ali Bin Abi halib, Abu Zar Al Ghifari dan beberapa sahabat lainnya. Sementara dari kalangan tabi’in yang sependapat antara lain: Al Sya’bi, Mujahid dan Thawus.

Sementara pendapat yang mengatakan tidak ada kewajiban harta selain zakat dikemukakan oleh ulama’ fiqh muta’akhirin. Mereka melandaskan pendapat mereka dengan hadits  Rosulullah yang diriwayatkan oleh  Bukhari-Muslim.

عَنْ أَبِي سُهَيْلٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ سَمِعَ طَلْحَةَ بْنَ عُبَيْدِ اللَّهِ، يَقُولُ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ، ثَائِرُ الرَّأْسِ، نَسْمَعُ دَوِيَّ صَوْتِهِ، وَلَا نَفْقَهُ مَا يَقُولُ، حَتَّى دَنَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ  فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنِ الإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ : " خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ "، فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُنَّ؟ قَالَ: لَا، إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ، وَصِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ، فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُ؟ فَقَالَ: لَا، إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ، وَذَكَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ الزَّكَاةَ، فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ: لَا، إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ، قَالَ: فَأَدْبَرَ الرَّجُلُ، وَهُوَ يَقُولُ: وَاللَّهِ لَا أَزِيدُ عَلَى هَذَا، وَلَا أَنْقُصُ مِنْهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ: أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ

Artinya: “Telah datang seorang laki-laki dari najd kepada Rosulullah dengan rambut tergerai, suaranya terdengar parau dan apa yang dikatakan tidak mudah ditangkap. Setelah mendekati rosulullah saw, ia bertanya tentang islam. Kemudian Rosulullah saw menjawab “lima kali shalat dalam sehari-semalam”. Ia bertanya lagi apa ada kewajiban yang lain untuk diriku? Rosulullah menjawab “tidak kecuali shalat sunah”. Rasul melanjutkan dan berpuasa di bulan Romadhan. Ia bertanya apakah ada puasa yang lain yang wajib bagiku, Rosul menjawab tidak kecuali berpuasa sunnah, kemudian Rosul menyebutkan zakat, ia bertanya apakah ada kewajiban selain zakat? Rosul mejawab tidak kecuali sedekah sunnah. Lantas laki-laki itu berbalik seraya berkata aku tidak akan menambah ataupun menguranginya” Rosulullah saw, bersabda: dia beruntung jika jujur”. (H.R. Bukhari-Muslim)

Meskipun ada perbedaan pendapat dalam masalah ini, Ibnu Hazm mensyaratkan bahwa adanya kewajiban harta selain zakat itu berlaku apabila zakat dan kas negara di baitul mal sudah tidak cukup untuk menanggung fakir, miskin dan orang-orang yang layak mendapatkan jaminan sosial.  


v) Kewajiban Zakat

Pada  masalah zakat Ibnu Hazm menekankan peran pemerintah dalam menginisiasi para muzakki agar senantiasa menunaikan kewajibannya dikarenakan zakat memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat At Taubah ayat 71 yang berbunyi 

Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. 9, At Taubah:60)

Menurut Ibnu Hazm pemerintah sebagai pengumpul zakat dapat memberikan sanksi kepada mereka yang enggan membayar zakat. Sehingga muzakki nakal mau membayarkan zakatnnya baik secara suka rela maupun terpaksa. Bahkan Ibnu Hazm mengatakan mereka yang belum pernah menunaikan zakat semasa hidupnya padahal dia mampu melakukannya, maka kewajibannya harus dipenuhi dari hartanya karena tidak membayar zakat berarti berhutang kepada Allah SWT. Sementara Abu Bakar As-Shiddiq ra, pada masa pemerintahannya memerangi para murtadin dan pembangkan yang tidak mau membayar zakat, dikarenakan zakat  adalah penerimaan utama kebijakan fiskal dalam sitem ekonomi islam. 

vi) Pajak (Jizyah / Mudharib)

Pajak atau jizyah adalah hak yang diberikan Allah kepada kaum muslimin dari orang-orang kafir sebagai tanda ketundukan mereka pada islam. Atau dengan kata lain jizyah adalah pajak yang dibayarkan oleh orang-orang non muslim sebagai pengganti fasilitas social-ekonomi, layanan kesejahteraan dan untuk mendapatkan perlindungan keamanan dari negara islam.

Kewajiban jizyah dalam Al Qur’an disebutkan pada surat At Taubah ayat 29 yang berbunyi: 

Artinya:  “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk”. (Q.S. 9, At Taubah:29)
Dalam perkembangannya jizyah mulai dibedakan dengan pajak. Jika  jizyah hanya dikenakan kepada umat non muslim, maka pajak dikenakan kepada kaum muslimin dengan syarat tertentu, sehingga pengertian pajak-pun mengalami perluasan:

“Pajak (Dharibah) adalah harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum muslimin untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka pada kondisi di mana di baitul mal sudah tidak ada lagi persediaan uang (harta).” 
Hal ini didasarkan pada kaidah-kaidah fiqih yang berbunyi di ataranya:

الْمَشَقَّةُ تَجْلِيْبُ التَّيْسِيْرِ  yang artinya “suatu kesulitan mengharuskan adanya kemudahan” dan juga menggunakan kaedah yang lain yang berbunyi: جَلْبُ الْمَصَلِحِ وَدَرْءُالْمَفَاسِدِ  yang artinya: “menarik kemaslahatan dan menolak mafsadat”.

Inilah beberapa dasar yang digunakan para ekonom islam mengambil pajak dari rakyat dan menempatkannya sebagai salah satu penerimaan fiskal. Namun perlu diperhatikan bahwa syarat utama pajak dikenakan kepada kaum muslimin dalam pemerintahan islam adalah apabila kondisi keuangan negara dalam keadaan emergensi atau sangat kritis.

Dalam masalah ini, Ibnu Hazm lebih fokus pada faktor keadilan dalam sistem pajak. Menurutnya sebelum segala sesuatunya diatur, hasrat orang untuk mengeluarkan kewajiban pajak harus dipertimbangkan secara cermat, karena apapun kebutuhan seseorang terhadap apa yang dikeluarkannya akan berpengaruh pada sistem dan jumlah pajak yang dikumpulkan. Menurut Ibnu Hazm pengumpulan pajak hendaknya dilakukan dengan alami, dengan menghindari sikap kasar, paksaan atau eksploitatif. Pengumpulan pajak tidak boleh melampaui batas ketentuan syari’ah. Artinya pajak boleh ditarik dari masyarakat apabila mereka mau membayarkannya dengan sukarela. Dengan kata lain Ibnu Hazm mengajarkan kepada para penguasa pada zaman itu juga berlaku untuk masa kini, apabila ada masyarakat mampu yang tidak mau membayar zakat maka dia harus dijatuhi sanksi, demikian juga apabila ada penduduk kafir yang berada dalam kekuasaan kaum muslimin dan tidak mau membayar jizyah maka mereka wajib mendapatkan hukuman, namun bila ada masyarakat muslim yang mampu membayar pajak namun dia tidak mau membayarkannya maka dia tidak boleh dijatuhi sanksi atau hukuman karena pajak sifatnya sukarela.

Wallahu’alam

*NB.- Penulis adalah alumni Pasca Sarjana Univ. Ibn Khaldun Bogor, Jurusan Ekonomi Syari’ah, konsentasi Perbankan Syari’ah.
        - Praktisi Pendidikan di Islamic Center At Taufiq Bogor


Lebih baru Lebih lama

Iklan

Iklan

Formulir Kontak