Ziswaf Dan Kedaulatan Suatu Negara


Oleh: Mudzakkir Khalil Khayyath, M.H.I

Praktisi Pendidikan


TendaBesar.Com - Opini - Ziswaf merupakan singkatan dari Zakat, Infaq, Shodaqoh dan wakaf. Dimana, secara umum Ziswaf tidak mungkin ditunaikan kecuali oleh mereka yang memiliki harta lebih. Karenanya, diantara hikmah disyaratkan adanya nishab adalah bahwa harta yang tidak mencapai nishab itu berarti pemiliknya masih perlu ditolong dan bukannya menolong. Rasulullah pun telah menasihati sahabat Sa’id yang hendak berwasiat tentang hartanya melebihi sepertiga dari hartanya dengan kalimat; engkau lebih baik meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan daripada meninggalkan mereka dalam keadaan meminta-minta (HR. Bukhari dan Muslim). Artinya, Islam mendorong terciptanya kemampuan finansial pada diri setiap muslim. 

Dalam konteks realitas di Indonesia, walaupun Ziswaf bukan termasuk sumber pendapatan Negara, setidaknya Negara sangat terbantukan dengan terciptanya kemampuan dan atau kemandirian ekonomi di internal umat Islam dengan potensi Ziswaf mencapai sekitar 287 Triliun versi Dompet Dhu’afa. Jumlah tersebut diperoleh dari sekitar 207 juta jiwa penduduk beragama Islam dari total jumlah penduduk Indonesia sekitar 265 juta jiwa. Artinya, komposisi utama Negara ini masih dipegang oleh umat Islam. Jika demikian adanya, maka keberadaan ekonomi komunitas muslim sangat menentukan kondisi bangsa Indonesia. Adapun di Negara bersistem Islam, Ziswaf merupakan salah satu sumber pendapatan Negara. Karena itu, pada uraian selanjutnya penulis hendak fokus pada pembahasan tentang bahwa Ziswaf (baca: ekonomi) sangat menentukan kedaulatan sebuah Negara. Secara lebih khusus adalah Negara Islam.

Ciri Negara Berdaulat

Salah satu ciri Negara berdaulat bisa dilihat dari kemampuan ekonominya. Sebagaimana kutipan Abdullah Lam, Asy-Syairazi menegaskan; Baitulmal merupakan pilar utama bagi sebuah Negara. Ia berkaitan erat dengan kepentingan umum seperti gaji tentara, para pejabat beserta para pembantunya, akomodasi prajurit, santunan fakir miskin, beasiswa para pelajar, pemenuhan kebutuhan lain, pembangunan prasarana dan benteng-benteng pertahanan serta lain-lainnya yang merupakan kepentingan umum dan rakyat secara keseluruhan.

Ambruknya Napoleon Bonaparte karena ketidakmampuannya menyediakan kakus bagi seluruh pasukannya. Sehingga mereka membuang kotorannya di sembarang tempat dan pada akhirnya menimbulkan berbagai macam penyakit. Kemudian mereka diserang oleh penyakit yang mereka “produksi” sendiri. Dari sini terlihat bahwa bangsa yang tidak memiliki kedaulatan ekonomi dengan sendirinya tidak akan memiliki kedaulatan politik, dan pada gilirannya tidak akan memiliki kedaulatan militer dan budaya.

Al-Qaradhawi pun menegaskan; tiada kedaulatan bagi suatu bangsa yang senjatanya saja dibuat oleh bangsa lain dengan cara membeli dan atas kehendak, waktu dan syarat-syarat yang ditentukan oleh produsen senjata. Dan mereka pun dapat melakukan boikot kapan dan bagaimana pun cara yang mereka inginkan. Tidak ada kedaulatan sejati bagi suatu bangsa yang bersandar kepada intelijen-intelijen asing. Tidak ada kedaulatan bagi suatu bangsa yang tidak memiliki kekuatan di tanah airnya sendiri, tidak menemukan obat untuk penyakitnya dan tidak mampu memproduksi alat-alat berat melainkan dengan cara mengimpor dari negara-negara lain.

Seandainya sebuah Negara memiliki kedaulatan ekonomi, ia tidak merasa khawatir tentaranya akan berpihak kepada bangsa lain, tidak khawatir para pejabatnya akan bekerja untuk kepentingan Negara lain, tidak khawatir para pelajarnya akan menjadi  intelijen terselubung karena menjual data dan dokumen rahasia negaranya atas nama penelitian ilmiah dan tidak akan merasa khawatir rakyatya akan bekerja untuk kepentingan bangsa lain karena apa yang mereka butuhkan semua telah dipenuhi oleh negaranya. Sebaliknya, mengundang guru asing, maskapai asing, buruh asing, beras asing, garam asing, cangkul asing dll adalah manivestasi betapa Negara tersebut belum berdaulat seutuhnya. Apalagi jika dilihat dari teori umum bahwa Negara berdaulat harus memiliki penduduk permanen dan tidak ada rekayasa kependudukan, wilayahnya harus tetap dan tidak ada ancaman referendum dari berbagai wilayah karena kesulitan menghadirkan keadilan ekonomi dan sosial dan terdapat pemerintahan yang memiliki kapasitas untuk masuk ke dalam hubungan dengan Negara-negara berdaulat.

