Berbagi Kisah Anak-Anak Yatim


Oleh: R. Ismail Prawira Kusuma M. E. I.,
Pengasuh Ponpes Yatim-Dhuafa Takwinul Ummah Karawang



TendaBesar.Com - Opini - Namanya Candra. Kedua orang tuanya sudah meninggal dunia. 

Dia termasuk generasi yatim pertama yang mengaji ke tempat saya di tahun 2009. Saat itu dia baru kelas 6 SD, tapi badannya sudah gede. 

Namun, bukan itu yang membuat saya selalu ingat padanya, melainkan ucapanya yang agak aneh. Ketika mendengar kabar duka ada orang meninggal dunia, bukannya mengucapkan kalimat istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi roji’un), malah kalimat hamdalah yang keluar dari mulutnya… Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin

Waktu saya Tanya kenapa, ia Cuma nyengir. Saya jadi penasaran. Selidik punya selidik, ternyata dia seorang “penggali kubur”. 

Saya benar-benar terkejut. Anak seusia itu jadi penggali kubur? Masya allah…

Tentunya Candra melakukan itu bukan untuk sekedar mengisi waktu luang, atau karena hobi,atau karena jiwa sosialnya yang tinggi. Bukan itu semua. Ia melakukannya karena memang membutuhkan. Ia butuh upahnya, agar dapat menyambung hidupnya.
Selain sebagai penggali kubur, rupanya Candra juga biasa melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar lainnya. Mendorong gerobak bakso, membersihkan rumah orang, menjadi pesuruh, dan lain-lain. Pokoknya apapun dia kerjakan, asalkan mendatangkan uang. Sebab, kalau tak bawa uang, dia tak berani pulang. Kakak perempuannya, dimana ia tinggal saat itu, jauh-jauh hari sudah mengultimatum: “tidak ada makan tanpa bawwa uang”.



Itulah sepenggal kisah tentang Candra.

Betapa berat beban anak 12 tahun ini. Saat teman-teman sebayanya masih berlindung di keteduhan kasih sayang orang tuanya, Candra sudah harus terpanggang oleh teriknya kehidupan. 

Anak ini harus diselamatkan, pikir saya. Cara paling tepat adalah dengan mengirimnya ke pesantren, sehingga dia bisa focus belajar. Sebab, jika masih di rumah, tentu dia tak akan dapat mengelak dari kewajiban mencari uang. 

Namun, ketika tawaran itu saya sampaikan, dengan seluruh biaya saya yang tanggung, ia malah menampik. Dia lebih memilih dapat uang recehan setiap hari, hasil ia bersimbah keringat, daripada menuntut ilmu di pesantren. Ketika saya Tanya alasannya, dia bilang, “Puyeng A, belajar wae mah”.

Demikianlah potret kehidupan yatim piatu yang saya saksikan. Miskin dan bodoh. Keduanya membentuk lingkaran setan yang nyaris tak dapat dibedakan mana ujung dan mana pangkalnya. 

Mulanya saya mengira bahwa kebodohan itu cukup diatasi dengan memberi ilmu pengetahuan. Ternyata saya keliru. Ada penyakit “bodoh” yang penawarnya bukan Cuma belajar, dan ada jenis kebodohan yang tetap eksis meskipun sudah dibanjiri ilmu pengetahuan. 

Barangkali itulah jenis kebodohan yang menjangkiti anak-anak asuhan saya. Kebodohan yang diakibatkan lemahnya motivasi dan rendahnya kualitas gizi. 

Ketika pertama kali saya bertanya kepada anak-anak yatim ini; apa cita-cita kalian? Sebagian besar mereka diam saja, malah tampak bingung, bibir cengar-cengir, seolah mereka berkata, “apakah pantas kami punya cita-cita?”

Mungkin,  dengan gizi yang hanya mereka dapatkan dari sebungkus mie instant, yang masih juga harus dibagi untuk 7 orang, otak mereka tak cukup punya energy untuk berpikir tentang cita-cita… 

Dengan kemampuan anak-anak yang seperti itu, kegiatan tahfizhul Qur’an yang menjadi program utama di pesantren jadi agak terhambat. 

Untuk menghafal surat-surat pendek saja, susahnya bukan main. Melekatkan hafalan di otak anak-anak itu seolah sedang menggurat di atas air. 

Rasanya, bukan hanya sabar yang dituntut dari saya sebagai pengajar, tapi juga kesanggupan untuk terus menemukan ide-ide baru yang segar. 

Misalnya saja peristiwa yang melibatkan seorang santri berusia 7 tahun, sebut saja namanya Mika. Dia masuk ke pesantren di tahun2012. Saya punya firasat sebenarnya anak ini cukup potensial. Tapi, entah mengapa, sampai berbulan-bulan ia masih kesulitan menghafal. Hafalan Al-Qur’an-nya mentok di surat al-Qari’ah. Sudah berulang kali setor, tapi masih juga kacau. Saya nyaris kehabisan sabar. Saking kekinya, akhirnya saya keluarkan uang 5 ribu, saya tempelkan di kening, lalu saya suruh anak itu mengulang hafalannya sambil menatap kening saya…. Subhanallah… saat itu juga al-Qari’ah langsung lancar!

Cara lain yang saya lakukan untuk menyadarkan anak-anak yatim ini adalah dengan menyelenggarakan pelatihan motivasi secara rutin. Alhamdulillah, untuk program ini, saya banyak mendapatkan bantuan dari teman-teman trainer dan motivator dari Jakarta. Mereka rutin menyambangi pesantren saya, bertemu anak-anak yatim, dan berbagi semangat hidup bersama mereka. 

