Lebih Dekat Dengan Perbankan Syari’ah


Oleh: Shobri, M.EI

TendaBesar.Com - Opini - Kehadiran Bank Syari’ah dalam rangka menjembatani dan menjalankan amanah Al Qur’an khususnya terhadap kaum muslimin merupakan satu hal yang sangat menggembirakan. 

Berabad abad lamanya kaum muslimin terpaksa melakukan akad transaksi dengan sistem  ribawi dikarenakan tidak adanya Lembaga Keuangan Syari’ah yang menjadi perantara    nya. 

Namun berkat perjuangan gigih para ekonom muslim, akhirnya Lembaga Keungan Syari’ah yang dinanti kaum muslimin hadir menyapa masyarakat, membawa angin perubahan dalam sistem perekonomian dunia. Namun bukanlah suatu keberhasilan jika tidak melalui berbagai rintangan. Pada awalnya Lembaga Keuangan Syari’ah disanksikan mampu membawa perubahan dalam prekonomian umat. 

Dan seiring waktu berjalan  masyarakat dunia menyambut dengan gegap gempita kehadiran sistem ekonomi syari’ah dan menganggap justru ekonomi syari’ah jauh lebih menjanjikan keadilan, kemakmuran, kebahagiaan dan pemerataan ketimbang sistem ekonomi kapitalis ataupun sosialis yang selama ini mencengkram sistem prekonomian dunia dan terbukti membawa bencana dalam tatanan sosal kemasyarakatan. 

Terlepas dari banyaknya hal-hal yang perlu dibenahi dalam tataran oprasional perbankan syari’an, kita sangat bersyukur karena memiliki lembaga yang telah memfasilitasi kaum muslimin agar transaksinya tidak terjebak dalam riba. 

Definisi Perbankan Syari’ah

Kata bank berasal dari Bahasa Prancis banque  dan banco dari Bahasa Itali yang artinya; peti, lemari atau bangku. Adapun peti atau lemari menyiratkan fungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga, seperti peti emas, peti berlian, peti uang dan sebagainya. Pada abad ke-12 kata banco merujuk pada meja, counter, atau tempat penukaran uang. Dengan demikian fungsi dasar dari bank adalah menyediakan tempat untuk menitipkan uang dengan aman dan menyediakan alat pembayaran untuk membeli barang dan jasa.
 
Dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 diterangkan bahwa yang dimaksud dengan perbankan syari’ah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syari’ah dan unit usaha syari’ah mencakup kelembangaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Adapun yang dimaksud Bank Syari’ah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syari’ah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syari’ah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah.  

Dari definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa perbankan syari’ah adalah Lembaga Keuangan yang bergerak dalam pengumpulan dan penyaluran dana baik dalam bentuk pembiayaan, perdagangan, jasa atau lainnya yang melandasi kegiatannya dengan prinsip yang telah ditetapkan oleh syara’. 

Sejarah Singkat Perbankan Syari’ah Dan Perkembangannya Di Indonesia

Peraktik perbankan dalam sejarah telah ditemukan sejak zaman Babylonia, Yunani dan Romawi. Meskipun  pada saat itu bentuk praktik perbankan masih sangat sederhana, terbatas pada tukar menukar uang, namun kemudian berkembang menjadi usaha menerima tabungan, menitipkan ataupun meminjamkan uang dengan memungut bunga pinjaman.
 
Bank Konvensional yang pertama kali beroperasi di kota Venesia Itali, bernama Banco Della Pizza, tepatnya di Rialto pada tahun 1587 dan dianggap sebagai awal perkembangan perbankan modern dengan perangkat utamanya bunga. Pada awalnya bank hanya beroprasi di daratan Eropa kemudian menyebar ke Asia Barat sejalan dengan daerah jajahan mereka. 

Di Indonesia bank pertama kali dibawa oleh penjajah belanda dengan mendirikan De Japache Bank, De Post Paar Bank dan lainnya.  masyarakat pribumi juga ikut mendirikan bank-bank pribumi seperti Bank Nasional Indonesia, Batavia Bank, dan lainnya sehinnga pada zaman kemerdekaan bank Indonesia semakin maju baik bank pemerintah maupun bank swasta.

