Kisah Motivasi "Sahabat Surat Miskin" Part - 9


Oleh: Elbar

"Mawar 1.000 Warna"


TendaBesar.Com - KISAH - Tak terasa waktu sedemikian cepat berlalu. Serasa baru kemarin lomba itu di gelar dan sampai kini ia masih menyisakan kenangan panjang. Ya .. Setahun sudah Mahmud dan para santri menimba ilmu di pondok sederhana itu. Makin hari perkembangan ilmunya meningkat dengan cepat, bagai angin sepoi yang menyapu setiap sisi gunung dengan lembutnya, Mahmud kian hari kian terkenal dengan kecerdasannya, di setiap event lomba ia senantiasa tampil menjadi peserta, tidak hanya di kalangan pesantren ia dikenal, melainkan telah merambah ke sekolah-sekolah lain. Di sela-sela mengisi kegiatan di lingkungan masyarakat, tidak jarang T.G.H. Ahmad Hanafi  memuji muridnya yang satu ini.

Hari itu pelajaran ilmu faraidh sedang berlangsung, banyak siswa yang bingung dan susah memahami ilmu yang satu ini. Meskipun telah berulang kali diterangkan oleh ustaz yang mengajar namun tetap saja pelajaran ini menjadi hantu tersendiri  bagi sebagian siswa. Di samping harus menghafal ahli warisnya, ilmu faraidh juga mengharuskan untuk menghafal rumus  pembagiannya. 

Mahmud siswa yang tidak banyak bicara itu memang siswa yang genius, ia menganggap ilmu faraidh sama dengan ilmu lainnya, sama dengan matematika, IPA, IPS atau bahkan PAI. Dan konon  ilmu faraidh adalah asal muasal dari ilmu matematika dan ilmuan islamlah yang paling berjasa  pada perkembangan ilmu  matematika tersebut. Ya  dialah… Al Khawarizmi atau di barat dikenal dengan sebutan Averoiz, ada juga Ibnu Sina yang di barat dikenal dengan Avie Cena,  kuarren Buchan…? soalnya selama ini kita telah dibohongi oleh  para ilmuan dan sejarawan barat yang pendusta…

Hameeda Bilqies si primadona kelas adalah salah satu siswi yang mengalami kesulitan dalam memahami ilmu faraidh. Dia sering terlihat memperhatikan Mahmud saat pelajaran itu berlangsung, dia iri melihat Mahmud yang seolah tidak ada beban dalam mempelajari ilmu yang super sulit itu. 

“Ya Allah andai engkau memberanikan hamba  bertanya pada anak yang kalem dan genius itu gumamnya sembari memperhatikan Mahmud yang asyik mengutak atik jawaban soal latihan dari ustaznya”. 

Tak sengaja Mahmud menoleh dan memergoki Hameeda Bilqies yang sedang memperhatikannya…

“Ada apa gerangan…tanyanya dalam hati…adakah sesuatu yang aneh dariku, ataukah dia tidak suka dengan perilakuku?” 
Berbagai pertanyaan muncul di dalam benaknya…Hameeda Bilqies yang kepergok sedang menaruh perhatian memalingkan wajahnya sembari tersipu. Mahmud melanjutkan kegiatannya mengotak-atik rumus faraidh kesukaannya itu. 

Teng…teng…teng…bel tanda keluar main berbunyi…Mahmud dan kawan-kawan tak ayal berhamburan keluar mencari udara segar setelah cukup lama berebut oksigen dalam ruangan kelas itu. Kebiasaannya yang tidak suka ngumpul ngalor ngidul seperti siswa yang lain, membuatnya langsung menuju ruangan paforitnyanya perpustakaan. Ingatannya masih terpaku pada pandangannya yang tidak sengaja beradu dengan si primadona kelas. 

“ya Allah kenapa hamba merasa ada sesuatu atau aku cuman gede rasa aja alias GR…he..he.. Gumamnya” 

Mahmud mengakui meskipun jarang berinteraksi dengan Hameeda Bilqies  namun kejadian tadi terasa sangat berbeda, tidak biasanya Hameeda Bilqies memperhatikan seseorang cukup lama, dan kenapa perhatian itu justru dialamatkan kepadanya yang nota bene tidak terlalu akrab dengan para akhwat (para siswi).

