Trending

Kisah Motivasi "Sahabat Surat Miskin" Part - 4



Oleh : Elbar

"Api Itu Makin Berkobar"


TendaBesar.Com - Kisah - Pagi itu kabut masih menyelimuti kampung Gunung Napak. Mahmud dan ayahnya baru selesai sholat subuh, mereka telah bersiap-siap  untuk berangkat ke pondok pesantren Riyadhusshibyan Lendangre. Ayahnya berencana mencari informasi dan akan meminta keringanan biaya sekaligus ingin mengetahui berapa biaya perbulannya.

Mahmud-pun pamit pada ibunya, keluarga sederhana itu begitu bersahaja.  Mahmud dan ayahnya akan berjalan kaki karena tidak memiliki cukup uang untuk naik angkutan umum, apalagi untuk menyewa mobil,   jarak tempuh lebih jauh dan juga harus memutar jika menggunakan kendaraan, pertimbangan itu juga yang membuat keduanya memutuskan berjalan kaki dengan memotong jalan, meskipun jalan yang harus  mereka tempuh jalan penuh resiko dan berbahaya. 

Petualangan mereka dimulai dengan menuruni lereng gunung Napak, terus melaju menuju kampung Kekeran, menyebrangi kali besar Naggul, karena semangat yang membara tak sedikitpun Mahmud terlihat kelelahan. Dia tetap bersemangat meskipun peluh sudah mulai membasahi sekujur pakaiannya. Begitulah api semangatnya berkobar layaknya api unggun yang makin membesar, kayu bakarnya adalah cita-cita yang senantiasa membara dan apinya adalah semangat yang senantiasa menyala. Amak Syawaludin yang sudah mulai terlihat tua, juga tidak kalah semangatnya menyusuri jalan setapak yang dilalui. Jam telah menunjukkan pukul  delapan pagi, langkah kaki keduanya belum berhenti dan kini mereka telah melewati kampung Teloke dan mulai memasuki kampung Senteluk. Kaki sudah mulai terasa pegal, perjalan diperkirakan sudah menempuh sejauh 40 km, mereka akhirnya memutuskan untuk beristirahat di bawah sebuah pohon besar dan rindang. Mahmud melihat ayahnya sangat kelelahan. 

“Amak minum dulu kata Mahmud sambil menyodorkan teh manis yang telah disiapkan oleh ibunya sebelum berangkat. Amak lelah ya..? tanya Mahmud sembari memandang ayahnya, maafkan Mahmud ya maak ..lanjutnya..dengan rasa penyesalan yang amat dalam,  gara-gara Mahmud bapak harus bersusah payah seperti ini” 

Ayahnya tersenyum, sembari menjawab pertanyaan Mahmud.

“Alhamdulillah lelah sedikit, tapi entar juga sudah bugar lagi sahutnya”.

Mereka merebahkan badannya pada akar pohon yang menjalar sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang sesekali menerpa mereka.

“Subhanallah, Muud ni’mat sekali rasanya berteduh di bawah pohon ini, nanti kalau kamu sudah besar dan sukses, jangan pernah berpaling dari Allah, karena sesungguhnya Allah itu maha penyayang kepada hamba-Nya, tidak hanya kepada  manusia, tapi terhadap seluruh makhluk ciptaan-Nya.  sekiranya kamu menghitung ni’mat yang telah Allah berikan kepadamu, sungguh kamu tidak akan pernah mampu menghitungnya walaupun dengan alat yang paling canggih sekalipun. Banyak orang yang diuji dengan kemiskinan dia berhasil dan tidak sedikit yang diuji dengan kekayaan, akhirnya mereka celaka”.

Amak Syawaludin melanjutkan “Coba kamu lihat bagaimana nabi Muhammad saw. Beliau diberi cobaan dengan kemiskinan di waktu kecilnya, bahkan beliau diuji tidak hanya dengan kemiskinan tapi di usianya yang menginjak  8 tahun, ia sudah menjadi yatim piatu. Coba sejenak kamu lihat  Ali Ibn Abi Thalib, di antara sepuluh shahabat Rasulullah yang dijamin masuk syurga beliau adalah sahabat sekaligus menantu Rasulullah saw, yang paling miskin”.
  
Beliau terdiam sejenak kemudian melanjutkan kembali “Kamu bandingkan dengan Fir’aun dan Qorun. mereka diuji oleh Allah dengan kekuasaan dan harta kekayaan, akhirnya mereka menjadi sombong, congkak, tamak dan zalim.  Fir’aun diberi  kekuasaan menjadi raja, namun akhirnya dia lupa kepada tuhannya Allah rabb semesta alam, bahkan dia sendiri mengaku sebagai Tuhannya manusia. Qorun awalnya adalah pribadi yang miskin, fakir dan taat. setelah dido’akan oleh nabi Musa as, maka diapun berubah menjadi kaya raya. Cuman setelah kaya, dia menjadi sombong, pelit, congkak dan aniaya. Akhirnya keduanya dihukum oleh Allah. Fir’aun ditenggelamkan di tengah laut, sementara Qorun ditenggelamkan bersama kekayaannya ke dalam perut bumi”. Ngeri banget bukan…?

