Kisah Nasi dan Garam Almarhum Ustadz Tengku Dzul Karnain

Oleh: Hj.Tengku Nazariah
Adik Kandung Ustadz Tengku Dzul Karnain


TendaBesar.Com - Kisah - Satu kali aku berkunjung ke rumah Abang. "Rista, masak apa hari ini?" Tanyaku pada anak angkat Abang. Entah kenapa hari itu ada sesuatu yang menarik aku untuk datang ke sana.

Wajahnya tersenyum sungkan.

"Nasi dilembekkan, jadi bubur dengan garam ...."

Mataku terbelalak. 

"Kenapa gak bilang ke rumah kalau kalian kehabisan beras? Gak punya lauk?"

Entah bagaimana rasaku saat itu, walau sudah diterangkan bahwa beras itu tersisa dua cangkir saja karena disedekahkan pada orang yang membutuhkan ke rumah. 

Tak lama berselang, aku berbicara dengan Abang.

"Abang, sampai hati meninggalkan istri dan anak hanya makan nasi bubur dengan garam," napasku memburu menahan emosi, "Abang itu ustad termahal di Medan ...."

Wajahnya memerah.

"Jangan campuri rumah tangga kami. Kamu tahu, Dek? Kewajiban suami memberi makan istri hanya satu kali, jika lebih dari itu, namanya sedekah! Lagian istri dan anakku ridho."

Aku terbelalak.

"Tapi Bang, dengan jadual ceramah yang banyak dan di tempat yang hebat seharusnya Abang punya uang untuk memberikan sedekah itu ...."

Abang terkekeh. Wajahnya terlihat geli tapi juga kesal.

"Dek, Kamu mau abangmu ini menjadi orang yang menjadikan agama sebagai ajang jual beli? Kamu mau abangmu ini menggunakan uang dakwah untuk makan dan memberi makan anak istri? Kamu mau Abang jadi orang yang pamrih pada agama?"

Aku diam. Hanya memandang wajahnya bingung.

"Dek. Sekali saja Abang menggunakan uang dakwah untuk menghidupi anak istri, maka selamanya Abang selalu berharap pada uang dakwah itu," Abang mulai tersenyum, "misalnya begini, Dek. Jika satu saat Abang membutuhkan uang untuk kebutuhan pribadi dan Abang tidak punya uang, maka Abang akan menghitung jadual ceramah dan berharap dari dakwah tersebut. Kamu mau punya Abang yang menggantungkan hidup dan perutnya pada uang dakwah? Maka jangan pernah kalian mengajari Abang untuk menggunakan uang dakwah untuk hidup kami. Abangmu ini bekerja untuk keluarga, sedangkan dakwah hanya untuk dakwah. Faham?"

Aku mengangguk malu. 

***

Kini kusadari itu bang. Kalian suami istri memang diciptakan berpasangan hingga akhir hayat. Kalian hanya memiliki beberapa potong baju sederhana, sandal murahan dan makan apa adanya. Walau dakwah keliling dunia Abang lakukan tidak pernah membuatmu berubah menjadi sosok berbeda. 

Seperti janjimu pada orang tua kita, hidup untuk dakwah, dakwah selamanya hingga akhir usia.

Selamat jalan abangku, bahagialah kini Abang bersama mereka dan sosok yang paling Abang cinta, Rasullah SAW.

1 Syawal 1442 H
Medan, 13 Mei 2021

Lebih baru Lebih lama

Iklan

Iklan

Formulir Kontak