Terlintas dalam hayalnya adakah dia menaruh perhatian padaku, atau…aaah…

“ya Allah kenapa hamba berfikir yang bukan-bukan.. tidak mungkin langit disatukan dengan bumi, begitulah Mahmud mengumpamakan dirinya dengan semua temannya yang nota bene berpunya” 

Aku ini anak yang mampu berdiri di tempat ini atas kemurahan Allah lewat secarik kertas yang bernama surat miskin, tidak mungkin seorang Hameeda Bilqies yang sudahlah memiliki paras cantik bak Dina Lorenza, kaya pula, memiliki perhatian khusus terhadap manusia kismin alias kere abiz seperti aku…

“Astaghfirulloh…ya Allah ampuni hamba yang telah berperasangka atas ketetapan-Mu…”

Ditengah lamunannya yang panjang sembari memegang buku faraidh di tempat baca perpustakaan Mahmud dikejutkan oleh suara akhwat…

“Assalamu’alaikum…terdengar suara lembut dan berkarakter khas”

“Wa…wa…wa’alaikum salam jawab Mahmud sembari tersipu…”

Hameeda Bilqies muncul bersama sahabat dekatnya si bongsor Maisaroh…emm…

“Apa boleh ikut belajar bersama lanjut Hameeda Bilqies…sembari tersenyum..”

“Emm…emm  boleh..boleh…”

Mahmud menjawab dengan gagap…sembari mencuri pandang menyapu wajah Hameeda Bilqies yang cantik itu.

“Subhanallah…benar-benar cantik gumam Mahmud dalam hati”

“Akhi aku boleh duduk di sini..?”

“Oya silahkan jawab Mahmud sembari tersipu” 

“lagi belajar apa..? Hameeda Bilqies melanjutkan pertanyaan…

“Emm…  lagi mengulang menghafal pelajaran ahli waris" jawab Mahmud dengan hati berdebar…

Ya Allah gumamnya jangan Engkau biarkan hamba terbuai dengan kecantikan faras makhluk-Mu ini. Jangan engkau hujamkan dalam hati hamba perasaan yang hamba paling takut memikulnya “Cinta”, ya Allah… Hameeda Bilqies Engkau ciptakan dengan faras yang sangat cantik, wajahnya yang ayu, tutur katanya yang lembut menambah kesempurnaan dalam penciptaannya. 

Hampir setiap siswa ingin dekat dengannya, tidak hanya dari kelas VIII bahkan dari kakak kelas IX juga konon banyak yang telah berkirim surat kepadanya, namun sepertinya belum ada tanda-tanda siapa yang berhasil menaklukkan hatinya. Siswa sekelas yang sangat ingin mendapatkan perhatian Hameeda Bilqies adalah, Khalid dan Soepratman Ghazi . Sepengetahuan Mahmud sudah berkali-kali Soepratman Ghazi melayangkan surat pujian, namun entahlah apakah Hameeda Bilqies pernah memberi jawaban atau tidak Mahmud tidak tau dan juga tidan ingin banyak tau tentang urusan orang lain…

“Sudah selesai menghafalnya..?" Hameeda Bilqies melanjutkan obrolan…

“Alhamdulillah jawab Mahmud dengan perasaan yang makin mengguncang”.

Maisaroh yang menemani Hameeda Bilqies sibuk membolak-balik buku, entah dia memang sedang mencari dan membutuhkan buku bacaan atau hanya sekedar pura-pura mencari kesibukan.

“Akhi kenapa antum itu berbeda dari teman-teman yang lain…setiap bel keluar berbunyi antum jarang berkumpul dengan teman-teman, aku perhatikan akhi hanya mengnjungi dua ruangan di lingkungan sekolah ini, ruang kelas dan perpustakaan…tanya Hameeda Bilqies dengan bertubi tubi bak hakim yang sedang mengintrogasi terda’wa, aku  benar-benar salut sama akhi..”

“Oo…ya…ukhti… syukran ‘ala ihtimaamik ‘alaiya, “ ya terimakasih atas perhatiannya”

Mahmud menghela nafas dan kembali berucap

“ Ya Allah sebenarnya aku tidak pantas berada di sini ukhti”

“emangnya kenapa antum mengatakan demikian, ada yang salah dengan diri antum”

“Bukan tapi  aku bisa menginjakkan kaki di sini atas perjuangan keras ibu dan ayahku, mereka telah merelakan harga diri mereka demi secarik kertas yang menjadi sahabatku untuk mendapatkan keringanan biaya di sekolah ini”

Hameeda Bilqies mengkrutkan dahi semberi tidak paham apa maksud Mahmud.