Adapun kelahiran perbankan syari’ah sebagaimana Syafi’i Antonio menceritakan apa yang belaiu kutif dari Abdullah Saeed bahwa Bank Syari’ah lahir dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance islam modern yaitu neorevivalis dan modernis. Tujuan pendirian Bank Syari’ah tiada lain kecual sebagai upaya kaum muslimin melandasi seluruh aktifitasnya berdasarkan perintah Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
 
Upaya penerapan sitem profit dan loss sharing terdeteksi pada negara Pakistan dan Malaysia pada tahun 1940-an, dengan adanya upaya pengelolaan dana jama’ah haji secara non konvensional. Adapun rintisan institusi perbankan syari’ah pertama kali ditemukan di Kairo Mesir dengan beroprasinya Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr tahun 1963. Kemudian pada tahun 1975 Organisasi Konferensi Islam (OKI) menyetujui rencana pendirian Bank Pembangunan Islam yaitu Islmic Development Bank dengan modal awal 2 milyar dinar islam. 

Berdirinya Islamic Development Bank menjadi motivasi tersendiri bagi banyak negara islam untuk mendirikan Lembaga Keuangan Syari’ah. Akhirnya pada akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an bank-Bank Syari’ah bermunculan seperti Faisal Islamic Bank (di Mesir dan Sudan), Dubai Islamic Bank (di Dubai, Emirat Arab), Kuait Islamic House (di Kuait), Jordan Islamic Bank For Finance and Investment (di Jordania), Bahrain Islamic Bank (di Bahrain), Islamic International Bank For Investment and Development (di Mesir), Daar Al Maal al Islami (di Jenewa), Islamic Investment Company (di Bahama dan Sudan), Islamic Investment House (di Amman Yordan), Bank islam Malaysia Berhad (di Malaisia).
 
Adapun perkembangan Bank Syari’ah di Indonesia bermula sejak dimulainya gagasan pendirian Bank Syari’ah pada tahun 1974 dalam seminar Hubungan Internasional Indonesia dengan Timur Tengah, kemudian dilanjutkan pada seminar internasional yang dilaksanakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyaratan  bekerjasama dengan Yayasan Bineka Tunggal Ika pada tahun 1976.
  
Ide pendirian Bank Syari’ah kembali mencuat pada saat pemerintah mengeluarkan paket kebijakan oktober tentang libralisasi industri perbankan pada tahun 1988. Seiring waktu berjalan, di samping Majlis Ulama Indonesia terus melakukan kajian terhadap bunga bank dan perbankan, maka  pada Agustus 1990 yaitu pada Munas yang ke-4 Majlis Ulama Indonesia kembali membahas lebih mendalam masalah bunga bank tersebut. Hasil dari munas tersebut, dibentuklah kelompok kerja untuk mendirikan Bank Syari’ah di Indonesia dan hasilnya pada tahun 1992 berdirilah bank Mu’amalat Indonesia dari hasil kelompok kerja tersebut.

Pertumbuhan Bank Syari’ah makin pesat setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengan tahun 1997, di mana krisis tersebut membawa berkah bagi bank syari’ah. Di tengah bank-bank konvensional dilanda bencana likuiditas maha dahsyat (negative spread), ternyata bank Muamalat  sebagai satu-satunya bank syari’ah mampu melewati krisis ekonomi tersebut dengan baik.

Ketangguhan Bank Muamalat dalam menghadapi krisis tersebut melahirkan UU No 10 tahun 1998 tentang perbankan. Undang-undang ini secara tegas mengatakan bahwa Indonesia menganut dual banking system dalam sistem perbankan nasional. Ini artinya pemerintah mengakui keberadaan bank syari’ah untuk beroprasi baik sebagai Bank Umum Syari’ah maupun sebagai Unit Usaha Syari’ah Dari Bank Konvensional.  Maka sejak itulah bank syari’ah di Indonesia mengalami pertumbuhan paling pesat di dunia.

Produk, Prinsip Dan Sistem Operasional Perbankan Syari’ah

Pada dasarnya aktifitas bank syariah tidak jauh berbeda dengan aktifitas bank konvensional, yakni melakukan penghimpuan dana (funding) dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat (financing). Perbedaanya terletak pada konsep dasar operasionalnya yang berlandaskan pada prinsip syariah.
 
Dalam pasal 1 No 13 UU Perbankan disebutkan bahwa “Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah islam, antara lain kegiatan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan (ijarah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah muntahiya bit tamliki).

