TendaBesar.Com - Jakarta - Polemik Undang – undang (UU) Omnibus Law terus mencari titik terang takdirnya. Setelah ditandatangani oleh presiden menjadi UU pada Senin, 2 November 2020, kini UU tersebut masuk sidang perdana di Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan para buruh yang menganggap UU tersebut banyak mengkebiri hak-hak buruh.
UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tersebut diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dibatalkan oleh Ormas Buruh yaitu Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama sejumlah organisasi serikat pekerja lainnya.
Sidang perdana UU Cipta Kerja tersebut menyita perhatian halayak. Undang-undang tersebut ditenggarai mengkebiri sebagian dari hak-hak para buruh. Dan itulah yang menyebabkan UU tersebut menjadi polemic dan berhujung pada pengadilam.
Sidang perdana UU tersebut dihadiri oleh para penggugat disertai kuasa hukum mereka yang cukup antusias mengikuti jalannya sidang.
"Saya bersama advokat senior Hotma Sitoempol dan 12 pengacara lainnya akan mendampingi KSPI, KSPSI, FSPMI, FSP-FARKES-RI, PUK SPEE FSPMI, PUK SP AMK-FSPMI serta tiga orang pekerja menghadiri sidang perdana Pembacaan Permohonan Uji UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja," ujar kuasa hukum para pemohon Andi Asrun di Jakarta, Selasa (24/11/2020).
Para pemohon yang notabene organisasi buruh tersebut mengajukan uji materi terhadap Pasal 81, Pasal 82, dan Pasal 83 UU Cipta Kerja. Hal-hal yang dipersoalkan dalam pasal-pasal tersebut adalah lembaga pelatihan kerja, pelaksanaan penempatan tenaga kerja, tenaga kerja asing, perjanjian kerja waktu tertentu, jaminan sosial, waktu kerja, pekerja alih daya, upah minimum, cuti, dan masalah pengupahan.
Di samping itu, para penggugat mengkhawatirkan tidak adanya imbalan yang layak dan adil bagi pekerja/buruh dalam masalah uang penggantian hak, pesangon, dan upah penghargaan masa kerja.
Sebab dalam undang-unang Cipta kerja itu terdapat beberapa frasa yang ditenggarai multitafsir yang dapat berimplikasi pada hilangnya ketentuan besarnya jaminan hak pekerja/buruh halam pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dalam hal PHK para pemohon menilai undang-undang tersebut dapat membuat pengusaha menafsirkan secara bebas proses pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh sehingga rentan menimbulkan kesewenang-wenangan.
Tercatat dalam permohonan para pemohon ke mahkamah konstitusi (MK), ada 92 permintaan uji materi yang diajukan oleh penggugat dalam menguji berbagai pasal dalam UU Cipta Kerja yang telah diundangkan tersebut. (af/tendabesar)