“Maksud antum tanyanya kembali…”

“Afwan ukhti.. sebenarnya aku tidak ingin memberitahukan masalah ini sama siapapun”

“Kalau akhi tidak keberatan hanyak kepadaku aja antum sampaikan gimana, barangkali aku bisa belajar banyak, please” kata Hameeda penuh harap

Mahmud terdiam sejenak, ia menghela nafas panjang sembari menunduk dan menatap tanah dalam-dalam, terbayang dalam lintasannya peristiwa satu setengah tahun lalu dimana dia pingsan saat dirinya ditanya kemana hendak melanjuatkan sekolahnya, namun yang membuat Mahmud makin tenggelam dalam kesedihan adalah perjuangan ayahnya yang berjalan berkilo-kilo meter untuk mendapatkan surat keterangan miskin, ia merasa bersalah dan berdosa telah membuat ayahnya menderita dengan keinginannya. itulah yang menyebabkan dia tidak ingin menghabiskan waktunya dengan sia-sia. Hameeda Bilqies dengan sabar ingin mengetahui apa sebenarnya makna dari ungkapan Mahmud:

“aku bisa menginjakkan kaki di sini atas perjuangan keras ibu dan ayah, mereka telah merelakan harga diri mereka demi secarik kertas yang menjadi sahabatku untuk mendapatkan keringanan biaya”.

Mahmud mengangkat kepalanya dan ia menjelaskan dengan panjang lebar, ia memulai…

“Ukhti… sungguh beruntung orang-orang yang lahir dari keluarga yang berkecukupan, mungkin salah satunya  ukhti. Berbeda denganku, aku lahir dari keluarga yang diuji oleh Allah dengan serba kekurangan, ayahku seorang pekerja kasar, pencari kayu bakar di tengah hutan, ibuku seorang ibu rumah tangga yang tegar, tidak pernah mengeluh dan senantiasa mengajarkan sifat sabar, zuhud dan kona’ah kepada kami anak-anaknya.

Pada saat aku kelas 6, aku pernah meninggalkan sekolah (bolos) selama satu minggu karena aku diwajibkan menggunakan sepatu oleh pak guru. Ya waktu itu sudah dekat ujian EBTANAS. Jangankan untuk  membelikanku sepatu, untuk makan kami sehari-hari saja, kami sering memakan nasi singkong dengan lauk pauk daunnya” 

Hameeda Bilqies makin simpati dengan cerita Mahmud itu sembari terus menatap Mahmud dengan mata penuh arti.

“Mahmud melanjutkan ceritanya waktu itu hanya satu yang aku inginkan, aku harus bisa membeli sepatu tampa membebani orang tuaku, aku tidak boleh menjadi orang lemah apalagi harus  putus sekolah karena tidak punya sepatu kata Mahmud. Aku bolos sekolah bukan karena aku takut menghadapi masalah tapi aku ingin mencari jalan keluar, aku ikut nelayan bersama pamanku di dusun Melase selama satu minggu penuh dengan harapan aku bisa mendapatkan uang untuk membeli sepatu”.

“Orang tuaku sempat khawatir karena selama satu  minggu aku tidak pulang dan beliaupun tidak tau kemana aku pergi, demikian juga teman-temanku. Alhamdulillah dari ikut nelayan itu aku bisa membeli sepatu. Ayahku menangis melihat perjuanganku itu dan itulah yang membuat mereka senantiasa tidak  pernah lelah membimbingku. Satu masalahku usai namun ada satu hal yang sangat aku takutkan yakni aku tidak  bisa melanjutkan sekolah. 

Orang tuaku telah mewantiku dari jauh hari, beliau tidak mampu membiayaiku. Dengan kata-kata yang sangat bijak ayahku pernah berkata dan kata-katanya itu senantiasa terngiang dalam benakku :

“Anakku.. kamu harus bersabar ya.., ayah tidak mampu melanjutkan pendidikanmu ke Tsanawiyah  karena ayah  tidak kuasa menanggung beban biayamu, bagaimana ayah mampu menyekolahkan kamu ke jenjang yang lebih tinggi sementara pekerjaan ayah hanya sebagai buruh kayu bakar yang hasilnya hanya cukup untuk makan kita sehari hari”.

Mahmud kembali terdiam, suaranya tertahan dan dia kembali menghela nafas panjang.

