TendaBesar.Com - Opini - Kemunculan virus Corona atau Covid-19 di muka bumi ini menjadi titik awal perubahan. Tidak hanya di Indonesia, namun seluruh dunia. Semua sektor terkena imbasnya.
Kasus demi kasus dari penyebaran virus ini masih terus berlanjut di tengah kita. Berbagai upaya dilakukan untuk memutus rantai penyebarannya. Salah satunya dengan SFH atau sekolah di rumah.
Menjadi Guru Dadakan
Orangtua di rumah tidak membayangkan sebelumnya ketika mereka harus menjadi guru dadakan bagi putra putrinya. Hiruk pikuk rutinitas mereka harus dikosongkan beberapa waktu sekadar untuk membimbing belajar putra putri kesayangannya di rumah.
Memang, sesibuk apapun, meski bukan karena SFH, orangtua hendaknya berkontribusi aktif dalam mendidik anaknya. Namun saat tuntutan itu melebihi batas waktunya, beberapa orangtua pun mulai merasakan berat dan 'hampir' habis kesabarannya.
Terlebih mereka bukan tenaga profesional yang mahir dalam menyampaikan materi pelajaran. Meski dibimbing dalam pengerjaannya oleh dewan guru di sekolah, tetapi praktik dan pelaksanaannya digawangi oleh orangtua. Hasilnya pun pasti berbeda. Kita akan melihat bagaimana kualitas pendidikan anak, terutama dalam bidang karakter.
Sertifikat Guru
Profesional guru dengan tunjangannya dirarancang untuk memberikan hak bagi para guru profesional. Timbal baliknya mereka harus meng-upgrade wawasan dan kreativitas agar metode belajar siswa tidak menjenuhkan, melainkan penuh dengan inovasi, kreasi dan menyenangkan. Namun bagaimana dengan kondisi saat ini? Bagaimana pendidikan karakter dapat dilakukan?
Pendidikan Karakter
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam menjewantahkan tujuan tersebut, dirancang pola pendidikan karakter. Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Sekiranya penguatan pendidikan karakter ini dipahami secara betul oleh orangtua di rumah, maka insya Allah tujuan di atas dapat tercapai. Siswa tidak hanya dijejali materi pengetahuan, namun dibekali kecakapan dan integritas serta nilai-nilai luhur untuk bekal masa depannya.
Sebaliknya, jika pendidikan karakter tidak dapat dijalankan oleh orangtua untuk putra-putrinya, maka pembelajaran daring (online) hanya berdampak pada kognitif, dan itupun terkesan dipaksakan.
Belum lagi nilai kejujuran, percaya diri dan kemandirian, tentunya tidak mudah dijalankan dengan pembelajaran di rumah. Untuk kembali normal, sepertinya harus menunggu cukup lama. Tetapi dalam kaidah fiqih "ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh" (apa yang tidak dapat dilakukan secara ideal, jangan sampai ditinggal semuanya).
Langkah Nyata
Jika anak-anak merindukan sekolah, orangtua pun sangat senang menanggapinya. Sedikit banyak beban mereka berkurang. Pada saat yang sama pihak sekolah harus merespon kerinduan ini dengan serius.
Di sisi lain, pengelola lembaga pendidikan dihadapkan pada aturan pemerintah, dalam hal ini Kemendiknas, mengenai perpanjangan belajar di rumah sampai Desember 2020.
Berkaca dari perkembangan dibukanya kembali tempat-tempat publik, seperti pasar, mall, masjid, dan pesantren, sebaiknya sekolah pun demikian. Karena itu, sekolah (terutama swasta yang notabene mandiri) perlu terobosan agar dapat kembali melaksanakan pendidikan di sekolah.
Pertama, sosialisasi kepada orangtua tentang pentingnya protokol kesehatan di sekolah di saat pandemi. Orangtua diharap untuk menyampaikan sesering mungkin pembiasaan ini di rumah agar saat masuk ke sekolah sudah menjadi kebiasaan atau menjadi karakter.
Kedua sekolah perlu berkoordinasi dengan aparat pemerintah, minimal lurah, Babinsa dan bhabinkamtibmas sebagai gugus tugas tingkat kelurahan dalam hal ini.
Ketiga sekolah menyampaikan permohonan kepada dinas pendidikan setempat termasuk pengawas agar mereka dapat memastikan sendiri (meninjau langsung) bahwa sekolah telah memiliki kelengkapan protokol kesehatan dan dapat dijalankan dengan optimal di sekolah.
Ikhtiar ini harus dijalankan secara serius dan disiplin. Selebihnya bertawakal kepada Allah dan tidak henti-hentinya berdoa agar warga sekolah diselamatkan dari segala wabah penyakit terutama Covid-19.
Semoga langkah-langkah ini menjadi amal jariyah bagi sekolah, bagi orang tua, bagi guru dan semua stakeholder yang peduli dan rindu dengan pendidikan karakter di sekolah dengan bimbingan para pendidik dan tenaga kependidikan yang profesional. Wallahu a'lam.