Beliau menutup wejangannya “Oleh karena itu kelak jika kamu sudah sukses jangan sekali-kali kamu menjadi orang yang sombong, pelit, kikir. Sebaliknya jadilah orang yang  pemurah, suka menolong dan kasih sayang sesama manusia”. Itulah petuah Amak Syawaludin kepada anaknya.

Mahmud menyimak dengan khusuk dan seksama petuah ayahnya, kalimat demi kalimat ia rekam dan camkan dalam hatinya. tidak sedikitpun dia memotong pembicaraan ayahnya hatta untuk bertanya sekalipun.

Rasa lelah sudah mulai berangsur pulih, keduanya kembali melanjutkan perjalanan menyusuri jalan setapak yang menuju ke kampung Puncang. 

Dari kampung puncang diperkirakan jarak tempuh menuju pondok pesantren Riyadhusshibyan kurang lebih 5 km. Setiap berpapasan dengan seseorang, Mahmud selalu menyempatkan bertanya apakah jarak tempuh ke ponpes Riadhusshibyan masih jauh atau sebaliknya sudah dekat. Akhirnya dia dan ayahnya mulai memasuki kampung Kayangan dan tidak jauh dari kampung kayangan ia memasuki kampung Lendangre 

“Alhamdulillah nak, kita sudah memasuki kampung lendangre.” kata ayahnya.

“tunggu sebentar, ayah mau bertanya katanya sembari menghampiri salah seorang warga yang sedang berpapasan”. 
“Amaak maaf.. tenyodok beketuan sekedik, pondok pesantren Riadusshibyan niki embe taok papahne” ? 

“Oo karing semendak amak, de lampak trus lurus  pas lek ujung kampung niki lek atas saluran kokok nike wah penggitanne”   jawab warga tersebut. 

Dada Mahmud semakin bergemuruh dan bedeguk dengan hebat, “ya Allah gumamnya” di saat tinggal hitungan menit dia sudah sampai dipondok pesantren itu. 

“Subhanallah asri sekali ucapnya dalam hati, Mahmud  tercengang, gerbang pesantren sudah di depannya.

“Assalamu’alaikum.. dengan suara lembut dan masih berselimut rasa lelah ayahnya memberi salam” 

Wa’alaikum salam, beberapa santri  langsung menyambut sembari berjabat tangan dan mempersilahkan mereka duduk di sebuah berugak yang sangat asri”

Mahmud ta’ajub, pesantren itu tidak terlalu besar, tapi ia nampak asri karena letaknya yang sangat strategis. Di depan gerbangnya, mata disungguhi pemandangan hijau hamparan sawah yang terlihat indah. Subhanallah..benar-benar asri, Mahmud terus mengamati satu persatu bangunan yang ada.

Di samping gerbang sebelah kiri terdapat tanah lapang yang telah terisi pondasi untuk pembangunan masjid, disamping kanan pondasi masjid kamar mandi dan 4 meter depan kamar mandi terdapat berugak  yang berukuran 2X2 meter yang terlihat sangat asri. Di samping kanan berugak terdapat bangunan memanjang yakni 5 ruangan berukuran 5x5 meter  yang sudah cukup tua. Pondok ini khusus untuk santri laki-laki, sementara santri perempuan terpisah berada di tengah kampung. Di depan berugak terdapat rumah yang cukup besar berukuran 10X10 meter yang ditempati oleh Bapak Tuan guru beserta keluarganya.

Kreoooot…… terdengar pintu dibuka…tak lama keluar sosok yang sangat berwibawa, namun bersahaja. Meskipun usianya sudah agak sepuh…namun pengelihatannya tajam, wajahnya cerah bersinar.

“Assalamu’alaikum, beliau menyapa dengan penuh sahabat…

“wa’alaikum salam… jawab Mahmud dan Amak Syawaludin hampir berbarengan…

“Sai niki…? siapa ini tanya tuan guru 

“Tiang Amak Syawaludin dan ini anak tiang Mahmud" jawab ayah Mahmud
  
Dengan penasaran bapak Tuan Guru H. Ahmad Hanafi  atau Papuk Tuan Guru Nafi, begitulah namanya biasa disebut masyarakat, beliau bertanya kepada ayahnya Mahmud.

“Embe leman pelungguh de lanjut beliau penasaran (dari mana asal bapak ini?)

“kami dari kampung Gunung Napak Batu Layar, jawab Amak Syawaludin.

“subhanallah jauh sekali, bapak naik apa kesini? 

“Alhamdulillah kami jalan kaki tuan guru” jawab ayah Mahmud. 

“Masya Allah bapak Tuang Guru ta’ajjub. 

Kemudian Amak Syawaludin menceritakan mengapa dia dan anaknya Mahmud datang ke pesantren.

