Oleh: Shobri, M.E.I
TendaBesar.Com - Opini - Kegagalan ekonomi konvensional yang selama ini dijadikan acuan dalam prekonomian dunia menjadi keberkahan tersendiri bagi lahirnya sistem ekonomi islam.
Ekonomi islam lahir melalui proses pengkajian ilmiah yang panjang. Meskipun pada awalnya terjadi pesimistis terhadap eksistensi ekonomi islam dalam kehidupan masyarakat, namun kini hal itu makin terkikis.
Para ekonom barat-pun kini mulai mengakui eksistensi ekonomi islam yang memberikan warna kesejukan tersendiri dalam prekonomian dunia. mereka berpendapat bahwa ekonomi islam dapat menjadi sistem ekonomi alternatif yang mampu meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
Di sisi lain sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis telah terbukti tidak mampu mensejahterakan masyarakat dunia bahkan yang terjadi adalah kesenjangan yang semakin tajam.
Akibatnya ekonomi dunia tidak stabil dan bahkan berada diambang kehancuran. Tidak hanya ketidak adilan yang dihasilkan, bahan konplik horizontal antara satu negara dengan negara lain juga makin merunyam. Terjadinya krisis multi efek yang diakibatkan oleh sistem riba juga semakin mendekatkan dunia pada wajah yang kian tidak bersahabat.
Harapan akan lahirnya dunia baru dengan sistem ekonomi yang adil dan bijaksana telah terbuka lebar di depan mata. Ekonomi islam mejadi landasan ekonomi yang desainnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an dan hadits Rasulullah Muhammad shallallahu’alaihi wasallam.
Transaksi dalam ekonomi islam bersifat transparan, terbebas dari tiga hal pundamental yang dilakukan dalam ekonomi konvensional yaitu bebas dari riba (bunga), bebas dari Gharar (Penipuan, spekulasi, ketidak pastian) dan bebas dari maisir (judi). Dengan demikian dalam sistem ekonomi islam tidak hanya sistemnya yang baik tapi sumber daya manusia juga harus mengerti betul konsep transaksi islami sehingga tidak terjadi kesalahan dalam akadnya.
Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama’ fiqih mu’amalah islamiyah terbilang sangat banyak jumlahnya. Banyaknya model transaksi dalam islam mencerminkan betapa kaya dan lengkapnya sistem yang dibangun oleh Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallah, para sahabat dan tabi’it tabi’iin. Perbedaannya ialah, jika dalam konsep ekonomi konvensional aturan Allah dinihilkan, sebaliknya dalam konsep ekonomi islam aturan Allah menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar.
Pada hakekatnya penyaluran dana dalam pembiayaan perbankan syari’ah secara umum memiliki beberapa tujuan antara lain; pertama; mencapai tingkat profitabilitas yang cukup. Kedua, menjaga tingkat risiko yang rendah dan Ketiga, mempertahankan kepercayaan masyarakat dengan cara menjaga agar posisi likuidasi perbankan tetap aman dan terkendali.
a. Definisi Murobahah
Murabahah berasal dari bahasa Arab dengan asal kata رَبِحَ - يَرْبَحُ - رِبْحًا yang artinya beruntung, menguntungkan, atau memberi keuntungan (laba). Adapun kata مُرَابَحَةٌ adalah wazan dari مُفَاعَلَةٌ yang berarti pertumbuhan, keuntungan, laba atau faidah.
Adapun secara terminology, murabahah diartikan sebagai jual beli pada harga pembelian ditambah dengan keuntungan yang disepakati. Senada dengan itu, H. Cecep Maskanul Hakim (2011) menyebutkan Murabahah adalah jual beli pada harga awal (pokok) dengan tambahan keuntungan. Dengan kata lain murabahah adalah
مَعْلُومُ رِبْحِ ذِيَادَةٍ مَعَ الْأوَّلِ بِمِثْلِ بَيْعٌ
Artinya: “Menjual dengan harga yang sama dengan harga beli ditambah dengan suatu laba yang diketahui”
Sementara itu Ibrahim Warde menuliskan murabahah, adalah sebuah kontrak penambahan harga yang dengannya seorang pelanggan yang berkenginan untuk membeli perlengkapan atau barang-barang, meminta penyediaan keuangan untuk membeli dan menjual barang tersebut pada mereka dengan harga ditambah profit yang dinyatakan.
