Lembaga Pendidikan Islam, Di Tengah Skularisasi Dunia Pendidikan



Oleh : Shobri, M.E.I


TendaBesar.Com - Opini - Keresahan para akademisi muslim idealis melihat hasil dari konsep pendidikan yang selama ini berjalan, membuat mereka merasa khawatir akan lahirnya generasi-generasi penerus bangsa yang tidak memiliki pijakan kuat dalam kehidupannya. Propaganda pemisahan agama dengan ilmu pengetahuan seakan telah mendapatkan hasil cemerlang. Lahirnya generasi yang tidak lagi peduli dengan budaya dan adat diri sendiri yang kental dengan pengaruh ajaran agama adalah sebagian kecil dari buah konsep pendidikan skuler yang telah mengakar. 

Generasi tersebut tumbuh dewasa dan akan menjadi pemimpin bangsa di masa mendatang. Alih-alih membawa negara keluar dari berbagai krisis yang melanda, bahkan sebaliknya akan melahirkan kemafsadatan yang sangat fatal dan berbahaya. Bagaimana mungkin masyarakat mampu berharap banyak dari generasi yang tidak memiliki karater kuat dan cendrung ambingu, generasi tanpa tujuan hidup, tanpa visi-misi dan tidak mengerti akan arti nasionalisme yang sesungguhnya.

Dampak nyata dari program skularisasi pendidikan yang hampir 1 abad dilakoni bangsa ini dapat dilihat pada karakter sebagian besar masyarakat saat ini, antara lain; 

Pertama, terjadinya pengikisan nilai-nilai spiritual dalam diri sebagian besar masyarakat. Allah sang maha pencipta, maha pemberi rizki, hanya ada dalam pikiran, lisan dan tulisan, tetapi tidak hadir dalam perilaku dan perbuatan. Iman hanya hadir pada saat berada di masjid dan pengajian-pengajian, selebihnya bersembunyi apabila sudah berada di ruang kerja atau saat melakoni aktifitas yang berhubungan dengan uang. 

Kedua, terjadinya pergeseran nilai manusia dari mahluk spiritualis menjadi mahluk materialis, menjadikan kekayaan materi sebagai  pemandu  kehidupan, tidak lagi memperhatikan dari mana rizki itu didapatkan, syubhat dan haram tidak dijadikan acuan, manipulasi data, merekayasa  laporan dan memaurkup anggaran seakan telah menjadi halal, sebab yang utama adalah terkumpulnya pundi-pundi kekayaan. Tidak sedikit kaum cerdik pandai bahkan yang paham hukum sekalipun terjebak dalam praktek asosila seperti ini. 

Ketiga, peran agama di masyarakat bergeser menjadi urusan akhirat  sedangkan  urusan dunia menjadi urusan sains. Agama tidak bisa disatukan dengan ilmu pengetahuan karena akan menyebabkan keterbelakangan, urusan agama menjadi urusan personal bukan urusan negara, itulah yang mereka makarkan meskipun hingga saat ini pemisahan agama dengan urusan negara telah terbukti menjadi penyebab utama kehancuran suatu bangsa dan generasinya.

Keempat, merajalelanya sifat individualistik, tidak respek dengan urusan saudara,  kerabat apalagi tetangga. Sifat tolong menolong dan gotong royong tidak lagi menghiasi kehidupan bermasyarakat, setiap pamrih diukur dengan sejumlah nilai atau dengan bahasa lain wani piro. 

Kelima, keberadaan keluarga pada umumnya kehilangan  fungsinya  sebagai unit terkecil  pengambil keputusan.  Alasannya di era modern ini seseorang hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri, bukan bertanggung jawab pada keluarganya. Ikatan moral pada keluarga semakin melemah bahkan seolah keluarga hanya berfungsi sebagai vila tempat persinggahan dalam menghilangkan kepenatan.  

Keenam, terjadinya frustasi eksistensialisme kaum cerdik pandai yang menimbulkan berbagai macam penyakit birahi kekuasaan, seperti lahirnya  penyakit hasrat untuk berkuasa yang berlebihan, menjadikan kekuasaan sebagai tempat  bersenag-senang, kekuasaan sebagai ajang balas dendam atau kekuasaan tempat mengejar kenikmatan dunia dan berpoya. 

Ketujuh, Mudahnya masyarakat terpropokasi dan hilangnya akal sehat. Banyaknya tauran dan norma yang dilanggar oleh masyarakat dari kalangan terdidik rendah sampai kalangan cerdik pandai sekelas anggota legislatif, arogansi ekskutif dan jual beli hukum oleh yudikatif pernah kita saksikan dalam siaran media masa maupun elektronika. Pemisahan nilai spiritual agama dengan materi ajar ,berdampak pada tumbuh suburnya sifat emosional yang tidak dapat dikendalikan, akhirnya nyawa seseorang dengan mudah melayang tanpa alasan. Betapa dahsyat kehancuran masyarakat yang diakibatkan oleh sistem pendidikan skuler tersebut namun mengapa sebagian besar masyarakat dan khususnya pemerintah tidak juga bangun dari tidur panjang mereka.