Hameeda Bilqies yang menyimak dengan seksama cerita Mahmud luluh, tanpa sadar buliran bening mengucur deras ke pipinya, ia benar-benar terharu dengan kisah perjuangan Mahmud yang luar biasa, berkali-kali ia menyeka air matanya namun tak kunjung berhenti, entah telah berapa iya menyeka air matanya itu.

“Subhanallah gumamnya…ya Allah seberat inikah engkau menguji Mahmud, adakah hikmah di balik semua ujian-Mu ini untuknya, engkau mengujinya dengan banyak derita meskipun ia terliat bahagia, sementara Engkau menguji hamba dengan serba kecukupan dan banyak tertawa, ya Robbi ya ghaffar… Ampuni hamba yang mungkin selama ini kurang pandai besyukur kepada-Mu. ya Allah kuatkan hati Mahmud dan limpahkan rahmat-Mu untuknya, begitulah do’anya dalam hati, lama dia tenggelam dalam lamunannya sampai Mahmud pun terheran dengannya”

“Mahmud apakah aku masih boleh mendengarkan cerita perjuanganmu tanyanya  memecah suasana hening…”

“Apa ukhti masih tertarik…?  Mahmud kembali menegaskan…”

“Insya Allah… aku ingin banyak belajar sabar dari akhi jawab Hameeda Bilqies lembut sekali”

“Pada waktu acara perpisahan sekaligus pengumuman hasil EBTANAS digelar di sekolahku. Aku diumumkan sebagai peraih NEM terbesar yakni 38,62 dan masuk lima besar peraih NEM tertinggi di kecamatan Gunung Sari. Namun bagiku semua itu tidak punya arti karena tetap saja aku tidak mampu melanjutkan pendidikanku. Mungkin teman-temanku pada bergembira dengan acara perpisahan itu namun aku sebaliknya, aku takut dengan perpisahan itu, aku takut kehilangan teman-temanku, kehilangan guruku dan kehilangan kebahagian dan keceriaanku selama di sekolah dasar, aku menangis dan bersedih, Ya  ku akui aku cengeng, aku hanya mampu meratapi nasibku yang kurang berntung, ya Allah…Mahmud menahan suaranya…Namun ternya sekenario Allah itu selalu memberi kejutan. Hanya berbekal saran dari salah seorang guruku, pak guru Najamuddin, orang tuaku termotivasi melanjutkan pendidikanku dengan menggadaikan harga dirinya...” Mahmud meneteskan air matanya… 

“Maksud akhi..? Hameeda Bilqies Penasaran… 

“ya ayahku harus menempuh perjalakun berpuluh-puluh kilo meter, di bawah terik matahari, berhiaskan peluh yang mengucur laksana hujan, melintasi pegunungan dan persawahan menyelusuri jalan setapak menuju desa dan kecamatan untuk  mendapatkan secarik kertas yang bernama Surat Keterangan Miskinn, tragis memang tapi itulah kenyataan yang harus kami lalui dan surat miskin inilah yang membuat aku berada di sini sekelas dengan ukhti…”

“Masya Allah gumam Hameeda Bilqies sembari larut dalam harunya”

Dia kembali menyeka air matanya yang mengucur deras hingga membasahi pipinya yang jelita. Maisaroh juga ikut merasakan apa yang dialami oleh Mahmud, tak ketinggalan pipinya pun basah oleh air matanya yang ia juga tidak menyangka akan keluar. 
“Maaf,  saya sudah curhat sama ukhti …”

“Gak apa-apa akhi justru aku yang berterimakasih, aku telah mendapatkan pelajaran yang luar biasa hari ini, selama ini aku jarang bersyukur atas nikmat Allah yang telah dilimpahkan-Nya kepadaku.. oya trus gimana…?

“Ya itulah yang membuatku tidak ingin menyia-nyiakan perjuangan dan pengorbanan orang tuaku, mungkin teman-teman mengangap aku sombong atau kuper, itu tak apa bagiku, aku hanya ingin agar orang tuaku bangga denganku, aku ingin mereka menyaksikan anaknya bisa berprestasi dibawah ujian  kemiskinan yang mereka dertia. Aku percaya bahwa Allah menguji kami karrena kami mampu menghadapi ujian tersebut dan Alhamdulillah meskipun kami miskin, kami tidak pernah meminta-minta kepada orang lain melainkan hanya kepada-Nya, segala keluhan kami, senantiasa kami curahkan kepada-Nya dan Surat Keterangan Miskin ini adalah bukti keridhoan-Nya”

“Subhanallah desah Hameeda Bilqies dalam hati sembari berucap…terimakasih akhi antum telah memberikan banyak inspirasi kepadaku, aku akan belajar banyak bersyukur dari antum insya Allah…”

Mahmud hanya tersenyum dan mengangguk..