Al Kasani Al Hanafi, berkata murabahah adalah menjual dengan harga yang sama yakni harga beli ditambah dengan laba. Sedangkan Ibnu Kudamah al Hambali mendefinisikan murabahah dengan menjual sesuai dengan modal ditambah dengan laba yang diketahui. Adapun An Nawawi mendefinisikan murabahah dengan “suatu akad yang harga jualnya dibangun atas harga beli disertai dengan suatu tambahan.
Dari berbagai definisi yang telah disampaikan maka dapat disimpulkan bahwa: murabahah adalah menjual barang dengan sejumlah harga dimana harga tersebut merupakan gabungan dari harga pokok dan tambahan keuntungan yang telah disepakati antara kedua belah pihak yang berakad dan dibayar dengan cara cicilan (angsuran). Pen
b. Sejarah singkat
Untuk mengetahui permulaan sejarah bai’ murabahah, maka yang pertama kita teliti adalah penjelasan Al Qur’an. jika dalam Al Qur’an tidak diketemukan maka kita merujuk pada peristiwa yang digambarkan dalam hadits Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam. Jika dalam hadits juga tidak ditemukan maka kita mencoba merujuk pada praktek yang dilakukan oleh para sahabat, para tabi’in dan tabi’ittabi’in atau bahkan sejarah yang berasal dari hasil ijtihad ulama-ulama kontemporer.
Abdullah Saeed (2006) mengatakan Al Qur’an bagaimanapun tidak pernah secara langsung membicarakan masalah murabahah, meski disana ada sejumlah acuan tentang jual beli, laba, rugi dan perdagangan. Demikian pula tampaknya tidak ada hadits yang memiliki rujukan langsung kepada masalah murabahah.
Para ulama generasi awal, semisal Imam Malik, dan Imam Syafi’i yang secara khusus mengatakan bahwa jual beli murabahah adalah halal, namun mereka tidak memperkuat pendapat mereka dengan satu hadits-pun.
Imam Malik mengatakan bahwa murabahah bermula dari peraktik yang dilakukan penduduk madinah, beliau mengatakan:
“Ada kesepakatan pendapat di sini (Madinah) tentang keabsahan seseorang yang membelikan pakaian di kota, dan kemudian ia membawanya ke kota lain untuk menjualnya lagi dengan suatu keuntungan yang disepakati”
Namun apabila diteliti lebih jauh, asal-muasal transaksi murabahah bisa jadi bermula dari ketika Rasulullah pergi berdagang ke Syam membawa dagangan Siti Khadijah Al Kubro. Ibnu Ishak menuturkan Khadijah Binti Khuailid adalah seorang pedang kaya raya yang mampu menyuruh siapa saja membawa barang dagangannya dengan imbalan membagi sebagian keuntungan kepada mereka.
Tatkala Khadijah mendengar kejujuran perkataan Nabi Muhammad (waktu itu belum dianggkat menjadi nabi), kredibilitas dan kemuliaan akhlak beliau, maka Khadijah pun mengirim utusan menawarkan kerjasama kepada beliau untuk membawa dagangan ke Syam dengan janji imbalan yang lebih besar dari yang biasa dia berikan kepada pedagang lainnya.
Nabi Muhammad menerima tawaran tersebut dan berangkat ke Syam bersama Maisarah asisten Khadijah. Dalam perdagangan tersebut Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam berhasil membawa keuntungan yang berlipat ganda sehingga kepercayaan Khadijah bertambah terhadapnya.
Hal menarik yang perlu dicermati adalah cerita Maisaroh yang dia sampaikan kepada Khadijah yakni bagaimana Nabi Muhammad memiliki kecerdasan, akhlak mulia serta kejujuran dalam berdagang. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam menjual dagangannya senatiasa berterus terang terhadap modal awal dari barang yang beliau jual.
Umpamanya harga satu barang, beliau beli dengan harga 5 dinar maka beliau akan memberitahukannya kepada pembeli bahwa barang tersebut beliau beli dengan harga 5 dinar dan akan beliau jual dengan harga 6 dinar, artinya beliau mengambil untung sebesar satu dinar.
