Indonesia Maju Bersama Huffazh Al-Qur’an


Oleh: Mudzakkir Khalil Khayyath

Praktisi Pendidikan


TendaBesar.Com - Opini - Diantara tanggungjawab seorang muslim terhadap Al-Qur’an adalah menjaga teksnya. Menjaga teks inilah yang menjadi konsentrasi para huffazh Al-Qur’an. Harapan penulis adalah, semoga upaya mereka termasuk di dalam hadits nabi saw. yang artinya;

“Jagalah Allah niscaya Ia akan senantiasa menjagamu ! Jagalah Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya bersamamu !” (HR. At-Tirmidzi)

 Artinya, semakin banyak para penghafal Al-Qur’an di Indonesia, dimana titik fokus mereka adalah menjaga kalamullah (firman Allah), maka akan semakin banyak orang Indonesia yang dijaga oleh Allah ta’ala. Jika penghuni Negara Indonesia mendapatkan jaminan penjagaan dari Allah, dengan sendirinya Negara Indonesia juga mendapatkan jaminan yang sama. Karena baik-buruknya suatu Negara sangat ditentukan oleh para penghuninya. Jika Allah telah terlibat terhadap Negara Indonesia, maka kosa kata “Indonesia Maju” bukan isapan jempol.

 Dalam uraian selanjutnya penulis hendak berikhtiar mengurai peran penting para penghafal Al-Qur’an terhadap kemajuan bangsa Indonesia. Peran tersebut setidaknya dilihat dari efek positif bagi Negara Indonesia dari budaya menghafal kitab suci Al-Qur’an. Semoga bermanfaat !

Titik Tolak Indonesia Maju

Di dalam kamus bahasa Indonesia, kata peradaban dimaknai dengan dua arti; pertama berarti kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin. Sedangkan makna peradaban yang kedua adalah hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa dan kebudayaan suatu bangsa.

Berbicara tentang Indonesia maju, penulis teringat dengan pertanyaan seorang dosen, “Mana yang lebih maju antara peradaban Barat dengan peradaban yang pernah dibangun oleh Rasulullah?” Hemat penulis, peradaban yang pernah dibangun oleh Rasulullah saw. jauh lebih maju dibandingkan dengan peradaban yang dibangun oleh Barat. Baik dilihat dari aspek peradaban materinya maupun dari sisi peradaban non materinya. Peradaban non materi yang mencakup peradaban akhlak, tatakrama dan sopan santun. Dalam hal ini, peradaban Barat hanya terdepan dari aspek peradaban materi. Namun tidak pada aspek peradaban non materinya. Akibanya, bisa ditebak; peradaban materi tidak berarti apa-apa jika tidak ditopang oleh peradaban non materi. Dalam kesimpulan penilaian S.M.N. Al-Attas, belum pernah ada peradaban yang paling destruktif kecuali peradaban Barat.

Dilihat dari komposisi rancang bangunnya, peradaban Islam sepenuhnya bermuara pada Al-Qur’an dan hadits dengan menjadikan hati sebagai titik tolak utamanya. Sedangkan peradaban Barat bermuara pada rasio. Efek dari keduanya adalah bahwa peradaban Islam menjadikan agama sebagai asas seluruh elemen peradabannya. Sedangkan peradaban Barat menjadikan agama hanya sebagai salah satu elemen dari keseluruhan elemen peradabannya.

Watak peradaban Barat yang bermuara pada rasio dan bukan pada agama menghempaskan dunia Barat menuju budaya Killo watt. Budaya yang menjadikan materi sebagai tolak ukur segala sesuatu. Pada akhirnya, dunia Barat mengarah pada The End of The West dan bukan The End of History sebagaimana klaim Prancis Fukuyama yang mendeklarasikan kemenangan bagi dunia Barat melalui karyanya.

Sampai di sini, peradaban manakah yang hendak dicontoh sebagai model Indonesia maju? Sebagai seorang muslim, tentu peradaban Islamlah yang layak dicontoh. Peradaban yang sepenuhnya bermuara pada Al-Qur’an dan sunnah nabi saw. dengan menjadikan hati sebagai titik tolaknya. Dimana hati memiliki kaitan erat dengan Al-Qur’an. Sahabat Abdullah bin Mas’ud pernah berkata, “Seandainya hati itu bersih, niscaya dia tidak akan pernah kenyang dari membaca Al-Qur’an”.

Dalam hal ini, seorang penghafal Al-Qur’an diharapkan memiliki kebersihan hati. Karena sebelum menjadi seorang hafizh Al-Qur’an dia telah melalui proses membaca, menghafal dan senantiasa memuroja’ah (mengulang-ulang) bacaan Al-Qur’annya. Semua pekerjaan ini membutuhkan kebersihan hati.