Produk Bank Syari’ah

Dalam rangka memenuhi kebutuhan modal untuk menunjang kelangsungan bisnisnya, bank syariah memiliki aturan-aturan tertentu yang sangat berbeda dengan bank konvensional dalam melakukan fanding ataupun financing. Secara umum, bank syariah memiliki tiga kategori produk dalam menjalankan bisnisnya yaitu;

a) Produk Penghimpunan Dana (Funding) Perbankan Syari’ah

Penghimpunan dana bank syariah diperoleh dari tiga sumber utama yaitu: modal, investasi dan titipan. Yang dimaksud dengan modal adalah dana yang berasal dari para pemegang saham bank, yaitu pemilik bank dan investor dari bank tersebut. Pemilik modal akan mendapatkan bagian dari bagi hasil usahanya (dividen) yaitu pada akhir periode tahun buku, setelah dihitung keuntungan yang didapat pada akhir tahun tersebut. 

Adapun Dalam perbankan syariah mekanisme penyertaan modal pemegang saham dapat dilakukan melalui berbagai akad, antara  lain; musyarakah fi saham asy syarikah  atau equity participation pada saham perseroan.
 
Sementara yang dimaksud investasi yaitu pemilik dana menginvestasikan kekayaannya kepada lembaga untuk dapat diusahakan dan keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakatan. Dalam hal ini Bank Syari’ah menghimpun dana dengan prinsip bagi hasil, dimana adanya akad kerjasama antara pemilik modal (shahibul mal) dengan pengusaha (mudharib) untuk melakukan suatu usaha bersama-sama. 

Keuntungan yang diperoleh dalam usaha tersebut dibagi antar keduanya dengan perbandingan (nisbah) yang telah disepakati sebelumnya dalam akad kontrak. Adapun kerugian financial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang dilakukannya.
 
Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, berdasarkan prinsip bagi hasil, bank syari’ah menyediakan layanan jasa bagi para investor antara  lain sebagai berikut:

• Mudharabah mutlaqah adalah jenis investasi dimana pemilik modal memberikan keleluasaan penuh pada pengelola (mudharib) untuk menggunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik, menguntungkan dan tidak bertentangan dengan syari’ah
• Mudharabah muqayyadah adalah jenis investasi dimana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dan mengelola dana yang diinveskan tersebut dengan batasan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya. 
Semntara itu Titipan yang dalam bahasa fikih disebut Wadi’ah adalah menitipkan sesuatu kepada seseorang agar dijaga atau dipelihara . 

Wadi’ah juga bisa didefiinisikan sebagai dana titipan dari pihak ketiga yang dititipkan pada bank dan dapat berupa tabungan ataupun giro. Pada umumnya motivasi utama nasabah menitipkan dananya pada bank terutama bank syari’ah adalah untuk alasan keamanan dan memperoleh keleluasaan dalam melakukan penarikan jika suatu waktu nasabah akan menarik kembali dana yang dititpkannya tersebut. 

Firman Allah dalam surat An Nisa: 58 

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara  manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”. (Q.S,4 An Nisa’:58)

Ada dua bentuk wadhi’ah yang dioprasikan dalam perbankan syari’ah antara  lain sebagai berikut:

• Wadi’ah yad al-amanah (trustee depository) adalah akad titipan dimana penerima titipan adalah penerima kepercayaan, sehingga ia tidak diharuskan mengganti segala risiko kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada asset titipan, kecual hal itu terjadi akibat kelalaian yang bersangkutan. 

Dalam hal ini penerima titipan (mustauda’) tidak berhak memanfaatkan aset titipan tersebut, tetapi diperkenankan untuk membebankan biaya penitipan kepada muwaddi’ (penitip).

• Wadi’ah yad adh-dhamanah (guarantee depository) adalah akad titipan dimana penerima titipan adalah penerima kepercayaan sekaligus penjamin keamanan asset yang dititipkan. Dengan prinsip ini, maka penerima titipan (mustawda’) memperoleh izin dari pemilik harta untuk menggunakannya selama harta tersebut berada di tangan bank, dan seluruh keuntungan yang dihasilkan mejadi milik penerima titipan. 

Dalam hal ini penerima titipan diperbolehkan memberikan bonus kepada pemilik harta atas kehendaknya sendiri tanpa adanya ikatan perjanjian. 

b) Produk Penyaluran Dana (Financing) Perbankan Syari’ah

Penyaluran dana adalah bagian yang sangat menentukan terhadap eksi tidaknya sebuah perbankan. Adapun Produk penyaluran dana perbankan syari’ah antara   lain sebagai berikut:

a. Produk Bagi Hasil (profit sharing) terdiri dari beberapa macam antara  lain: 

• Musyarakah (joint venture), adalah kontrak kerjasama antara  dua pihak atau lebih yang mengumpulkan modal untuk membentuk sebuah perusahaan sebagai suatu badan hukum. Setiap pihak memiliki bagian secara adil sesuai dengan kontribusi modal mereka dan juga memiliki hak mengawasi secara proporsional. Profit (keuntungan) dibagi berdasarkan kontribusi modal masing-masing atau sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan pada saat akad kontrak. 