Jika pembeli berminat maka beliau berteransaksi dan jika pembeli tidak berminat maka beliau menawarkan kepada pembeli lainnya dan bukan tidak mungkin dengan cara pembayaran diangsur, karena pada waktu itu Rasulullah melakukan perjalanan dagang hingga berbulan-bulan.
Inilah jual beli murabahah dimana pedagang menjual barang dengan harga pokok ditambahkan keuntungan yang ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak dengan pembayaran diangsur dalam waktu yang telah ditetapkan di antara kedua belah pihak yang berteransaksi.
Melihat realita sejarah tersebut meskipun pada awalnya para ekonom belum ada yang menjelaskan permulaan terjadinya transaksi murabahah, maka praktek tersebut bisa jadi telah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, dan beliaulah pelaku sejarahnya. Wallahu’alam.
c. Dasar Hukum Pembiayaan Murabahah
Pembiayaan murabahah adalah transaksi yang pada umumnya diperbolehkan berdasarkan keumuman dalil yang baik dalam Al qur’an, Hadits, maupun ijma’ ulama. Di antara dalil-dalil tersebut antara lain:
a) Firman Allah dalam Al Qur’an surat Al Baqarah: 275
Artinya: … Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ..... (Q.S.2, Al Baqoroh: 275)
Ayat ini menjelaskan tentang halalnya jual beli secara umum dan haramnya riba dan berbagai macam bentuknya. Hubungannya dengan pembiayaan murabahah sangat jelas, dimana pembiayaan murabahah adalah salah satu bentuk jual beli yang hukum asalnya adalah halal.
Pada ayat yang lain Allah berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu ...” (Q.S. 4, An Nisa’: 29)
Sementara ayat ini menjelaskan haramnya memakan harta orang lain dengan cara bathil yang menyalahi aturan syari’ah, seperti mencuri, jual beli garar, judi, riba. Namun jual beli yang dilandasi saling meridhai di antara mereka adalah halal secara syari’ah.
Kaitannya ayat ini dengan pembiayaan murabahah terdapat pada akadnya. Selama akad murabahah tidak menyalahi aturan syari’ah dan dilakukan dengan sama-sama ridha. Artinya meskipun secara akad transaksi tersebut tidak bertentangan dengan syari’ah namun salah satu pihak tidak menghendakinya maka transaksi menjadi batal.
b) Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
عَنْ دَاوُدَ بْنِ صَالِحٍ الْمَدنِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ، يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ "
Artinya: “Dari Dawud bin Shalih Al Madni, dari bapaknya dia berkata aku mendengar Abi Sa’idil Khudri berkata; telah bersabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam “sesungguhnya jual beli itu suka-sama suka”. (H.R. Ibnu Majah)
Adapun hadits ini menguatkan kedua dalil yang telah disebutkan di atas bahwa jual beli apapun, transaksi apapun yang secara legal formal dibenarkan dalam syari’ah hendaknya dilakukan dengan suka sama suka demikian juga halnya dengan pembiayaan murabahah.
d. Rukun Dan Syarat Pembiyaan Murabahah
Rukun dan sayarat dalam setiap aktifitas transaksi adalah keniscayaan. Tidak satupun transaksi yang melibatkan dua orang atau lebih yang terlepas dari rukun dan syarat. Rukun dan syarat merupakan suatu perkara yang senantiasa melekat, menemani, atau menyertai aktifitas transaksi dan keduanya baik rukun maupun syarat tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Meskipun demikian keduanya memiliki fungsi yang berbeda.
Rukun adalah perkara yang melekat pada akad transaksi yang dilakukan, sementara syarat merupakan perkara yang melekat pada rukun atau subyek maupun obyek yang terlibat dalam akad transaksi.
Kata rukun berasal dari bahasa Arab masdar dari رَكَنَ yang makna dasarnya condong, tiang, penopang atau sandaran. Adapun secara istilah rukun diartikan sebagai:
مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ صِحَّةُ الشَّيْءِ وَكَانَ جُزْءٌ مِّنْهُ
Artinya: “Sesuatu yang merupakan bagian dari penentu sah tidaknya suatu akad dan dia bagian yang tidak terpisahkan dari akad itu” seperti mencuci muka dalam berwudhu’ dan takbirotul ihram dalam shalat.
