Asas Produktivitas Islam


Oleh: Mudzakkir Khalil Khayyath
Praktisi Pendidikan


TendaBesar.Com - Opini - Dua kata untuk produktivitas Islam; libatkan Allah ! Di Indonesia terdapat organisasi keagamaan yang menjadikan ayat 37 surat Ibrahim sebagai asas utama pengkaderannya. Hasilnya, tidak butuh waktu terlalu lama untuk memproduksi ratusan cabang di seluruh Indonesia dengan berbagai amal dakwahnya.

Nabi Ibrahim as. mendidik anak keturunan beliau dengan empat langkah; mendo’akan, tidak memanjakan, mencari lingkungan yang baik dan dengan shalat (baca; Qs. Ibrahim [14]: 37). Faktanya, bisa kita perhatikan bagaimana shalat mampu memproduksi jumlah angka kunjungan para wisatawan mancanegara ke kota Makkah. Hasil produksi lainnya, kita bisa melihat bagaimana kota Makkah banyak menampung berbagai macam jenis buah-buahan. Padahal, rata-rata buah-buahan tersebut tidak memiliki pohon di kota tersebut. Bahkan di seantero Arab Saudi.

Selain nabi Ibrahim as., terdapat nabi Zakaria as. Dengan alasan khawatir terhadap nasib agama kerabatnya dan khawatir kerabat-kerabatnya tidak akan ada yang menyeru manusia menuju Allah ta’ala, nabi Zakaria memohon keturunan yang dapat mewarisi dan menolong dakwah beliau. Hasilnya, walau keadaan fisik beliau telah lemah, beruban dan telah tua, isteri beliau pun telah mandul; Allah menganugerahi beliau seorang anak bernama Yahya (Qs. Maryam [19]: 4-8). Spesialnya, “Kami belum pernah memberikan nama seperti itu sebelumnya.” (Qs. Maryam [19]: 7). Spesialnya lagi, “Dan Kami perbaiki istrinya.” (Qs. Al-Anbiya [21]: 90). Di dalam kitab-kitab tafsir, makna ashlahna di dalam ayat tersebut adalah Allah menjadikan istri beliau berkondisi baik pada akhlak dan baik untuk hamil dan melahirkan setelah sebelumnya mandul. Semua menjadi produktif karena memiliki visi dan misi yang baik.

Imtak sebagai Asas produktivitas Islam

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata produk memiliki arti barang atau jasa yang dibuat dan ditambah gunanya atau nilainya dalam proses produksi dan menjadi hasil akhir dari proses produksi itu. Adapun kata produksi berarti proses mengeluarkan hasil, dan kata produktif memiliki arti bersifat atau mampu menghasilkan dalam jumlah besar. Selain itu, produktif juga berarti mendatangkan (hasil, manfaat dsb), menguntungkan dan juga berarti mampu menghasilkan terus dan dipakai secara teratur untuk membentuk unsur-unsur baru. Sementara kosa kata produktivitas mempunyai arti kemampuan untuk menghasilkan sesuatu, daya produksi dan keproduktifan.

Berbicara tentang produktivitas Islam, maka yang dimaksud di sini adalah produktivitas-produktivitas yang bersifat positif. Bukan produktivitas negatif. Selanjutnya, karena produktivitas Islam terfokus pada konten-konten produktivitas positif, maka tentu asas utamanya adalah Iman dan Taqwa.

Dalam keyakinan aqidah Ahlussunnah, istilah Iman mencakup perkataan dan perbuatan. Keyakinan ini tentu sangat berbeda dengan keyakinan golongan Murji’ah yang menjadikan amal perbuatan hanya sebatas sebagai kesempurnaan iman dan bukan sebagai konsekuensi dari iman. Keyakinan Murji’ah di atas sangat berbahaya. Berbahaya karena telah membuka peluang besar untuk membunuh produktivitas seorang muslim. Karenanya, titik beda antara Murji’ah dengan golongan Khawarij adalah terletak pada budaya etos kerja pada Khawarij dan budaya kendor pada sekte Murji’ah. Bahkan, di dalam keyakinan batilnya; kelompok Murji’ah sampai pada keyakinan bahwa seseorang yang di dalam hatinya terdapat keimanan, sama seperti hati Abu Bakar dan Umar. Walau pun ia tidak pernah sujud sama sekali, tidak pernah melaksanakan puasa Ramadhan, senantiasa berzina dengan ibu dan saudarinya serta senantiasa meminum Khamr pada siang hari bulan Ramadhan, dalam keyakinan Murji’ah; orang tersebut adalah seorang mukmin yang imannya tetap sempurna.