Demikian juga apabila perusahaan mengalami kerugian, maka kerugian itu dibebankan secara proporsional kepada masing-masing pemberi modal. 

Pada hakekatnya musyarakah terdiri dari dua macam, yaitu musyarakah kepemilikan dan musyarakah akad. Sedangkan musyarakah akad terbagi menjadi lima macam yaitu:

 Syirkah al-Inan yaitu model kontrak kerjasama antara  dua orang atau lebih dimana setiap pihak memberikan suatu kontribusi dari keseluruhan modal yang dibutuhkan dan juga berpartisipasi dalam pengelolaan. Adapun tanggung jawab masing-masing pihak baik dalam dana, kerja maupun bagi hasil tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka. 

 Syirkah mufawadhah  adalah model akad kerjasama yang terdapat kesamaan dalam dana yang diberikan, tanggungjawab oleh masing-masing pihak yang terikat dalam akad. 

 Syirkah a’mal yaitu model kontrak kerjasama dua orang yang berpropesi sama untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. 

 Syirkah wujuh adalah model kerjasama antara  dua orang atau lebih yang memiliki reputasi atau rekam jejak serta prestise yang baik dan mereka ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. 

• Mudharabah, adalah bentuk akad kerjasama usaha atau bisnis dimana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh modal (100%) yang dibutuhkan, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha akan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola. 

b. Jual Beli (Sale and Purchase) adalah bentuk pelayanan pembiayaan jual beli. Adapun model akad jual beli atau pembiayaan yang dipasarkan diperbankan syari’ah adalah sebagai berikut:

1) Bai al-Murabahah

Bai al-Murabahah adalah bentuk jual beli pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah sebagai pemesan untuk membeli barang. Harga jual bank adalah harga beli dari pemasok (supplier) ditambah keuntungan yang telah disepakati antara bank dan nasabah dengan model pembayaran diangsur atau dicicil.

2) Bai Al-Istishna’

Bai Istishna yaitu akad kontrak jual beli dimana  harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu, juga bisa diangsur, sementara barang yang dibeli diserahkan kemudian sesuai jadwal dan syarat-syarat yang telah disepakati bersama.
3) Bai As-Salam

Bai As-Salam adalah bentuk akad jual beli suatu barang dimana pelunasan harganya dibayar dengan segera secara tunai, sedangkan barangnya akan diserahkan kemudian dalam jangka waktu yang disepakati.
 
Allah SWT berfirman 

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antar kamu menuliskannya dengan benar…” (Q.S.2, Al Bqoroh: 282)

Dalam hadits Rasulullah disebutkan

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَدِمَ النَّبِيُّ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثَ، فَقَالَ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ، فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ

Artinya: Dari Ibnu Abbas ra berkata, pada saat Rasulullah datang di Madinah penduduknya sedang berteransaksi tamer selama dua dan tiga tahun dengan cara salam, Lalu Rosulullah  bersabda, “Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula untuk jangka waktu yang diketahui. (H.R. Bukhari)

c. Sewa (Al-Ijarah) adalah kontrak pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Penyewa dapat diberi opsi untuk memiliki barang yang disewakan tersebut pada saat sewa telah selesai (ijarah muntahiyah bit tamlik)

Allah SWT berfirman: 

Artinya: “….dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Baqarah; 233)

Dalam Haditsnya Rasulullah bersabda 

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ " أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ "

Artinya: “Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda, berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR Ibnu Majah)

d. Gadai Syariah (Rahn) adalah akad perjanjian pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.  Gadai syariah adalah produk pembiayaan dalam perbankan syari’ah yang sangat fleksibel karena bisa digunakan untuk pembiayaan konsumtif  maupun pembiayaan produktif. Pada model pembiayaan ini bank memberikan pinjaman kepada nasabah dengan jaminan barang berharga yang dipegang oleh bank dan bank mengenakan biaya pemeliharaan atas jaminan tersebut.

c) Produk Jasa
 
Disamping produk punding dan financing, bank syariah juga memiliki produk dalam bentuk jasa yang difungsikan dalam rangka memberikan kemudahan bertransaksi bagi para nasabah.
 