Sementara itu kata Syuruth berasal dari bahasa arab yaitu jamak dari شَرْطاً yang makna dasarnya mengikat, menyertakan syarat. Adapun syarat menurut istilah syara’ adalah:
مَايَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ عَدَمُ الصِّحَّةِ وَلَيْسَ بِرُكْنٍ
Artinya: “Sesuatu yang mesti ada, ketiadaannya menyebabkan tidak sahnya suatu akad tapi bukan rukun dari akad tersebut”.
Dengan kata lain sesuatu itu menyertai rukun dalam setiap akad, dia bukan rukun tapi memiliki peran sangat penting dalam legalitas sah atau tidaknya sebuah akad.
Abdul Hamid Hakim Mendefinisikan syarata sebagai:
مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ صِحَّةُ الشَّيْءِ وَلَيْسَ مِّنْهُ
Artinya: “Sesuatu yang merupakan bagian dari penentu sah tidaknya suatu akad dan dia bukan bagian darinya”. Contohnya seperti air mutlaq untuk berwudhu’ dan menghadap kiblat dalam shalat.
Karena Murabahah termasuk dalam kategori jual beli maka rukunnya sama dengan jual beli yakni; Aqidain (Penjual dan Pembeli), Ma’qud Alaih (Barang yang di jual), Shighat (ijab-qobul) dari pihak yang berteransaksi, dan Taradhin (kerelaan kedua belah pihak). menurut jumhur ulama rukun dan syarat yang terdapat dalam bai’ murabahah sama dengan rukun dan syarat yang ada dalam jual beli. Adapun syarat-syarat murabahah antara lain sebagai berikut:
Syara-Syarat Aqidain (Penjual Dan Pembeli)
Aqidain (dua atau lebih) yang berakad hendaklah dalam keadaan mumayyiz, (mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk), di samping itu pelaku akad harus cerdas (memahami konsekwensi dari akad yang dilakukan), tidak dalam kondisi gila atau penyakit sejenis lainnya seperti sedang depresi berat atau stress berat.
Pelaku dalam keadaan sadar dan bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang akan dibebankan kepadanya akibat dari akad tersebut. Pelaku tidak dalam tekanan atau paksaan orang lain dalam melakukan akad tersebut. Dalam Bahasa lainnya aqidain harus memiliki ahliyah dan waliyah.
Yang dimaksud ahliyah adalah pelaku akad memiliki kepatutan atau kecakapan untuk melakukan transaksi dan mendapatkan otoritas dari syara’. Biasanya ahliyah ini terjadi setelah aqid mengalami baligh dan berakal sehat.
Sementara yang dimaksud waliyah adalah hak atau kewenangan seseorang yang mendapatkan legalitas syar’i untuk melakukan transaksi atau melakukan sesuatu tertentu. Maksudnya adalah orang tersebut melakukan transaksi atas miliknya sendiri atau barang yang dikuasakan kepadanya (wali), atau wakil atas suatu objek tertentu sehingga memiliki hak atau otoritas untuk menteransaksikan barang tersebut.
Syarat-Syarat Ma’qud ‘Alaih (Barang Yang Diperjual Belikan)
Adapun syarat-syarat yang berkaitan dengan ma’qud alaih atau barang yang menjadi obyej pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut:
• Harga beli atau modal komoditi harus diketahui oleh pembeli karena murabahah itu sendiri adalah penjualan dengan harga pokok disertai penambahan keuntungan, sedangkan informasi tentang harga harus diketahui dalam semua bentuk jual beli. Senada dengan As Shawi Dimyauddin Djuawaini mengutip Al Kasani mengatakan harga harus diketahui oleh pembeli kedua, karena hal itu merupakan syarat mutlak bagi keabsahan bai’ murabahah.
Bahkan Dimyauddin menekankan jika harga beli tidak dijelaskan pembeli kedua dan pembeli tersebut telah meninggalkan majlis, maka jual beli atau pembiayaan dinyatakan rusak dan akadnya batal
• Adanya kejelasan Ar-ribhu (laba atau margin) yang diinginkan oleh penjual kedua. Keuntungan hendaklah diketahui dan dimasukkan menjadi bagian dari harga komoditas. Sedangkan informasi tentang harga harus diketahui dalam semua bentuk jual beli.