Adapun soal peningkatan kualitas gizi, Alhamdulillah, istri saya (Bunda) yang mengambil peran. Melihat anak-anak itu kesulitan belajar, ia langsung bergerak memperbaiki menu makan. 

Menu susunan Bunda itu cukup istimewa. Dalam sepekan, anak-anak bisa mengkonsumsi daging dan ikan lebih dari 4 kali. Paling banter mereka dapat telur. Hanya sesekali makan mie instant; itu pun biasanya pakai telur juga. 

Bagi saya yang sejak kelas 3 SD sudah mondok, menu seperti itu sangatlah mewah… Dahulu saya ketemu daging ayam hanya sepekan sekali, yaitu hari Jum’at. Itu sebabnya di pondok saya dulu hari Jum’at biasa disebut “sayyidul ayyam”, karena pada hari itu santri makan ayam… 

Alhamdulillah, dengan perubahan menu tersebut, saya merasa anak-anak mengalami peningkatan dalam hal kemampuan belajar. Otak mereka mulai pintar. Hafalannya pun bertambah lancar. Malah ada bonusnya juga; tubuh mereka kini lebih cepat membesar. 

Tapi, kualitas gizi saja tidak cukup. Ada yang jauh lebih penting dalam pertumbuhan anak dari sekedar makanan bergizi, yaitu factor halal. 

Dari pengalaman saya mendidik anak-anak ini, saya memahami bahwa nutrisi halal adalah modal dasar bagi seorang anak untuk pembentukan akhlaqul karimah. Jika sedikit saja tertanam makanan haram dalam tubuh anak, maka yang sedikit itu akan menjadi energy perusak yang dahsyat. Celakanya, yang rusak bukan hanya tubuh, tapi fikiran dan jiwanya. Dan jika itu sudah kadung terjadi, maka memperbaikinya merupakan pekerjaan yang mahaberat. 

Kondisi ini saya temukan pada beberapa anak asuh saya. Satu diantaranya bahkan sempat menjadi harapan saya untuk kader masa depan. Anak tersebut masuk pesantren sejak kelas 4 SD. 

Meskipun bukan termasuk anak jenius, tapi anak ini punya potensi yang lumayan, terutama pada bidang tahfizh dan seni baca Al-Qur’an. Saya sering mempercayainya untuk mengajari santri-santri lain jika saya berhalangan. Bahkan, dia kerap diminta menjadi imam di masjid dan mushola sekitar pesantren. 



Namun, sedalam harapan yang saya tanam terhadap anak ini, sedalam itu pula kekecewaan yang harus saya petik kemudian. Ibarat pepatah, “untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak,” begitulah akhirnya saya harus mengembalikan anak ini kepada keluarganya. Dia terbukti melakukan perbuatan yang -- untuk ukuran pesantren -- sangat tabu. Perbuatan itu pun bukan terjadi sekali dua kali, tapi dilakukan berulang kali. 

Itu terjadi di akhir 2017, saat anak itu duduk di kelas 2 SMA. Artinya, anak itu sudah delapan tahun dalam pengasuhan saya. Dan boleh dibilang saya gagal!...

Memang, mengembalikannya kepada keluarga bukanlah keputusan yang terbaik, tapi bagaimanapun aturan harus ditegakkan, supaya jadi pelajaran bagi yang lain. 

Ketika saya diskusikan dengan sebagian keluarganya, terungkaplah sebuah kenyataan bahwa anak ini memang dahulu sering diberi makan dari hasil yang haram….

Namun, bagaimanapun keadaannya, dan seperti apapun perangainya, anak yatim tetaplah anak yatim… Mereka adalah manusia yang dikasihi dan dicintai Allah dan Rasul-Nya. Sebelum mereka baligh, dan sebelum mereka mampu bertanggung jawab atas diri mereka sendiri, mereka tetaplah anak-anak yatim yang tanpa dosa. Kehadiran mereka menjadi jalan kemuliaan bagi sesiapa yang peduli kepadanya. Dan yang paling penting, doa mereka mustajab!

Mereka bahkan terkadang tak perlu berdoa secara khusus. Ketika mereka mengungkapkan sesuatu, asalkan jujur, maka itu sudah cukup bagi Allah  untuk menurunkan pertolongan-Nya. 

Saya pribadi masih sering terheran-heran dengan mustajabnya kata-kata anak-anak ini, meskipun sudah berulang kali saya menyaksikannya.

Di suatu sore, seorang santri yatim berusia 8 tahun mengetuk rumah saya. Dia mengadu soal handuknya yang robek. 

“Beliian ya A…” katanya dengan nada memelas.

“Iya,, in sya Allah besok ya. Sekarang sudah sore.” Jawab saya. “Pakai saja yang ada dulu…”

Besok paginya, belum lagi saya pergi untuk membelikan handuk itu, mendadak datang rombongan ibu-ibu majlis ta’lim. Mereka membawa bantuan untuk pesantren dan anak-anak santri. 

Selain santunan berupa uang, juga paket sembako. mereka juga membagikan bingkisan untuk para santri. 

Dan tahukah bingkisan apa yang mereka berikan? 30 buah handuk, lengkap dengan peralatan mandi yang lain. 

Masya Allah… Rupanya inilah jawaban dari Allah Ta’ala atas aduan yatim kecil itu kemarin sore. Dia meminta handuk. Dan Allah mengabulkannya… Bukan hanya satu buah… Tapi 30 buah… Sehingga santri di asrama kebagian semua 

Alhamdulillah..

Lebih baru Lebih lama

Iklan

Iklan

Formulir Kontak