Oleh: Nurcahyo Adi
TendaBesar.Com - Kisah - Covid itu spesifik dan unik, termasuk juga bagaimana kita secara personal memaknainya. Bisa jadi pengalaman emosional saya bersama nakes ini berbeda dengan yang lain.
Namun yang ingin saya sampaikan dengan tulisan ini adalah apresiasi dan empati saya kepada para nakes yang berjuang mempertaruhkan nyawanya, yang saya lihat sehari hari selama 24 hari, saya dirawat di Rumah Sakit.
Namanya dokter Auliawati (bukan nama sebenarnya). Dia dokter yang bertanggung jawab atas kesembuhan istri saya.
(Struktur di RS itu kira kira, ada penanggung jawab secara keseluruhan pasien covid, kemudian ada dokter penanggung jawab masing-masing pasien dan dokter spesialis dan ada dokter jaga yang bergiliran).
Mereka per detik, menit dan jamnya didukung oleh perawat kepala dan para perawat sukarelawan lainnya.
Dokter Auliawati itu memandang tulisan spidol besar merah di sebuah kertas putih A4, yang dikirim oleh anak saya,
“Mama, Papa Cepat Sembuh!”.
Tulisan itu dipajang istri saya di meja sebelah tempat tidurnya, sebagai penyemangat istri dan saya untuk sembuh.
“Itu dari anak ibu?’, tanya dokter Auliawati.
“Iya dok”, jawab istri saya.
(Saat itu saya sudah masuk di ruang ICU, sehingga istri saya sendirian di kamar perawatan. Rupanya itulah yang membuat “stress” istri saya (dia baru cerita belakangan). Kondisi istri saya itu menarik perhatian dokter dan perawat. Mereka berusaha menghibur sebisanya istri supaya tidak panik menghadapi situasi itu).
Dokter Auliawati kemudian memalingkan mukanya. Meskipun dia seorang professional, tapi sebagai manusia biasa, dia tidak bisa menahan emosinya.
“Tulisan itu mengingatkan anak-anak saya di Bandung. Saya terpaksa berpisah dengan anak-anak saya selama menangani covid ini. Kadang saya merasa sedih juga, bu. Tapi ini panggilan tugas profesi saya. Sudah menjadi konsekuensi saya, memilih profesi ini”.
Rupanya kata-kata inilah yang kemudian menyentuh istri saya. Dalam istilah psikologi kalau tidak salah, inilah yang disebut “connected”, yaitu terhubungnya (emosi) dua orang yang mempunyai perasaan yang sama. Akhirnya dua orang ibu ini saling curhat dan saling menghibur, melepas posisi masing sebagai dokter dan pasien. Hubungan fungsional, pasien dan dokter ini kemudian berubah menjadi hubungan dua orang teman.
Lain lagi penghiburan yang dilakukan perawat Relawati (bukan nama sebenarnya). Perawat ini dengan gayanya yang berbeda, meskipun ada rasa emosional juga, mengomentari tulisan dari anak saya.
“Itu dari anak ibu ya?”
“Iya suster”, jawab istri saya.
“Anak ibu berapa?”
“Satu sus”
“Anak saya juga satu, laki laki. Sekarang ini lagi bandel bandelnya. Baru lulus SMP, sekarang di SMA. Tapi namanya anak ya bu, ya kangen juga saya?”
“Bukannya tiap hari ketemu?”
“Ngga bisa bu. Kami ini semua nakes, ditempatkan di sebuah mess, bukan pulang ke rumah setiap hari”
“Suster tinggalnya dimana?”
“Di Jakarta. Meskiipun dari Jakarta, kita tidak bisa pulang setiap hari. Enam hari bekerja, empat hari _off. Dalam masa off itu, kami boleh pulang ke rumah. Kalau negatif kami boleh pulang, kalau positif ya ngga boleh pulang, untuk menghindari kluster covid di rumah kami masing-masing”.
Akhirnya dua ibu saling bercerita bagaimana mendidik anak laki satu satunya. Kok ndilalah ya ada aja topik yang menjadi kesamaan. Rupanya suster itulah yang menjadi lead suster yang menangai istri saya. Ikatan emosional itu, rupanya juga bermanfaat saling merelease perasaan masing-masing.
Empati kami berdua semakin hari semakin bertambah melihat dengan kepala sendiri, bagaimana mereka berjuang demi pasien untuk bisa sembuh selama 24 jam sehari.
