Memahami Makna Hidup Sejahtera Yang Sebenarnya


Oleh: Shobri, M.E.I

TendaBesar.Com - Opini - Setiap manusia dimanapun berada, pasti mendambakan kesejahteraan dalam hidupnya. Mendambakan rumah yang indah, kendaraan yang nyaman, dan berbagai aksesoris yang memuaskan perasaan. 

Namun persoalannya apakah kesejahteraan itu hanya diukur dari berlimpahnya harta, ataukah tercukupinya kebutuhan hasrat dunia? itulah yang selama ini didengungkan oleh paham hedonisme dan skularisme. 

Kebahagiaan dan kesejahteraan diukur dari banyaknya harta, tak peduli bagaimana cara mendapatkan yang penting hasrat nafsu duniawi terpenuhi. Oleh karena itu perlu adanya kajian mendalam tentang bagaimana seseorang dikatakan sejahtera terutama dalam islam. 

Telaah  Kesejahteraan

Kesejahteraan berasal dari bahasa Sangsekerta “Catera”  yang memiliki makna dasar “payung”.  Makna yang terkandung adalah orang yang sejahtera yaitu orang yang dalam hidupnya bebas dari kemiskinan, kebodohan, ketakutan, atau kekhawatiran sehingga hidupnya aman, tentram, baik lahir maupun batin. 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sejahtera diartikan dengan aman sentosa. Sementara kesejahteraan diartikan dengan keadaan sejahtera, keamanan, keselamatan, atau ketentraman.

Dalam UU No 10 Tahun 1992 pasal 1 dijelaskan bahwa; keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan material yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi selaras dan seimbang antar keluarga dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya.

Definisi di atas menggambarkan kondisi dimana kesejahteraan seseorang tidak hanya diukur dengan berlimpahnya harta benda, namun ada faktor lain yakni keharmonisan keluarga, hubungan baik dengan tetangga, dan memiliki kecukupan harta atau penghasilan untuk biaya hidup dalam kesehariannya.

Anonym dari sejahtera adalah fakir atau miskin. Dalam Al Qur’an istilah “miskin” disebutkan dalam bentuk tunggal sebanyak 11 kali dan dalam bentuk jamak “masakin” sebanyak 12 kali. Maka secara keseluruhan Al qur’an menyebut istilah miskin sebanyak 23 kali. Jika ditelaah dari segi Bahasa, miskin berasal dari kata sakana yang mengandung makna diam, tetap, jumud, dan statis.
   
Berdasarkan pandangan imam mazhab fikih, K.H Ali Yafie menjelaskan bahwa orang miskin adalah orang yang memiliki harta atau memiliki pekerjaan atau memiliki keduanya akan tetapi harta dan penghasilannya hanya mampu mencukupi ½ dari kebutuhan pokoknya. Adapun orang fakir menurut beliau adalah orang yang tidak memiliki harta benda atau tidak memiliki pekerjaan (penghasilan) atau memiliki penghasilan tapi dengan penghasilan tersebut dia hanya mampu mencukupi kurang dari ½ kebutuhan pokoknya. 

Senada dengan pendapat di atas, An Nabhani menyampaikan bahwa fakir adalah kondisi dimana seseorang tidak memiliki harta dan tidak mempunyai penghasilan. Sementara miskin adalah dimana kondisisi seseorang memiliki pekerjaan tapi penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya.  

Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: " لَيْسَ الْمِسْكِينُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ، فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ، وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ، قَالُوا: فَمَا الْمِسْكِينُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟، قَالَ: الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ، وَلَا يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا "

Artinya: “Dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah bersabda bukanlah dikatakan miskin orang yang berkeliling meminta-minta kepada manusia lalu ia diberi sesuap dua suap, atau diberi sebuah kurma atau dua buah kurma. Para sahabat bertanya lalu siapakah orang miskin tersebut wahai Rasulullah? Maka beliau menjawab orang miskin adalah dia yang sudah berusaha, bekerja keras namun dia tidak menemukan harta yang mencukupi kebutuhannya sementara orang-orang tidak mengetahuinya, lalu dia mendapatkan sedekah meskipun tanpa dia meminta-minta”.  (H.R. Muslim)

Tidak hanya orang yang tidak memiliki pekerjaan yang dianggap miskin oleh Rasulullah melainkan mereka yang memiliki banyak harta namun tamak terhadapnya, sesungguhnya mereka adalah orang fakir yang nyata. Sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: " إِيَّاكُمْ وَالطَّمَعَ، فَإِنَّهُ هُوَ الْفَقْرُ الْحَاضِرُ

Artinya: “Dari jabir dia berkata, Rasulullah bersabda: jauhi olehmu sifat tamak, karena sesungguhnya dia merupakan kefakiran  yang hadir (nyata)” (H.R. Thabrani)
Adapun perdebatan sengit di antara para pakar kesejahteraan terdapat pada persoalan apakah yang menjadi penyebab kemiskinan tersebut?. Dari berbagai perdebatan itu terdapat kesimpulan bahwa ada tiga hal yang menjadi penyebab utama terjadinya kemiskinan sebagaimana disampaikan oleh Al-Humani berikut ini:

Pertama, Kemiskinan alamiah yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alami seseorang. Misalnya karena cacat mental atau cacat fisik, usia lanjut dan tidak mampu bekerja, kebodohan yang menyebabkan tidak produktifnya seseorang. 