• Yang menjadi harga komoditi dalam jual beli murabahah bukan barang qimiy tapi barang-barang mitsli (barang serupa tertukar) seperti emas, perak mata uang dan lainnya
• Yang menjadi harga pertama komoditi dalam jual beli murabahah bukan barang ribawi sejenis dengan komoditinya, seperti misalnya menjual 100 dolar dengan 110 dolar. Dalam hal ini 10 dolar yang didapatkan bukan merupakan keuntungan yang diperbolehkan, akan tetapi merupakan bagian dari riba. Akan berbeda misalnya menjual 100 dolar dengan harga Rp.900.000,- maka hal ini diperbolehkan karena berbeda jenisnya.
• Akad jual beli yang awal adalah akad yang sah bukan akad yang rusak. Apabila akad pembiayaan yang pertama rusak maka akad penjual kedua (pembeli pertama) dengan pembeli kedua menjadi batal.
• Barang yang diperjual belikan bukan barang haram atau barang hasil dari perbuatan haram seperti barang curian dan lainnya.
Syarat-Syarat Shighat (Ijab Dan Qobul)
Adapun ijab dan qabul menurut Zuhaili sebagaimana dikutif oleh Dimyauddin hendaklah memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
a) Kedua belah pihak yang melakukan transaksi pembiayaan mengerti dan memahami maksud dan konsekwensi akad yang dilakukan.
b) Adanya kecocokan atau kesesuaian maksud dan tujuan dari akad yang dilakukan. Misalnya pembeli menginginkan sepeda motor tipe Honda supra X125 dengan harga 15.000.000,- penjual atau bank memahami dengan maksud yang sama. Jika misalnya penjual atau bank menyediakan Yamaha MX 135 karena perbedaan pemahaman dengan apa yang dimaksudkan oleh pembeli atau pemasan, maka pembiayaan tidak sah karena tidak terdpat kesamaan pemahaman.
c) Adanya pertemuan antara ijab dan qabul dalam satu majlis dalam arti tidak mesti bertemu secara fisik dalam satu tempat, akan tetapi keduanya mampu saling mendengarkan maksud dan tujuan. Dengan kata lain suatu kondisi yang memungkinkan kedua belah pihak melakukan kesepakatan atau pertemuan pembicaraan dalam satu objek transaksi.
d) Tidak adanya penolakan ijab oleh pembeli dalam arti apa yang diucapkan oleh penjual disetujui oleh pembeli
e) Objek transaksi tidak rusak sampai terjadinya ijab dan qabul Antara pihak yang berakad, namun apabila sebelum terjadinya qabul objek transaksi lebih dahulu rusak maka akad tidak sah.
e. Bentuk-Bentuk Pembiayaan Murabahah
Askarya membagi bentuk-Bentuk akad murabahah menjadi dua bagian antara lain:
Pertama, Murabahah sederhana, adalah bentuk akad murabahah ketika penjual memasarkan barangnya kepada pembeli dengan harga sesuai harga perolehan ditambah marjin keuntungan yang diinginkan.
Kedua, Murabahah kepada pemesan, melibatkan tiga pihak yaitu pemesan, pembeli dan penjual. Bentuk murabahah ini juga melibatkan pembeli sebagai perantara karena keahliannya atau karena kebutuhan pemesan akan pembiyaan.
f. Pembiayaan Murabahah Dengan Jaminan
Pada dasarnya pembiayaan murabahah adalah pembiayaan sebagaimana layaknya pembiayaan lainnya. Pembiayaan murabahah adalah bagian dari jual beli yang aturan jual beli berlaku padanya. Dalam implementasinya di perbankan akad murabahah dilakukan untuk transaksi jual beli tangguh.
Oleh karenanya diperlukan suatu keyakinan yang bisa membuat satu sama lain lebih tenang dan amanah. Pihak bank membutuhkan suatu barang sebagai jaminan atas akad murabahah yang dilakukan secara tangguh. Hal ini telah disebutkan dalam Al Qur’an surat Al Baqoroh ayat 283.