Dalam sehari mereka mengenakan pakaian Hazmat, yang seperti astronot itu, selama 8 (delapan) jam, tidak boleh dilepas. Hanya kelihatan mata, bagian tubuh lainnya terbungkus rapat. Tidak boleh/bisa makan minum selama itu. Semua aktifitas dilakukan dengan pakaian tertutup, termasuk kegiatan ibadah.
Saya dan istri berusaha setiap saat menyapa mereka. Menanyakan nama mereka, dari mana dan lain-lain pertanyaan personal yang sering tidak terkait dengan persoalan medis.
Para sukarelawan itu, ternyata tidak saja berasal dari Jakarta dan sekitarnya, tetapi juga dari berbagai tempat di Indonesia. Ada yang dari NTT, Sulawesi Tenggara, Sumaterra Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, jawa Tengah, Jawa Timur dan lain-lain.
“Suster dari mana?”
“Saya dari Lamongan pak, tapi saya semenjak kuliah perawat sudah tinggal di Jakarta”.
“Soto Lamongan ya, sus?”
“Wah … bapak ini suka kuliner ya?”
“Bisa masak Soto Lamongan?”
“Wah kalau saya ngga bisa pak. Ibu saya yang pinter masak. Punya warung Soto di Lamongan. Saya suka makannya aja pak, makanya gembrot …. he he he …”, katanya dengan ketawa, sambil mengusap alkohol ke jari saya sesudah mengambil darah untuk sampel.
Setelah dirawat beberapa hari, kami berdua menyadari, betapa berat pekerjaan mereka. Resiko tidak main-main. Resiko adalah kematian diantara mereka sendiri, karena setiap hari bergaul dengan pasien yang terpapar covid.
“Berat ya bro bekerja seperti ini?”, tanya saya ke perawat Dominggus dari NTT (bukan nama sebenarnya).
“Ngga juga pak. Ini pekerjaan biasa saja buat kami para perawat. Pekerjaannya tidak sulit. Ini tidak biasa saja (dia tidak menyebut ini kesulitan atau hambatan), karena pakai pakaian Hazmat selama delapan jam. Saya dengar, yang masalah itu sebagian ibu-ibu yang dapat tamu bulanan”
“Bapak kenal pak Putranto, perawat senior kita, yang pernah merawat bapak juga?”
“Iya ada banyak nama, tapi saya ngga ingat satau-satu”
“Beliau gugur pak, kemarin. Ya itu resiko kami pak”.
Saya terdiam sejenak, ingin melihat emosinya ketika mengatakan itu. Tapi tidak tertangkap, karena hanya terlihat matanya dan Dominggus tetap saja melanjutkan pekerjaannya mengukur tekanan darah dan mengambil sampel darah.
Menyebut kata gugur itulah sebagai ungkapan penghormatan kepada mereka teman sejawat, yang meninggal ketika menjalankan tugas. Nama nama itu gugur satu satu, yang menurut saya merekalah sejatinya pahlawan, tanpa pernah terekspose oleh medsos yang gegap gempita
“Maaf ya pak. Tarik nafas dalam. Sakit pak?”, begitu setiap kali mereka akan mencubles bagian tubuh saya.
“Terimakasih. Sehat selalu ya bro, jaga kesehatan baik-baik”. Itu yang kemudian sering kami katakan kepada mereka, mulai dari para dokter, perawat, pramusaji, petugas kebersihan, petugas teknis dan lain-lain, yang sering keluar masuk ruang perawatan kami. Hanya itu yang bisa kami lakukan.
-(Saya beberapa kali mengabadikan pakaian hazmat yang mereka kenakan. Di belakang baju mereka banyak tulisan lucu-lucu dan penyemangat kepada pasien. “We care and cure for you”. “Fight till the end”. “Pantang menyerah sebelum pasien sembuh”. “Blassius for you (dengan gambar hati, Ninik cantik, Eva ada untuk anda dan lain-lain)”.
-Banyak kata yang memberi semangat. Banyak juga ungkapan ekspresi mereka unkuk menghibur diri diantara mereka. Kadang mengharukan juga melihat tulisan-tulisan itu.
Sayang photo yang saya abadikan di pakaian mereja itu ikut hilang bersama HP saya yag tergondol maling, setelah keluar RS).
Pengalaman singkat kami selama 24 hari di RS ini memberi pelajaran yang sangat berharga bagaimana kita menghargai sebuah profesi, apapun itu. Ternyata kita banyak ngga tahu tentang hal di luar kita yang selama ini mengungkung egoisme pikiran dan emosi kita. Tapi ada hal yang secara universal menjadi common behavior yang bisa kita lakukan kepada siapapun, yaitu berkata terimakasih dan empati. Say thanks and empathy.