Kedua, Kemiskinan kultural yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kualitas sumberdaya manusia itu sendiri akibat kultur atau adat budaya dan pemahaman masyarakat tertentu.
 
Ketiga, Kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kesalahan sistem yang digunakan negara dalam mengatur rakyatnya. Misalnya terjadinya inflasi yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Kemiskinan struktural inilah yang paling  dominan menimpa di hampir semua negara saat ini. 

Senada dengan pendapat di atas, Prof. Dr. Dididin Hafidhuddin membagi kemiskinan yang terjadi di masyarakat menjadi tiga bagian  yaitu:

a) Kemiskinan natural, seperti alam yang tandus, kering, dan sebagainya. Maksudnya adalah kemiskinan terjadi akibat alamnya tidak produktif sehingga masyarakatnya tidak mampu mengelola alam tersebut menjadi lahan yang menghasilkan tananan yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.

b) Kemiskinan kultural yaitu kemiskinan yang diakibatkan karena sifat malas, tidak mau bekerja keras dan mudah menyerah

c) Kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang dikarenakan berbagai peraturan dan kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada masyarakat miskin, baik kebijakan ekonomi, pendidikan ataupun lainnya.
  
Pendapat berbeda disampaikan oleh Dr. H. Usep Usman, beliau menyampaikan faktor-faktor penyebab kemiskinan dilihat dari segi mentalitas dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Adh-dhaif, yakni keadaan diri seseorang yang diliputi kelemahan baik lemah semangat, lemah fisik, lemah akal, lemah ilmu pengetahuan dan lemah keterampilan akibatnya dia tidak sanggup menjalankan fungsinya sebagai khalifah atau pemimpin di muka bumi yakni memakmurkan bumi sehingga dirinya tetap dalam kemiskinan

b. Al-khauf, yakni keadaan diri seseorang yang diselimuti oleh suasana takut yang mencekam sehingga tidak memiliki keberanian untuk mencoba bekerja, berusaha, berdagang atau menjadi tukang, karena tidak berani mengambil risiko gagal, rugi, atau kehilangan modal.

c. Al-kaslan, yakni keadaan jiwa seseorang  yang diliputi rasa kemalasan sehingga kehilangan kesempatan, waktu dan peluang untuk mengembangkan potensi dirinya dengan optimal.

d. Al-bakhil, yaitu keadaan diri seseorang yang didominasi oleh sifat kikir, dia hanya bisa menerima tapi tidak mau memberi, sehingga rizkinya bisa jadi tersumbat dan habis, karena sesungguhnya dengan sedekah hakekatnya dapat menimbulkan rizki lebih banyak.

Sejahtera Menurut Perspektif Islam

Banyak masyarakat menduga bahwa kemakmuran dan kesejahteraan merupakan akibat dari tingkat kesuburan. Semakin subur suatu negeri maka makin makmur dan sejahtera masyarakatnya. 

Pendapat ini tidak semuanya benar dan juga tidak semuanya salah. Dalam realitas kehidupan, ada negeri yang daerahnya subur, kaya dengan sumber daya alam,  masyarakatnya makmur dan sejahtera. Tapi ada juga negeri yang daerahnya tidak subur, minim sumber daya alam namun masyarakatnya makmur dan sejahtera. Sebaliknya ada juga negeri yang daerahnya subur, kaya dengan sumber daya alam tapi masyarakatnya tidak sejahtera.

Al Qur’an menggunakan beberapa istilah yang menunjukan makna kesejahteraan atau padanan katanya. di antara kata yang digunakan adalah kata  سَلَامُ  kesejahteraan,  الْفَلَاحُ  keberuntungan,  الْفَائِزُوْنَ  beruntung (sukses) (Q.S. 59 Al Hasyr:20),  حَظٌ keberuntungan (Q.S 28, Al Qoshos: 79). 

Kata falaah atau muflihuun dan kata fauzun atau faaizun adalah kata yang paling banyak disebutkan dalam Al Qur’an. Kedua kata ini menunjukkan makna keberuntungan yang pada hakekatnya lebih menunjukkan makna kesejahteraan. adapun kata salaam lebih menunjukkan makna kesejahteraan akhirat yakni masuk syurga dan do’a agar mendapatkan keejahteraan dunia. 

Secara Bahasa Al Falaah mengandung makna keberuntungan, kesuksesan, dan kelestarian dalam kenikmatan dan kebaikan. Al falah dalam kontek keduniaan ditandai dengan keberhasilan mendapatkan kebahagiaan hidup dengan memperoleh segala hal yang menyebabkan kehidupannya baik, berkecukupan dan menyenangkan, bermartabat dan berkesinambungan. 
 
