RUU-IKN Mengkhianati Demokrasi Negeri Ibu Pertiwi?


Oleh : Hendrico
Sebuah pertanyaan tentang kegelisahan hati dan pikiran

TendaBesar.Com - Opini - Berbagai polemik timbul berkaitan dengan lahirnya UU IKN yang supert cepat itu. Menimbulkan pertanyaan di benak saya pribadi apa sebenarnya maksud dan tujuan undang-undang tersebut dibuat. Dan tanpa perlu mukadimah panjang lebar, alangkah baiknya kita langsung fokus kepada inti dari pertanyaan diatas.

Pada Pasal 9 ayat (1) RUU-IKN, yang berbunyi:

“Pemerintah Provinsi (Kalimantan …) dipimpin oleh seorang Gubernur dibantu oleh seorang Wakil Gubernur yang dipilih secara demokratis.”

Dapat kita lihat bersama, secara kalimat, kalimat tersebut terlihat sah-sah saja. Bagaimana jadinya apabila di komparasi dengan pasal-pasal lain di dalam RUU-IKN tersebut, diantaranya:

Pada Pasal 12 ayat (1), yang berbunyi:
“Pemilihan calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah dilaksanakan dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPRD.”

Pada Pasal 12 ayat (5), yang berbunyi:
“Setiap anggota DRPD yang hadir dalam rapat paripurna memberikan suaranya kepada satu pasangan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur dari pasangan calon yang telah ditetapkan olem Pimpinan DPRD, apabila pemilihan dilakukan melalui pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (7).” 

Apabila dilihat secara komprehensif terhadap pasal-pasal yang tercantum di dalam RUU-IKN pertanyaan-pertanyaan di dalam kepala saya semakin banyak bermunculan, diantaranya:

1. Seperti apakah definisi demokrasi menurut pembuat undang-undang?

2. Apakah suara yang diberikan oleh anggota DPRD kepada calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur dapat dipastikan dari kumulasi suara masyarakat dapilnya? Dengan cara apa anggota DPRD tersebut membuktikannya?

Yang dapat saya tafsirkan dari Pasal 12 ayat (5) RUU-IKN bahwa calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur dipilih tanpa mekanisme Pilkada yang artinya tidak langsung dipilih oleh rakyat secara riil. Apakah itu yang dinamakan demokrasi? Apakah akan menimbulkan jejaring politik uang baru? Jadi menambah pertanyaan di kepala saya.

Kemudian mari bersama-sama kita lihat Pasal 24 RUU-IKN, yang berbunyi:

Pasal 24 ayat (1) RUU-IKN:
“Pengelolaan kawasan IKN dilakukan oleh Badan Pengelola.”

Pasal 24 ayat (3) RUU-IKN:
“Kepala Badan Pengelola ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden.”

Menambah carut-marut isi kepala saya, apakah hal tersebut berpotensi menimbulkan dualisme kepemimpinan antara Kepala Daerah dan Kepala Pengelola? Hal ini mengingatkan saya kepada polemik dualisme kepemimpinan di DI Yogyakarta dalam RUU-Keistimewaan Yogyakarta mengenai posisi kepemimpinan Sultan HB X dan Gubernur, rakyat Yogyakarta pada saat itu tidak keliru dan wajar apabila ngotot untuk menjadikan Sultan sebagai Gubernur bahkan sampai seumur hidup, walaupun itu ditolak Sultan. Kembali menambah pertanyaan baru bagi saya apakah Ibukota Kota Negara baru ini ingin dijadikan Kesultanan Baru? Oleh siapa?

Pada Pasal 27 ayat (1) RUU-IKN, yang berbunyi:
“Hubungan kerja antara Kepala Badan Pengelola dan Gubernur bersifat setara dan koordinatif.”

Memang secara kalimat terlihat wajar, tapi secara isi kembali menimbulkan pertanyaan.

Demikian kegelisahan hati dan pikiran saya terhadap RUU-IKN, semoga dapat menjadi trigger diskusi dan untuk langkah yang lebih jauh, terima kasih.

Lebih baru Lebih lama

Iklan

Iklan

Formulir Kontak