“Anak saya ini ingin sekali melanjutkan sekolahnya, dua minggu yang lalu saya mendapat kabar dari gurunya kalau di daerah sini ada pondok pesantren yang biayanya terjangkau. Pada awalnya kami tidak berniat melanjutkan pendidikannya karena kondisi kami yang paspasan tapi kata gurunya kalau anak ini tidak dilanjutkan pendidikannya, maka bisa jadi anaknya patah hati. Soalnya anak ini sering bersedih di sekolahnya, di saat teman-temannya membicarakan kemana mereka akan melanjutkan, dia suka murung dan menyendiri. Kami datang kesini untuk mencari informasi masalah biaya sekolah dan pesantren”.

“enggeh, enggeh, kata tuan guru setelah mendengarkan cerita amak Syawaludin panjang lebar. Untuk pondok pesantren perbulannya hanya Rp. 10.000,- dan untuk sekolah SPP perbulannya Rp.15.000,- mendengar penjelasan itu Amak Syawaludin menunduk. Sementara wajah Mahmud langsung berubah, dia membayangkan uang Rp. 5000,- saja waktu itu sedemikian susahnya, apalagi kini orang tuanya harus mengeluarkan isi kantongnya Rp. 25.000,- per bulan, dari mana ayahnya akan mendapatkan uang sejumlah itu. 

“ya Allah gumamnya dalam hati, mudahkanlah rizki hamba dan keluarga hamba” do’a-nya sambil menatap lantai dalam-dalam. 
Mahmud tidak berucap sepatah katapun, ia hanya membayangkan betapa orang tuanya akan kelelahan mencari biaya sekolahnya butiran air bening mengalir dari kelopak matanya.

Bapak tuan guru mengetahui apa yang dipikirkan oleh Mahmud lalu beliau menyambung penjelasannya.
“Tapi itu bagi yang mampu kata beliau, kalau yang tidak mampu insya Allah kami bebaskan biayanya dengan syarat ada surat keterangan miskin dari kelurahan dan kecamatan setempat”. 

Amak Syawaludin manggut manggut dan melanjutkan obrolan.

“Kebetulan tiang juga bawa surat keterangan miskin dari kecamatan, dan raport serta poto kopy STTB Mahmud, kata Amak Syawaludin sambil menyodorkan sebuah map yang berisi  persyaratan standar tersebut”.

Papuk tuan guru kemudian membuka, dan meneliti satu persatu, pertama STTB, nilai Mahmud sangat pantastis, jarang ada anak ndeso yang mampu sampai pada nilai tersebut, ini membuktikan bahwa Mahmud bukan anak sembarangan, dia anak yang cerdas dan berbakat, kemudian nilai raportnya juga sangat menakjubkan, ia senantiasa masuk pada dua besar urutan rangking kelas, hanya pada kelas 1,2 dan 3 dia bearada pada posisi juara dua, pada kelas 4,5 dan 6 bahkan sampai EBTANAS dia senantiasa memimpin menjadi jawara kelas, luar biasa anak ini gumam papuk tuan guru sembari sesekali menatap Mahmud yang terus terdiam dan membisu.

Berikutnya papuk tuan guru melihat surat keterangan miskin dari desa dan kecamatan, lengkap sudah bahwa anak ini harus mendapatkan haknya belajar dan pesantren ini akan kedapatan berkah jika anak ini belajar di sini sambung papuk tuan guru dalam hati.

“Baik amak Syawal saya telah melihat prestasi Mahmud  luar biasa, anak ini anak yang cerdas dan berbakat lanjut tuan guru. untuk Mahmud saya melihat kamu anak yang memiliki semangat, kamu anak yang memiliki keinginan kuat, jarang ada anak yang memiliki jiwa seperti kamu, dan ayah kamu sangat beruntung memiliki anak seperti kamu, setelah melihat nilai raport dan hasil EBTANAS kamu, insya Allah kamu boleh mondok di sini, biaya pondok jangan dipikirkan, dan biaya SPP sekolah juga akan kami bicarakan dengan kepala sekolah, supaya ayah kamu dibebaskan. Cuman mungkin biaya ujian catrwulan kamu dikenakan Rp. 3000,- setiap empat bulan sekali.  Bagaimana apakah amak Syawaludin bersedia?”

“insya Allah, saya bersedia dan terimakasih atas segala keringanan yang diberikan jawab ayah Mahmud” 

Setelah lama berbincang, akhirnya Mahmud dan ayahnya undur diri. Mereka kembali pulang menyusuri jalan setapak dibawah terik matahari. Hati Mahmud dihiasi oleh bunga-bunga kebahagiaan,  cita-cita yang selama ini diharapkannya sudah di depan mata. Minggu depan dia sudah bisa menikmati suasana baru di pondok pesantren. "Ya Allah terimakasih atas nikmat yang engkau berikan selama ini gumamnya".

to be continue..

Lebih baru Lebih lama

Iklan

Iklan

Formulir Kontak