Trending

FH: Elit Parpol Tidak Ladi Menawarkan Pemikiran Segar, Malah Menjelma Jadi Mesin Kekuasaan

Wakil Ketua Partai Gelombang Rakyat (Gelora ) Indonesia.fajar.co.id

TendaBesar.Com - Jakarta - Wakil Ketua Parta Gelora Indonesia Fahri Hamzah menyinggung bahwa demokrasi di Indonesia mengalami kekeritisan. Hal itu diakibatkan oleh para elit politik di negeri ini tidak menunjukkan keseriusan berdemokrasi. 

Fahri melihat ini sebagai efek dari terlalu lamanya Indonesia dikungkung sistem politik kerajaan sekaligus mengalami masa kolonialisme imperialisme.Dan kini semi kerajaan sepertinya kembali muncul dengan wajah yang berbeda.

"Cita rasa, kebebasan, melemah, dan harus mengikuti maunya negara yang sedang terjadi di Indonesia," kata Fahri pada acara diskusi virtual 'Demokrasi Indonesia di Simpang Jalan?' yang diselenggarakan Moya Institute di Jakarta, Jumat (5/3/2021) petang.

Mantan singa parlemen itu menyampaikan demokrasi di Indonesia sedang melemah karena oposisinya minim. Bahkan salah satu oposisi saat ini dikoyak dan obrak abrik oleh istana. 

Pada dasarnya peran oposisi  di DPR ada,  namun, peran ini tidak dijalankan karena patut terindikasi begitu menyatu dengan pemerintahan. Jadi hanya tameng oposisi namun sebenarnya bersepakat dibelakang layar. Yang terlihat oposisinya benar justru digoyang oleh internal istana.

"Kecenderungan ikut maunya negara," kata Fahri.

Mantan Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 yang terkenal dengan perlawanannya terhadap sistem peodal ini menilai partai politik (parpol) yang menempatkan wakilnya di parlemen seolah berhenti menjadi industri berpikir. 

Kebanyakan elite parpol, baik ketua umum, sekretaris jenderal, hingga pimpinan Fraksi di DPR tidak lagi menawarkan pemikiran segar. Malah telah menjelma menjadi mesin kekuasaan. 

"Melihat parpol sekarang, demokrasi kita di persimpangan jalan," tandas Fahri. 

Pengamat politik sekaligus Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia, Prof Komaruddin Hidayat, mengungkapkan, proses demokrasi di Indonesia terasa terlalu mengikat dan normatif, karena menerapkan referensi dari Barat. 

"Jadinya, demokrasi di Indonesia lebih dekat ke informasi untuk mempengaruhi opini masyarakat, jadi market. Informasi bertemu dengan realitas masyarakat yang pluralis dan religius membuat kadang sinkron, kadang benturan," papar Komaruddin.

Kemudian, Direktur Eksekutif NetGrit dan mantan Komisioner KPU Ferry Kurnia menuturkan, bila merujuk pada indeks demokrasi, Indonesia masih belum memberikan harapan baik. Sebab, hanya memiliki skor 65.

Realita tersebut, bagi Ferry, di satu sisi membuat demokrasi Indonesia telah terlaksana, namun juga masih muncul kontraproduktif. Bahkan, berdasarkan indeks demokrasi tersebut, Ferry membandingkan kualitas demokrasi Indonesia yang di bawah Timor Leste, Malaysia, serta Filipina.

Sedangkan diplomat senior, Prof Imron Cotan menilai, Indonesia masih belajar berdemokrasi. Sehingga jangan berharap bisa menjadi jawaban atas masalah yang terjadi belakangan ini. 

“Itu over expectation,” ujar Duta Besar Indonesia untuk Australia pada 2003-2005 itu.

Demokrasi di Indonesia, lanjutnya,  tidak bisa disamakan dengan sistem politik berbasis Washington consensus dengan analogi one man one vote. Basis politik Indonesia adalah Pancasila, melalui musyawarah mufakat.

Imron menegaskan poin penting demokrasi adalah mencapai masyarakat yang sejahtera. Caranya, dengan mengimplementasikan pasal 33 dan 34 UUD 1945. Yaitu, tentang tata kelola Sumber Daya Alam di Indonesia, dan fakir miskin menjadi tanggung jawab negara. (af/tendabesar)
Lebih baru Lebih lama

Iklan

Iklan

Formulir Kontak