Jamal Athiyah mengatakan, “Tidak perlu dijelaskan lagi bahwa sesungguhnya negara yang memiliki kekuatan ekonomi akan bebas dan merdeka diantara Negara-negara lain. Ia akan mandiri dan dapat mengambil keputusan-keputusannya sendiri, tidak disetir oleh bangsa lain, atau tidak akan membiarkan bangsa lain mengganggu kedaulatannya.”

Jika kita berbicara tentang teritorial, maka daerah hukum Islam bersifat universal (Qs. Al-Anbiya’ [21]: 107 atau Qs. Saba’ [34]: 28) dan jika kita berbicara tentang cakupan materi dakwah Islam maka ia bersifat komprehensip dan menyeluruh (Qs. Al-Baqarah [2]: 208);

“Masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh !”

Rasulullah saw. bersabda dengan arti;

“Bertaqwalah kepada Allah dimana saja anda berada !” (HR. Tirmidzi dengan derajat hasan)

Dari ayat dan hadits di atas dapat difahami dengan segera; tidak mungkin Allah memerintahkan hamba-Nya untuk memasuki Islam secara menyeluruh jika muatan Islam tidak menyeluruh, dan tidak mungkin Rasulullah saw. memerintahkan umatnya untuk bertaqwa kepada Allah dimana saja ia berada jika undang-undang ketaqwaan Islam tidak memenuhi seluruh ruang dan waktu. Artinya, dimana saja ruang dan tempat di atas permukaan bumi ini, maka di situ ada aturan Islam yang mesti berlaku karena aturan tersebut ada dimana-mana.

Sebagai sebuah ilustrasi, dengan sedikit adanya perbedaan, Syaikh Abdullah Azzam menyebutkan bahwa jumlah para sahabat yang ikut melaksanakan haji Wada’ bersama Rasulullah saw. sekitar 124.000 sahabat. Dari jumlah tersebut, tidak lebih dari 400-an orang sahabat yang dimakamkan di Baqi’. Sisanya, mereka wafat dan dimakamkan di luar kota Madinah. Mereka wafat di jalan dakwah Islam yang universal dan menyeluruh. Mereka wafat sebagai tumbal  universalisasi (Qs. Al-Anbiya’ [21]: 107 atau Qs. Saba’ [34]: 28) dan komprehensipisasi (Qs. Al-Baqarah [2]: 208) Islam.

Dengan gambaran di atas, kira-kira berapa harta dan kekayaan yang dibutuhkan untuk menyebarluaskan Islam dari pusat di Madinah ke seluruh penjuru dunia? Atas dasar tugas besar inilah Rasulullah dan para sahabat membangun sebuah Negara. Sebuah Negara yang berdaulat. Karena Negara berdaulatlah yang mampu menjalankan misi rahmatan lil’alamin Islam. Sebuah Negara yang memiliki kepedulian dan tanggungjawab atas keberlangsungan sejarah agama Islam dan dunia. Karena untuk itulah para pemimpin didaulat di dalam Islam; lihirasatiddin wa siyasatiddunya (untuk menjaga agama dan mengatur dunia) demikian tegas Al-Mawardi di dalam kitabnya Al-Ahkam As-Sulthaniyah.

Kebutuhan kita akan kemandirian finansial dan kedaulatan ekonomi semakin mendesak jika kita perhatikan dunia yang telah terformat menjadi dua gerbong. Gerbong hak dan batil. Di dalam beberapa hadits disebutkan bahwa, Yahudi terpecah menjadi 70 kelompok, Kristen menjadi 71 kelompok dan umat Islam terpecah menjadi 72 dan dalam riwayat lain menjadi 73 kelompok dan hanya satu yang selamat. Secara matematis, 215 kelompok kebatilan melawan 1 kelompok kebenaran. Itu secara matematis dan belum kita gunakan sebagian pendapat ulama yang menegaskan bahwa realitas perpecahan tersebut melebihi apa yang disebutkan di dalam hadits di atas. Hasilnya, perlawanan antara hak dan batil begitu sengit.

Berdasar pada analisa di atas, para ahli Ushul Fiqh menyebutkan bahwa sesuatu yang wajib apabila tidak bisa sempurna pelaksanaannya kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itu pun menjadi wajib (Maa laa yatimmu alwajib illa bihi fahua wajib). Al-Qaradhawi menegaskan, “Umat, mau tidak mau, harus memiliki beragam keahlian, kemampuan, pengalaman, dan sarana-sarana yang dapat mencukupi kebutuhan materi dan maknawinya dan menutupi kebutuhan-kebutuhan sipil dan militernya. Tidak pantas menyandang predikat guru bagi suatu bangsa yang tidak dapat menyampaikan dakwahnya melalui sarana-sarana audio-visual atau media-media canggih lainnya, kecuali dengan membeli semua itu dari bangsa lain. Predikat tersebut tidak akan pernah mampu mereka sandang selama mereka belum mampu membuat percetakan, stasiun radio, televisi dan satelit.” Wallahu ta’ala a’lam !!!


Lebih baru Lebih lama

Iklan

Iklan

Formulir Kontak