Jika peradaban Islam yang hendak dicontoh, berkaca pada perjalanan perjuangan Rasulullah saw. dalam upaya menjadikan Islam sebagai risalah rahmatan lil alamin, maka langkah Indonesia maju hendaknya melalui proses Ishlahul fardi wa i’dad ar-rijal (memperbaiki individu dan menyiapkan kader), Bina’ul usrah al-muslimah (membangun keluarga muslim), Irsyadul mujtama’ (membimbing masyarakat), Ishlahul hukumah wa iqamatud daulah ‘ala asasil Islam (memperbaiki pemerintahan dan membangun Negara yang Islami). Seluruh langkah ini sepenuhnya bertumpu pada kebersihan hati. Sebab, langkah-langkah tersebut merupakan akumulasi-akumulasi sekumpulan hati manusia yang bersih. Di sinilah peran penghafal Al-Qur’an. Bahwa menghafal Al-Qur’an merupakan manifestasi kebesihan hati. Karena, rusaknya diri, keluarga, masyarakat, Negara dan rusaknya seluruh dunia sepenuhnya berpangkal pada rusaknya hati. Oleh karena itu, di dalam teori kedokteran nabi (Thibbun Nabawi); seluruh penyakit yang menyerang tubuh manusia berpagkal pada penyakit hati. Erat kaitannya dengan masalah ini, Rasulullah saw. bersabda;

“Ketahuilah bahwa di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Apabila ia baik, maka baik pula seluruh anggota tubuhnya, dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu ialah hati.” (HR. Bukhari-Muslim)

Budaya Hafal Adalah Budaya Istihdhor


Kata istihdhor sering dikaitkan dengan niat secara umum, niat sholat, kematian, keagungan Allah dan lain sebagainya. Istihdhor sendiri memiliki makna menghadirkan. Praktisnya adalah, budaya Istihdhor adalah budaya menghadirkan. Jika dikaitkan dengan berita, ia berarti bahwa seorang jurnalis harus mampu menghadirkan fakta dan realita sehingga beritanya berkwalitas.

Jika dikaitkan dengan kedokteran, ia berarti bahwa seorang dokter harus mampu menghadirkan dan menjadikan ilmu kedokterannya sebagai basis prakteknya. Sehingga ia menjadi dokter yang professional. Bahkan, dalam banyak urusan kesehatan seorang dokter dituntut untuk menjadi spesialis di bidangnya.

Jika dikaitkan dengan disiplin ilmu tafsir, ia berarti bahwa seorang mufassir (ahli tafsir) yang hendak menafsirkan Al-Qur’an harus mampu menghadirkan (menghafal) ayat-ayat yang hendak ia tafsirkan. Karenanya, universitas-universitas Islam yang serius mengelola fakultas-fakultasnya biasanya mensyaratkan bagi para calon mahasiswanya yang mengambil jurusan tafsir dengan kewajiban harus sudah menghafal Al-Qur’an.

Jika dikaitkan dengan ilmu hadits, budaya Istihdhor berarti bahwa seorang ahli hadits harus mampu menghadirkan haditsnya. Baik secara matan (isi hadits) dan sanad (rentetan orang-orang yang meriwayatkan hadits yang menyampaikan kita kepada matan [isi] sebuah hadits). Walaupun, secara umum para ulama membolehkan bagi seorang perawi hadits untuk meriwayatkan matan (isi) sebuah hadits secara makna (sehingga teksnya berbeda dengan teks hadits yang diucapkan oleh Rasulullah saw.). Akan tetapi dengan syarat-syarat tertentu. Agar supaya hadits yang diriwayatkan betul-betul memiliki argument fakta yang kuat. Kuat bahwa ia bersumber dari nabi saw (jika ia merupakan hadits marfu’), bersumber dari sahabat (jika ia berupa hadits mauquf) dan dari para tabi’in dan yang lainnya (jika ia memang merupakan hadits maqthu’). Karena itu pula, para ulama yang memiliki halaqoh-halaqoh tahfizh hadits mensyaratkan bagi calon penghafal hadits harus terlebih dahulu sudah menghafal Al-Qur’an. Jika tidak demikian, sulit. Bahkan, bagi para penghafal Al-Qur’an pun tidak mudah menghafal hadits-hadits nabi saw. Itulah sebabnya, sejauh yang penulis ketahui; baru ada dua mahasiswa dari Indonesia yang mampu lulus sebagai mahasiswa S1, S2 dan S3 dalam bidang hadits di Universitas Islam Madinah. Universitas Islam negeri di Madinah yang mensyaratkan harus sudah menghafal Al-Qur’an bagi para calon mahasiswa jurusan Tafsir Al-Qur’an. Hasilnya, tentu berbeda. Apalagi jika dibandingkan dengan penafsir-penafsir karbitan yang mengatakan, “Saya lebih bangga dengan orang yang tidak faham ilmu tafsir tetapi bisa menafsirkan Al-Qur’an.” Logikanya, dia merelakan isterinya dioperasi cessar oleh bukan spesialisnya. Oleh tukang tambal ban misalnya.

Demikian pula jika dikaitkan dengan ilmu Aqidah, budaya Istihdhor berarti bahwa seorang muslim yang beraqidah yang lurus harus mampu menghadirkan argumentasi-argumentasi sebelum ia meyakini segala sesuatu yang berkaitan dengan agamanya. Minimal ia mesti harus mengetahui sumber-sumbernya. Sebab perkara tersebut merupakan sebab kesuksesan dirinya di dunia dan di akhirat. Seorang muslim yang baik tidak begitu saja menerima informasi sesuatu tentang agamanya. Harus ada data dan fakta sebelum meyakini dan mengerjakan sesuatu. Demikian pula jika budaya Istihdhor dikaitkan dengan berbagai disiplin ilmu, ia memiliki makna menghadirkan. Ia merupakan antitesis dari abal-abal, tiruan dan hoak. Wallahu ta’ala a’lam !!! 


Lebih baru Lebih lama

Iklan

Iklan

Formulir Kontak