Oleh: Abd Rochim
TendaBesar.Com - Opini - Dr. Jasser Auda, pada bukunya yang berjudul: al-Daulah al-Madaniyah, membahas tentang prulatitas dan wilayah abu-abu dalam fiqh politik. Salah satu usul beliau yang menarik adalah: memperluas wilayah abu-abu dalam fiqh politik dan bukan mempersempit.
Kata abu-abu seringkali memiliki makna negatif, karena kita memahaminya sebagai "syubuhat". Apabila syubuhat maka sebaiknya kita meninggalkannya, demi menjaga kemurnian agama.
Wilayah abu-abu dalam fiqh politik bukan terkait dengan syubuhat dalam pengertian di atas. Akan tetapi maksudnya adalah: perkara-perkara yang multitafsir dan multi pendekatan.
Perkara dan perisitwa yang terkait dengan politik seringkali memiliki banyak sudut pandang. Maka, tatkala kita menggunakan pendekatan satu sudut pandang saja niscaya akan menimbulkan goncangan.
Ada banyak peristiwa politik yang bisa menjadi contoh kasus di atas. Misalnya, dalam fiqh klasik terkait politik ,kita menemukan pembahasan tentang syarat pemimpin: keturunan quraisy. Apakah ini dipahami secara dzahir teks atau subtansi dari teks? Apakah kepemimpinan itu terkait dengan muamalat /'adiyat atau perkara ibadah/ ta'abbudat? Apakah lebih memilih pemimpin yang bukan keturunan Quraisy daripada yang keturunan Quraisy berarti tidak taat kepada hadits tentang pemimpin dari Quraisy?
Apakah jamaah-jamaah yang ada saat ini maknanya jamaah yang ada dalam hadits-hadits nabi saw? Apa korelasi istilah jamaah di masa nabi saw dengan fiqh politik? Apakah partai politik dan organisasi keagamaan saat ini mengambil makna jamaah di masa Nabi saw?
Apakah boleh wanita menjadi kepala daerah? Apakah hadits yang berbicara tentang resiko kepemimpinan wanita itu bisa serta merta diterapkan dalam konteks kepemimpinan kepala daerah?
Penerapan persatuan umat muslim dalam banyak ayat dan hadits, apakah maknanya harus satu pandangan dalam segala hal, seperti pilihan partai politik, organisasi, gerakan dan sikap? Apakah persatuan itu maknanya mereka semua bersatu dalam satu pemerintahan dan satu negara sebagaimana yang ada pada masa al-Khulafa' al-Rasyidun?
Persoalan fiqh politik tidak sederhana. Tidak senantiasa hitam putih. Justru, wilayah abu-abunya lebih luas dari pada yang hitam putih.
Wilyah abu-abu ini (multi penafsiran) itu terdapat pada : pemahaman terhadap teks-teks terkait dengan politik dan pemahaman terhadap realita politik yang terjadi itu sendiri. Maka, memaksakan hitam putih pada perkara yang abu-abu akan menciptakan masalah, sebagaimana mengabu-abukan perkara yang hitam putih juga akan mendatangkan masalah.
Sebagian kalangan muslim memiliki kecendrungan sikap tegas dalam segala hal. Padahal, tidak semua masalah perlu kita sikapi dengan tegal (hitam putih). Sikap semacam ini muncul karena cara melihat fiqh politik dengan pendekatan teks yang ideal dan memaksakananya pada situasi yang tidak ideal.
Sebagai contoh: yang ideal itu bila semua umat muslim bersatu dan berada dalam satu pemerintahan sebagaimana yang ada pada masa keemasan Islam. Dengan cara pandang itu, orang tersebut akan melihat ijtihad politik yang ada saat ini salah dan tidak ideal karena harus sesuai dengan yang ideal itu.
Berbeda halnya bila kita melihat realita saat ini seperti apa, selanjutnya apa perintah agama yang bisa kita terapkan dalam konteks realita saat ini? Pada titik ini, kita akan bekerja berdasarkan realita dimana kita berada. ijtihad kita saat ini berbasis pada realita saat ini, sebagaimana ijtihad di masa lalu berbasis pada realita di masa lalu.
Bersikap tegas pada wilayah hitam dan putih adalah keharusan. Bersikap toleran terhadap perkara yang abu-abu juga suatu keniscayaan yang kita butuhkan. Karena wilayah politik adalah wilayah muamalat atau 'adiyyat, maka sebagian besar adalah wilayah ijtihad, wilayah yang multi pendekatan dan sudut pandang. Maka, menjadikan semua wilayah ijtihad ini sebagai wilayah yang qath'i, memaksakan satu sudut pandang dan menghilangkan perbedaan justru bisa memicu perpecahan.
Wilayah abu-abu dalam politik tidak senantiasa negatif. wilayah abu-abu juga tidak senantiasa perkara-perkara syubhat yang harus dijauhi. Akan tetapi, wilayah abu-abu dalam konteks politik adalah wilayah yang membutuhkan kelapangan dada kita untuk menerima berbagai sudut pandang dan pendekatan.
Wallahu a'lam