Alakullihal, patut kita syukuri sejak era 90-an telah terjadi trobosan yang cukup spektakuler dari para akademisi yang memiliki pemahaman islam yang kuat dan memiliki idealism yang berilian dengan melahirkan sebuah lembaca pendidikan yang memadukan antara knowledge dan faith, mengawinkan antara ilmu terapan dengan ilmu keagamaan. 

Lahirnya ide basar yang termaktub dalam konsep Sekolah Islam Terpadu menjadi harapan baru munculnya generasi penerus bangsa yang berkarater, berbudaya dan beradat syari’at. Peran keluarga, sekolah, guru dan seluruh stakeholder pendidikan diharapkan bahu membahu menyelamatkan bangsa ini dengan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intlektual question tapi juga kuat secara spiritual question. Di sinilah peran lembaga pendidikan yang bernuansa islami, sekolah-sekolah islam terpadu harus mampu menampilkan model pendidikan yang melahirkan generasi yang cerdas secara emosi juga cerdas secara ruhi, cerdas pengetahuannya, juga cerdas qolbunya.

 Namun demikian, disamping kita berbahagia dengan adanya trobosan spektakuler dalam dunia pendidikan islam, kita juga patut khawatir, karena sejauh ini kebanyakan lembaga pendidikan islam lemah dalam berbagai hal yang penulis sebut dengan 5 L antara lain:

Pertama, Lemah Manajerial. 

Stagnasi perkembangan kebanyakan lembaga pendidikan bernuansa islam dipengaruhi oleh pengelolaan yang apa adanya. Hal ini terjadi akibat dari sumberdaya pengelola yang minim akan ilmu management dan keorganisasian. Pengelolaan lembaga didasarkan pada semangat ikut berkontribusi dan berpartisipasi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara, namun tidak berbekal pada keilmuan pengelolaan keorganisasian yang mumpuni. 

Dan yang sering kita saksikan di lembaga-lembaga Islam adalah terjadinya perpecahan di Internal pengelola itu sendiri. Kadang pengelola di tataran pelaksana cukup bagus, namun pada tatanan Yayasan atau direksinya yang berantakan. Dan hal yang paling memperihatinkan adalah terjadinya perpecahan itu tidak jauh dari masalah gonimah (pendapatan) uang, akibatnya satu sama lain saling sikat, saling sikut dan saling melemahkan. 

Hal seperti ini sering kali membuat manajemen pelaksana goyang, berkubu, tidak bersatu. Akibatnya berpengaruh pada profesionalisme pelayanan dan tidak jarang menghasilkan output yang hanya sebatas pada lahirnya generasi yang secara moral berperilaku baik namun secara intlektual jauh dari generasi ideal yang diharapkan atau sebaliknya secara intelektual baik tapi secara moral jauh dari harapan.

Kedua, Lemah Finansial

Tidak bisa dipungkiri kebanyakan lembaga pendidikan bernuasa islam mengalami masalah secara finansial. Hal itu dapat kita saksikan dari kondisi fasilitas pendidikan yang dimiliki seperti gedung yang tidak representative, perlengkapan pembelajaran yang minim dan berbagai keterbatan lainnya. lemahnya kondisi finasial juga berpengaruh pada tingkat kesejahteraan guru dan karyawan yang selanjutnya berpengaruh pada kualitas proses belajar mengajar di kelas. Di negara kita memang unik, banyak para cerdik pandai mendirikan sekolah bermodalkan nekad, kemudian seluruh biaya operasionalnya bersumber dari alokasi biaya yang diwajibankan kepada orang tua murid. 

Oleh karenanya sering kali biaya kegiatan siswa dan biaya operasional secara keseluruhan disesuaikan dengan asumsi seberapa pendapatan sekolah setiap tahunnya. Maka  wajar jika banyak guru yang mengajar apa adanya karena memang salarinya juga apa adanya. Bisa jadi di depan kelas menerangkan mata pelajaran tapi hatinya berbicara pekerjaan sampingan. Seharusnya para pemilik lembaga pendidikan sebelum membangun sekolah, terlebih dahulu membangun unit-unit usaha yang akan menopang kegiatan operasional di masa mendatang sehingga meskipun SPP atau DKG dari orang tua murid tersendat atau partisipasinya minim, tetapi penghargaan kepada gurunya tetap layak. Inilah yang dilakukan oleh para pengusaha timur tengah, mereka mendirikan sekolah untuk berkhidmat kepada Rabb dengan biaya sangat terjangkau bahkan tidak jarang mereka membuat sekolah geratis, namun tetap saja ujroh guru dan kariawannya pantastis. 