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang) …” (Q.S. 2, Al Baqoroh:283)
Dalam Fatwa dewan syari’ah NO: 04/DSN-MUI/IV/2000 pasal 3 mengenai Jaminan pada pembiayaan murabahah disebutkan:
1. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.
2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.
Dalam hal barang jaminan, tentu tidak semua barang bisa dijadikan jaminan. Maka dari itu ada beberapa persyaratan sebuah barang bisa dijadikan jaminan antara lain:
a. Marketability, yaitu adanya pasar yang luas bagi jaminan yang bersangkutan sehingga kemungkinan adanya pembeli untuk jaminan tersebut cukup banyak
b. Acertainability of value, dimaksud agar jaminan yang diberikan tersebut mempunyai suatu standar tertentu.
c. Stability of value, yaitu harta benda yang dijadikan jaminan hendaknya tidak menurun harganya, bahkan kalau mungkin terus naik di masa mendatang
d. Transperability, dimaksudkan agar harta benda yang dijaminkan harus mudah dipindahtangankan baik secara fisik maupun secara yuridis.
Adanya barang jaminan menjadi bagian dari cara mengantisipasi adanya moral hazard akibat penghianatan oleh salah satu pihak dalam hal ini kreditur. Barang jaminan sebagai penenang bagi lembaga keuangan apabila suatu saat kreditur melakukan aksi nakal dalam menyelesaikan hutangnya, maka barang jaminan bisa digunakan untuk menutupi kerugian yang diderita.
Tariqullah Khan dan Habib Ahmed (2008) mendeskripsikan risiko yang akan dihadapi oleh pembiayaan murabahah sebagai berikut:
Murabahah merupakan akad paling dominan digunakan dalam lembaga keuangan syari’ah. Jika akad telah tersetandarisasi maka karakteristik risikonya dapat diibaratkan dengan pembiyaan berbasis bunga.
Karena memiliki persamaan karakteristik risiko dengan akad berbasis bunga, murabahah telah disetujui untuk diterima sebagai model pembiyaan di beberapa sistem regulasi di sejumlah negara. Namun demikian terdapat beberapa jenis akad yang tidak disetujui oleh para ulama fiqh.
Terlebih lagi, beberapa jenis kontrak yang saat ini berlaku dari sudut pandang fiqh, masih belum seragam. Perbedaan sudut pandang ini dapat memicu risiko pihak ketiga (counterparty risk) sebagai hasil dari tidak efektifnya seistem peradilan. Persoalan ini berakar pada kenyataan bahwa murabahah merupakan jenis akad kontemporer.
Murabahah didesain melalui berbagai jenis akad. Terdapat konsensus dari para ulama fiqh bahwa jenis akad baru ini disepakati sebagai salah satu jenis jual beli tangguh. Kondisi atas validitasnya didasarkan pada adanya kenyataan bahwa bank harus membeli (menjadi pemilik) objek transaksi terlebih dahulu, baru kemudian mentransper hak kepemilikan kepada nasabah.
Pemesanan oleh pihak nasabah bukanlah akad jual beli, namun lebih pada sebuah janji untuk membeli. Menurut keputusan OIC Fiqh academy, sebuah janji dapat diikat pada satu pihak saja. OIC academy, AAOIFI dan sebagian Bank Syari’ah memperlakukan janji untuk membeli sebagai suatu yang mengikat nasabah.
Namun beberapa ulama yang lain menganggap bahwa janji tesebut tidaklah mengikat satu pihak saja, meskipun nasabah telah memesan sesuatu dan membayar imbalan atas komitmen (commitment fee) tersebut, bisa saja ia membatalkan akad.
Counterparty risk yang paling penting bagi Bank Syari’ah dalam pembiyaan murabahah-nya muncul akibat tidak terpenuhinya karakteristik akad, yang lebih lanjut dapat memicu perkara peradilan.
Masalah lain yang dari risiko jual beli murabahah model ini adalah terjadinya keterlambatan pembayaran nasabah, sementara bank tidak bisa menuntut kompensasi apapun atas keterlambatan tersebut.
Wallahu’alam…
*NB.- Penulis adalah alumni Pasca Sarjana Univ. Ibn Khaldun Bogor, Jurusan Ekonomi Syari’ah, konsentasi Perbankan Syari’ah.