“Oya apa boleh aku minta bantuan sama akhi…”

“Apa yang bisa aku bantu untuk ukhti?...Mahmud mempertegas apa maksud Hameeda Bilqies..”

“Aku ingin sekali bisa ilmu faraidh, apakah akhi mau bantu belajar bersama di rumahku? tafaddhol akhi ajak siapa saja yang mau ikut, insya Allah aku sama Maisaroh dengan senang hati bisa belajar bareng sama akhi… aku tunggu ya..”

“Mmm… insya Allah jawab Mahmud.  waktunya kapan…? tanyanya memastikan” 

“Hari ahad ini bisa…kembali Hameeda Bilqies menawarkan…”

“Baik insya Allah jawab Mahmud tanda setuju”

“Kalau begitu kami tunggu kehadirannya ya..

Sambil tersenyum Hameeda Bilqies pamit undur diri 

Teng…teng…teng… terdengar bunyi lonceng tanda masuk kelas, Mahmud bergegas menuju kelasnya demikian juga Hameeda Bilqies dan Maisaroh. Mahmud merasakan ada semangat membara yang bergolak dalam jiwanya,  dipercaya temannya untuk mengajarkan pelajaran faraidh adalah suatu kebanggaan baginya. Namun ada hal lain yang  ia rasakan, ya.. ada sesuatu yang tiba-tiba melekat dalam hatinya, perasaan bahagia, senang, dan segalanya menjadi indah. Ya..mungkin itulah perasaan cinta yang biasa dirasakan oleh anak baru gede.

“Ya Allah…adakah perasaan ini berkah atau sebaliknya musibah, hamba tau Engkau telah menguji hamba dengan rasa ini, apakah hamba akan tergolong orang yang tidak tau diri dengan menduakan cinta yang selayaknya untuk-Mu, ya Allah hamba tau berpacaran itu sesuatu yang engkau benci, karena syari’ah islam sangat menjaga kemuliaan dan kesucian pemeluknya. Ya Allah hindarkan hamba dari perbuatan mendekati zina apalagi terjerumus kedalamnya”

Demikian Mahmud khusyuk dalam do’anya. Di sisi lain Hameeda Bilqies juga merasakan sesuatu yang berbeda, ia merasakan  ada getaran yang mulai menyerang jiwanya, anak laki-laki kalem yang genius dan shalih itu telah mampu menghipnotis perasaannya meskipun anak itu tidak pernah mengatakan kata cinta. Perasaan itu bagai mawar seribu warna, yang mulai mekar dan senantiasa menghadirkan keindahan, kebahagiaan dan keceriaan. 

“Ya Allah adakah dia memiliki perasaan yang sama pada diri hamba.. Adakah dia bisa menjadi bagian dari hidup hamba…?” 
Hameeda Bilqies tenggelam dalam lamunannya…

“Astagfirullah… jangan engkau jadikan rasa ini melebihi rasa cinta hamba kepada-Mu, bimbinglah hamba agar senantiasa mengingat-Mu dan setiap langkah hamba senantiasa dalam ridhomu” 

Hameeda Bilqies makin larut dalam do’anya, di satu sisi ia merasa Mahmud adalah sosok yang baik sehingga ia berharap suatu saat ia bisa bersama orang yang bersahaja itu, tidak hanya sekedar sebagai teman namun lebih dari itu, di sisi lain ia tidak ingin perasaan cintanya kepada Allah dikalahkan oleh perasaannya kepada makhluk-Mu. Hameeda Bilqies sangat paham bahwa mencintai sesama adalah sesuatu yang wajar namun making love, berpacaran adalah sesuatu yang dimurkai Allah karena perbuatan itu termasuk  perbuatan  mendekati zina. Ya Allah  ampuni hamba-Mu…

Demikianlah keduanya tenggelam dalam rasa yang sama, namun keduanya orang shalih dan shalihah yang senantiasa taat kepada Rabb-nya, sehingga cinta itu hanya dirasa dalam lubuk hati mereka, dan itulah cinta yang sesungguhnya, cinta karena Allah dan benci karena Allah…indah bukan..?

to be continue...

Lebih baru Lebih lama

Iklan

Iklan

Formulir Kontak