Ketiga, Lemahnya Pemahaman Agama Pendidik dan Tenaga Pendidik

Sebagian besar lembaga pedidikan islam tidak didukung oleh pendidik dan tenaga pendidik yang propesional sesuai skill kafaah keilmuannya. Dengan kata lain ada guru yang propesional secara keilmuan terapan tapi tidak memiliki pemahaman ulum syar’i yang baik. Hal ini menjadi masalah serius bagi lembaga pendidikan islam. 

Umumnya kita ketahui sekolah islam memiliki visi yang sangat agung dalam menentukan target lulusannya, tapi pembelajarannya tidak terintegrasi dengan visi-misi yang telah ditentukan karena gurunya propesional dalam mengajar mata pelajarannya tapi tidak memiliki ruh ilahiyah dalam mata ajar yang diajarkannya. Contoh; seorang guru IPA menerangkan tentang struktur mata dari bulu mata, kelopak mata, air mata, pupil sampai retina beserta fungsinya. Penjelasannya hanya sebatas bulu mata fungsinya menahan debu yang masuk ke mata, air mata fungsinya untuk mengurangi sakit yang diderita manusia akibat masuknya benda-benda liar ke dalam mata dan bla-bla-bla. 

Jika hanya sebatas itu maka peserta didikpun akan memahaminya sebagai knowlage semata, tapi minim dari bersyukur kepada penciptanya karenanya tidak ada bedanya antara sekolah islam dan sekolah umum. Adapaun yang semestinya dilakukan adalah guru menjelaskan ending dari semua itu yaitu betapa maha besarnya Allah azza wajalla yang telah menciptakan setuktur mata manusia dengan demikian fliknya dan semua berfungsi sesuai tupoksinya. Allahu akbar 

Keempat, Lemahnya Persatuan Antar Lembaga

Lemahnya persatuan antara lembaga pendidikan islam menjadi keperihatinan tersendiri bagi dunia pendidikan khususnya pendidikan islam. Bukan rahasia lagi jika satu lembaga dengan lembaga lain merasa saling bersaing, sehingga yang ditonjolkan adalah kelebihan lembaganya dan kekurangan lembaga lain sehingga satu sama lain saling berlomba membesarkan lembaganya sendiri, bukan membesarkan lembaga islam. Padahal kita ketahui bahwa semua lembaga islam memiliki tujuan yang sama yakni menda’wahkan ajaran islam kepada masyarakat luas agar islam benar-benar menjadi rahmatan lil’alamin bagi peradaban manusia. 

Maka mestinya yang dilakukan adalah membangun lembaga islam secara bersama-sama. Lembaga islam yang telah menjadi pavorit pasti akan diburu oleh masyarakat untuk mendaftarkan anak mereka agar bisa menjadi siswa di sekolah tersebut, sehingga tidak jarang kapasitas kemampuan untuk menerima siswa lebih kecil dari jumlah pendaftar yang berharap. Akhirnya hanya yang terleksi sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh lembaga tersebut yang akan diterima. Selebihnya dibiarkan terseok mencari sekolah dan akhirnya terperangkap pada sekolah-sekolah yang tidak memiliki visi islam yang kuat. Padahal mestinya kelebihan siswa yang tidak diterima tersebut bisa ditransper ke sekolah islam yang lain meskipun berbeda nama. Itu sangat bisa dilakukan jika para pengelola bersatu padu dan bekerjasama membangun lembaga islam bukan panatik dengan lembaganya sendiri. 

Kelima, Lemahnya Hubungan Dengan Media

Lembaga-lembaga pendidikan non muslim menjalin hubungan erat dengan media, mereka bermesraan dengan media meskipun mereka harus mengalokasikan dana besar untuk urusan itu. Inilah yang kebanyakan oleh lembaga-lembaga pendidikan islam diabaikan. Ada banyak alasan, diantaranya masalah finansial, masalah koneksitas, masalah aliran, masalah pemahaman dan lainnya. Sebenarnya tidaklah sulit berhubungan dengan media asalkan kita memahami apa yang dibutuhkan olehnya. 

Media itu membutuhkan berita dan uang untuk biaya menerbitkannya, maka seyogyanya lembaga-lembaga islam menyiapkan kebutuhan itu. Tapi yang paling penting adalah perbanyak silaturrohim insya Allah media akan sangat senang jika mereka didatangi. Di sinilah peran humas lembaga pendidikan dibutuhkan karenanya lembaga pendidikan harus mencari humas yang hebat, propesional dan memiliki jaringan yang luas. 

Wallahu’alam…
Semoga bermanfaat….




Lebih baru Lebih lama

Iklan

Iklan

Formulir Kontak