Selanjutnya, dalam pandangan para ulama; taqwa adalah menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Atas dasar ini, pada uraian selanjutnya penulis berupaya senantiasa fokus menjadikan asas utama produktivitas dalam Islam adalah asas Iman dan Taqwa. Sebagai contoh praktisnya, Allah ta’ala berfirman;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُون.

“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika kalian hanya menyembah kepada-Nya.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 172)

Pada ayat di atas Allah ta’ala memerintahkan untuk memakan dari rezeki yang baik dan memerintahkan untuk bersyukur kepada Allah. Di dalam Islam, tidak mungkin Allah memerintah seseorang untuk mengerjakan sesuatu yang tidak bisa dia kerjakan (Qs. Al-Baqarah [2]: 286). Oleh karena itu, perintah tersebut ditujukan kepada orang mukmin. Hal ini memberi arti bahwa; kedua perintah tersebut hanya bisa dilakukan oleh seorang mukmin. Dengan demikian, iman seseorang mampu memproduksi amal ketaatan berupa kemampuan untuk memakan dari makanan yang baik (baik di sini mencakup cara meraihnya dan baik pada zat makanan itu sendiri). Kemudian, dengan bekal iman dan makanan yang baik tersebut seseorang mampu memproduksi ketaatan selanjutnya berupa syukur kepada Allah.

Di dalam kitab Suwar Min Hayat At-Taabi’in, penulisnya (Dr. Abdurrahman Ri’fat Basya) menceritakan tentang betapa keimanan seseorang mampu memproduksi amal shalih. Ketika Imam Hasan Al-Bashri mengajar di masjid Jami’ Bashrah, beliau membaca ayat;

وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُون.

“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu.” (Qs. Adz-Dzariyat [51]: 22)

Seorang laki-laki yang baru saja datang dan sedang menambatkan ontanya di depan masjid bergegas masuk masjid kemudian bertanya kepada Imam Hasan perihal ayat (22 surat Adz-Dzariyat) yang baru saja ia dengar. Setelah itu, lelaki tersebut langsung menyembelih ontanya untuk disedekahkan. Setelah lama tidak bertemu, lelaki tersebut berjumpa kembali dengan Imam Hasan Al-Bashri di masjidil Haram lalu mengutarakan kebenaran isi kandungan ayat 22 surah Adz-Dzariyat tersebut dalam kehidupannya kepada beliau. Imam Hasan lalu membacakan ayat ke-23 kepadanya;

فَوَرَبِّ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنْطِقُون.

“Maka demi Tuhan langit dan bumi, sungguh, apa yang dijanjikan itu pasti terjadi seperti apa yang kamu ucapkan.” (Qs. Adz-Dzariyat [51]: 23)

Selanjutnya, pada ayat 2 dan 3 surat At-Thalaq Allah ta’ala berfirman, yang artinya;

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (Qs. At-Thalaq [65]: 2-3)

Berdasar pada ayat di atas, selain Iman; takwa juga merupakan asas produktivitas yang mampu menjadikan seorang mukmin memiliki sifat produktif. Praktisnya, takwa mampu melahirkan jalan keluar dan menghasilkan rezeki. Suatu ketika sahabat Ibnu Abbas ra. ditanya oleh seseorang mengenai status hukum ucapan talak yang ia ucapkan tiga kali dalam satu waktu yang ia tujukan pada isterinya. Sahabat Ibnu Abbas ra. bertanya balik kepada lelaki tersebut, “Apa dosa anda sehingga Allah tidak lagi memberi jalan keluar bagi anda?” Iya. Seorang suami yang telah menceraikan isterinya tiga kali memiliki kesulitan untuk dapat kembali kepada isterinya. Kecuali dengan menjalani syarat yang sangat berat untuk dilalui.