Meskipun dalam sistem yang sempurna sekalipun, pasti saja ada kekurangan mereka merawat dan memperhatikan pasien, karena keterbatasan jumlah mereka dibandingkan dengan jumlah pasien. Selama kami dirawat, beberapa kali saya dengar dari perawat bahwa RS terpaksa menolak pasien karena sudah overloaded.
Mengetahui dan memahami pekerjaan mereka, jumlah mereka, pengorbanan mereka, kami hampir tidak pernah komplain atas pelayanan yang diberikan. Apapun kami terima sebagai konsekuensi kami sebagai pasien. Tak pantas rasanya harus menyalahkan mereka yang sudah berjuang dengan nyawa mereka untuk pasien covid untuk hal-hal yang kecil.
Di tengah “penderitaan” yang kita rasakan, masih ada orang yang lebih menderita. Dibandingkan dengan mereka, manja amat ya kita kalau hanya jadi pasien, mengeluh kepada mereka yang lebih berat menghadapi situasinya?
Itulah positive sight yang saya dapatkan. _When we lose sight of positive and focus on the negative, we’re more likely treat others poorly; we might insult them, and ignore or exclude them, kata Locklear, Taylor and Ambrose (2020).
Ketika kita kehilangan sisi positif dan hanya fokus pada hal negatif yang dilakukan oleh para nakes kepada kita (misalnya, makanan telat sedikit, ruangan telat dibersihkan, tidak tepat ambil sampel darah, obat telat, bel dipencet tapi ngga ada yang datang segera dll), maka kita akan memperlakukan mereka dengan tidak baik, merendahkan mereka dan menyepelekan mereka. Ini yang disebut Locklear et al. dengan uncivil behaviors yang kemungkinan semakin meluas (yang dipicu dengan adanya kasus covid ini).
Positive sight itulah yang disebut sebagai gratitude intervention oleh Locklear et.al.
- Strengthen motivation to behave prosocially.
Menguatkan motivasi untuk bertindak secara lebih sosial. Kita berempati terhadap para nakes sebagai bagian dari masyarakat kita.
- Foster close interpersonal relationships.
Mendorong hubungan interpersonal yang lebih dekat. Melihat para nakes tidak saja sebagai orang yang merawat kita, tapi juga mitra kita untuk sama-sma berjuang melawan covid.
- Improve self-control.
Meningkatkan kontrol pribadi. Kita memahami bahwa ini persoalan bersama, kita juga bertanggungjawab untuk bisa mengendalikannya. Motivasi untuk cepat sembuh, membantu meringankan pekerjaan para nakes itu.
- Enhance feelings of support.
Mengembangkan perasaan untuk mendukung orang lain. Para nakes butuh dukungan dan kerjasama dari kita sebagai pasien.
Nampaknya ke empat hal inilah yang rasa-rasanya perlu kita kembangkan, untuk sedikitnya membangun hubungan yang tidak sekedar hubungan fungsional, tetapi juga hubungan sebagai manusia biasa. Mereka juga butuh perhatian kita sebagai pasien dengan hal-hal kecil yang bisa kita lakukan.
Ketika kemarin dokter Wahyu mengatakan, “Selamat ya pak, akhirnya Bapak bisa merasakan betapa nyamannya Bapak bisa pulang ke rumah”.
Saya kemdian tertegun sejenak. Dalam pikiran saya kembali terbayang. Kami para pasien bisa pulang, seminggu, dua minggu, tiga minggu, atau sebulan. Tapi mereka, para nakes itu, belum tahu kapan mereka akan pulang kumpul secara normal dengan para keluarga mereka.
Saya juga ingin mengucapkan hal yang sama kepada mereka, “Selamat ya dok, selamat ya suster, selamat ya mas, selamat ya bu … sekarang bapak ibu bisa merasakan pulang ke rumah dan ketemu keluarga”.
Saya ingin mengucapkan itu segera. Tapi entah kapan.
(betapa tambah tidak mengertinya saya, ketika masih ada di antara kita yang berteori tentang covid, tentang konspirasi, tentang rekayasa, mengabaikan protokol kesehatan dan sejenisnya, di tengah sebagian saudara kita yang menderita karena virus dan mereka yang berjuang dengan taruhan nyawa untuk menyelamatkan nyawa sesama)
Bogor, 26 November 2020.
Nurcahyo Adi