Konsep kesejahteraan atau al falah yang ditawarkan Al Qur’an memiliki dua dimensi yang berpasangan  kokoh, selaras, serasi, harmonis, serta bernilai pundamental dalam kehidupan orang-orang yang beriman kepada Al Qur’an, yakni dimensi lahir  batin dan dimensi dunia akhirat. 

Kesejahteraan yang dibangun Al Qur’an berdiri di atas lima pilar utama yakni; terpenuhinya kebutuhan fisik biologis, terpenuhinya kebutuhan intelektual, terpenuhinya kebutuhan emosi, terpenuhinya kebutuhan spiritual, dan terpenuhinya kebutuhan sosial.

Dalam Al Qur’an, seseorang dikatakan sejahtera apabila dia beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelumnya serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat,  mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung (meraih kesejahteraan dunia dan akhirat) 

Definisi  di atas merupakan intisari dari Qur’an Surat Al Baqoroh ayat 4 dan 5 dan ayat ini menitik beratkan bahwa kesejahteraan merupakan kombinasi dari kebahagiaan dunia dan ketaatan kepada Allah Azza Wajalla. Tidak dikatakan sejahtera orang yang memiliki harta berlimpah namun ingkar kepada Rabbnya. Namun demikian, juga bisa dikatakan sejahtera mereka yang secara materi masih biasa-biasa saja namun dirinya bahagia dalam ketaatan kepada Rabbnya Allah Azza walla.

Dari uraian di atas kita dapat mengambil keseimpulan bahwa yang dimaksud sejahtera dalam islam adalah “merasa cukup dengan harta yang dimilikinya, kemudian membelanjakan kelebihan harta itu untuk beribadah kepada Allah dan senantiasa melakukan ketaatan dalam kondisi apapun dan dimanapun berada, sehingga dengannya Allah turunkan kesehatan jasmani, kekuatan iman dan ketentraman jiwa”. 

Dr. Didin Hafidhuddin (2007) menyebutkan bahwa faktor utama yang menyebabkan kesejahteraan dan kemakmuran pada suatu masyarakat adalah perilaku yang baik, yaitu prilaku yang sesuai dengan ketentuan Allah subhanahu wata’ala. Walaupun negerinya subur tetapi pemimpin  dan rakyatnya durhaka kepada Allah, maka yang terjadi adalah kehancuran dan keterpurukan”.  Sebagaimana Allah subhanahu wat’ala berfirman:
 
Artinya: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”. (Q.S. 16, An Nahl:112)

Dalil ini menunjukkan bahwa kesejahteraan itu akan hilang dari suatu negeri apabila masyarakatnya melakukan kedurhakaan kepada Allah dengan mengingkari nikmat yang telah diberikan kepada mereka. Salah satu bentuk pengingkaran kepada Allah adalah pemimpinnya dan masyarakatnya bertahkim dengan bukan hukum Allah dalam kehidupan mereka. Rasulullah bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: " خَمْسٌ بِخَمْسٍ "، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا خَمْسٌ بِخَمْسٍ؟ قَالَ: " مَا نَقَضَ قَوْمٌ الْعَهْدَ إِلا سُلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوُّهُمْ، وَمَا حَكَمُوا بِغَيْرِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلا فَشَا فِيهِمُ الْفَقْرُ، وَلا ظَهَرَتْ فِيهِمُ الْفَاحِشَةُ إِلا فَشَا فِيهِمُ الْمَوْتُ، وَلا طفَّفُوا الْمِكْيَالَ إِلا مُنِعُوا النَّبَاتَ وَأُخِذُوا بِالسِّنِينَ، وَلا مَنَعُوا الزَّكَاةَ إِلا حُبِسَ عَنْهُمُ الْقَطْرُ

Artinya: “Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma, dia berkata Rasulullah bersabda, ada lima perbuatan yang akan menyebabkan lima mala petaka yaitu; 1) Tidaklah suatu bangsa  mudah mengingkari janji, kecuali akan dikendalikan oleh musuh-musuhnya. 2) Tidaklah mereka berhukum dengan sesuatu yang bukan dari hukum Allah kecuali akan tersebar kefakiran 3) Tidaklah meraja lela di suatu tempat perzinahan, kecuali akan meraja lela pula penyakit yang membawa kematian. 4) tidaklah mereka mempermainkan takaran/timbangan atau kualitas suatu barang kecuali akan dihambat tumbuhnya tanaman. 5) dan tidaklah mereka mencegah mengeluarkan zakat kecuali akan dihambat turunnya hujan yang membawa keberkahan” (H.R. Thabrani).

Demikian, semoga bermanfaat…
Wallahu’alam..

*NB.
  • Penulis adalah alumni Pasca Sarjana Univ. Ibn Khaldun Bogor, Jurusan Ekonomi Syari’ah, konsentasi Perbankan Syari’ah.
  • Praktisi Pendidikan di Islamic Center At Taufiq Bogor

Lebih baru Lebih lama

Iklan

Iklan

Formulir Kontak