Di antara  produk jasa yang difungsikan dalam perbankan syari’ah antara lain sebagai berikut:

 Al-qardh yaitu akad meminjamkan harta kepada orang lain tanpa adanya imbalan dari pihak yang dipinjamkan. Adapun aplikasinya dalam perbankan syari’ah  biasanya diberikan oleh bank dalam rangka kepedulian sosial terhadap nasabah yang benar-benar membutuhkan bantuan.

 Al-wakalah yaitu akad perwakilan antara  dua pihak dimana pihak pertama mewakilkan suatu urusan kepada pihak kedua untuk bertindak atas nama pihak pertama. Dalam aplikasinya pada perbankan syariah, wakalah diterapkan pada pebiayaan murabahah,  penerbitan Letter of Credit (L/C), untuk mentransfer dana nasabah kepada pihak lain dan lainnya.
 
 Al-hawalah yaitu akad pemindahan utang piutang suatu pihak kepada pihak lain. akad ini melibatkan tiga pihak, yaitu pihak yang berhutang (muhil), pihak yang memberikan utang (muhal), dan pihak yang menerima pemindahan (muhal ‘alaih).

 Al-kafalah yaitu menjadikan seseorang (penjamin) ikut bertanggungjawab atas tanggung jawab seorang dalam pembayaran utang.  
b. Perbedaan Mendasar Bank Syari’ah  Dengan Bank Konvensional

Terdapat perbedaan mendasar anatara Bank Konvensiaonal dengan Bank Syari’ah baik tujuan yang ingin dicapai maupun proses transaksi yang dilakukan. Dalam perbankan konvensional terdapat dua perjanjian yang terpisah yaitu:

Pertama, perjanjian antara pihak bank dengan nasabah (penabung), penabung sebagai investor menempatkan dananya di bank dengan perjanjian mendapatkan prosentase keuntungan yang ditentukan di awal. Dalam hal ini bank mendapatkan keuntungan atau rugi sekalipun, investor tetap mendapatkan keuntungan yang telah dijanjikan di samping uang yang mereka tabung tetap menjadi milik mereka.
 
Kedua, bank menyalurkan dana yang telah dihimpun tersebut kepada masyarakat dengan perjanjian bahwa kreditur harus membayar sejumlah prosentase (bunga) kepada bank dan sifatnya fixed. Dalam hal ini kreditur mendapatkan keuntungan atau tidak dari pinjaman atau pembiayaan yang diberikan bank, dia tetap memiliki kewajiban untuk membayar bunga yang telah ditetapkan pada saat jatuh tempo yang telah disepakati. 

Keuntungan yang didapatkan oleh bank adalah selisih bunga yang dijanjikan kepada investor dengan bunga yang bank wajibkan ke kreditor. Misalnya investor menempatkan dananya di bank konvensional kemudian dijanjikan bunga sebesar 5% maka bank ketika menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat akan menarik bunga yang tentunya lebih besar dari 5%.
 
Adapun dalam perbankan syari’ah terdapat kesatuan perjanjian antara bank dengan nasabah (investor) maupun anatara bank dengan dengan nasabah kreditur. Investor menempatkan dananya di bank dengan mendapatkan nisbah bagi hasil dalam arti keuntungan akan didapatkan pada saat bank telah jelas memiliki keuntungan. 

Keuntungan dalam perbankan syari’ah tidak ditetapkan di awal melainkan di akhir perhitungan keuntungan. Demikian juga dana yang telah terkumpul dari masyarakat  disalurkan oleh bank kepada pihak-pihak yang membutuhkan dengan mekanisme yang telah diatur sesuai syaari’ah, sehingga nasabah investor akan mendapatkan keuntungan tergantung pada bagi hasil atau keuntungan yang didapatkan bank dari nasabah kreditur.

Di antara perbedaan yang cukup kentara antara perbankan syari’ah dengan perbankan konvensional antara lain:
Pertama, bank syar’ah melakukan investasi pada hal-hal yang halal saja. Artinya bank syari’ah tidak akan bekerja sama dengan pengusaha atau kreditur yang melakukan usaha pada hal-hal yang tidak dibenarkan syara’ seperti perjudian, minuman khamer, pabrik narkoba dan  lainnya. Kedua, bank syari’ah melakukan pengelolaan dana dengan tiga skema jual beli, bagi hasil dan sewa-menyewa. 

Ketiga, bank syari’ah memiliki tujuan yang mulia yakni falah orientied. Keempat, Hubungan antara bank syari’ah dengan nasabah baik debitur maupn kreditur adalah hubungan kemitraan. Kelima, penghimpunan dan penyaluran dana mengikuti aturan yang telah ditetapkan dalam fatwa Dewan Syari’ah Nasional.

Sementara ciri-ciri perbankan konvensional adalah sebagai berikut:

Pertama, investasi tidak peduli halal maupun haram semuanya sama yang penting mendatangkan profit untuk bank. 

Kedua, menggunakan perangkat bunga dalam penentuan keuntungan baik kepada nasabah investor maupun kepada nasabah pembiayaan. 

Ketiga, profit orientied artinya dalam mengelola dana, tujuan utamanya yang pentig mendapatkan keutungan. 

Keempat, hubungan dengan nasabah hanya sebatas debitur dan kreditur saja, tidak yang lain, Kelima, bank konvensional tidak memiliki Dewan Pengawas Syari’ah

Sementara itu syafi’i Antonio melihat beberapa hal mendasar yang menjadi perbedaan antara     bank syari’ah dan bank konvensional antara     lain sebagai berikut; 

a) Perbedaan pertama terletak pada masalah akad dan aspek legalitas. 

Maksudnya dalam perbankan syari’ah akad yang dilakukan memiliki konsekwensi dunia dan akhirat dikarenakan akad tersebut dilakukan berdasarkan hukum islam. Adapun akad yang dilakukan pada perbankan konvensional bisa dikatakan hanya sebatas hubungan transaksi antara nasabah dengan bank sehingga kekuatan legalitasnya gampang diabaikan oleh salah satu pihak. 

b) Perbedaan kedua terletak pada Lembaga Penyelesaian Sengketa. 

Pada perbankan syari’ah apa bila terdapat perselisihan atau persengketaan antara bank dan nasabahnya, maka penyelesaiannya dilakukan secara hukum syari’ah oleh Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI). Berbeda terbalik dengan bank konvensional apabila terjadi perselisihan dengan nasabahnya maka kasusnya  akan diselesaikan di pengadilan Negeri.

c) Perbedaan ketiga terdapat pada struktur organisasi dimana pada perbankan syari’ah diharuskan memiliki Dewan Pengawas Syari’ah untuk mengontrol agar bank dalam oprasionalnya tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kode etik syari’ah.

d) Perbedaan keempat terletak pada bisnis dan usaha yang dibiyayai. 

Pada bank syari’ah jenis bisnis dan usaha yang dibiyayai tidak terlepas dari saringan dan pengawasan syari’ah. Dalam perbankan syari’ah suatu pembiayaan akan disetujui apabila memenuhi beberapa hal pokok berikut ini:
 
1) Jenis usaha atau bisnis yang diajukan harus halal dan bebas dari riba 
2) Jenis bisnis atau usaha tersebut tidak menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat
3) Jenis bisnis atau proyek yang diusulkan terbebas dari perbuatan mesum atau asusila
4) Jenis usaha atau bisnis tersebut bersih dari unsur perjudian
5) Jenis usha tersebut tidak berkaitan dengan pembuatan senjata illegal atau pengembangan senjata pembunuh masal

6) Jenis usaha atau proyek yang digarap tidak merugikan syi’ar islam baik secara langsung maupun tidak langsung. 

Kondisi terbalik kita temukan dalam perbankan konvensional, apapun jenis usahanya selama usaha tersebut dapat menghasilkan profit, perusahaannya layak dan kredibel menurut penilaian bank, maka usaha tersbut akan disupport.

e) Perbedaan kelima terletak pada lingkungan kerja dan corporate culture. 

Dalam perbankan konvensional lingkungan kerja bisa saja diatur sekondusif dan senyaman mungkin, namun ruh ilahiyah sama sekali tidak menjadi pertimbangan. 

Dalam perbankan konvensional kecendrungan dalam merekrut kariawan terletak pada performant atau penampilan, aspek ibadah menjadi bagian yang tidak penting. Sementara dalam perbankan syari’ah yang diutamakan adalah nilai-nilai ilahiyah yang tertanam pada diri kariyawan, seperti sifat amanah, kecerdasan, propesional, team work yang kuat, penampilan sesuai syari’ah dan aspek ibadah lainnya.

Selamat membaca semoga bermanfaat….
Wallahu’alam…

*NB.- Penulis adalah alumni Pasca Sarjana Univ. Ibn Khaldun Bogor, Jurusan Ekonomi Syari’ah, konsentasi Perbankan Syari’ah.

Lebih baru Lebih lama

Iklan

Iklan

Formulir Kontak