Pada ayat-ayat produktivitas yang lainnya Allah ta’ala berfirman;

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.

“Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadah-ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.” (Qs. Al-An’am [6]: 162)

Ayat di atas sering kita baca di dalam shalat sebagai bacaan do’a iftitah kita. Di dalam do’a iftitah, ada empat hal yang dipersembahkan kepada Allah ta’ala oleh orang yang shalat; shalat, ibadah-ibadah, hidup dan mati. Ibadah shalat sangat menentukan nasib ibadah-ibadah yang lainnya. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda;

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَلَاتُهُ فَإِنْ وُجِدَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ تَامَّة.

“Sesungguhnya hal yang paling utama dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Jika didapati (shalatnya) sempurna, maka dicatat telah sempurna.” (HR. An-Nasa’i)

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ بِصَلَاتِهِ فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ.

“Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka sungguh dia telah menang dan sukses. Dan jika shalanya rusak, maka sungguh dia rugi dan merugi.” (HR. An-Nasa’i)

Selanjutnya, ibadah sangat menentukan kwalitas hidup seseorang. Allah ta’ala berfirman;

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُون.

“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. An-Nahl [16]: 97)

Setelah memaparkan bahwa diantara syarat suatu amal dikatakan sebagai amal shalih adalah iman, Syaikh Syingqhithi menjelaskan bahwa makna kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) adalah diberi rizki yang halal dan diberi peluang beribadah lagi di dunia.

Kwalitas hidup seseorang sangat menentukan kwalitas kematian seseorang. Allah ta’ala berfirman;

قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُم.

“Katakanlah, “Matilah kalian karena kemarahan kalian itu.” (Qs. Ali Imran [3]: 119)

Ayat di atas merupakan lanjutan dari ayat 118 surat Ali Imran tentang larangan menjadikan orang di luar Islam sebagai teman kepercayaan. Baik dari kalangan Yahudi dan Nasrani yang selamanya tidak akan pernah ridha terhadap umat Islam (Qs. Al-Baqarah [2]: 120) maupun dari kalangan kaum munafik. Kaum yang kebenciannya bisa dideteksi lewat ucapan mulutnya dan yang mereka sembunyikan lebih dahsyat (Qs. Ali Imran [3]: 118). Di dalam beberapa kitab tafsir ditegaskan bahwa orang-orang yang benci dan suka memproduksi kemarahan terhadap umat Islam akan membawa kemarahannya sampai ia mati. Bahkan Syaikh As-Sa’di sampai mengatakan, “Bahkan mereka senantiasa tersiksa dengan (kemarahan) nya hingga mereka mati. Mereka berpindah dari siksa (marah adalah siksa) dunia menuju siksa di akhirat.” Dari sini muncullah sebuah istilah, “Barangsiapa terbiasa hidup dalam suatu kondsi, maka ia akan mati dalam kondisi tersebuat dan akan dibangkitkan dalam kondisi itu juga.”

Pelajaran paling penting yang dapat kita ambil dari ayat yang sering kita baca di dalam do’a iftitah kita (Qs. Al-An’am [6]: 162) adalah bahwa, ibadah shalat yang baik mampu memproduksi ibadah-ibadah yang lainnya. Ibadah-ibadah yang baik akan mampu memproduksi kwalitas hidup yang baik (hayatan thayyibah). Kehidupan yang baik akan mampu memproduksi kwalitas kematian yang baik. Dalam hal ini, kematian terbaik adalah ketika nyawa seseorang memiliki nilai tukar di sisi Allah. Bukan nyawa yang terbunuh sia-sia karena hukuman rajam bagi pezina muhshan, qishash bagi pembunuh seorang mukmin tanpa alasan yang benar, atau bukan nyawa yang terbunuh sia-sia karena merendahkan Allah, Rasul-Nya dan agama-Nya serta bukan pula nyawa-nyawa mubazir lainnya.

“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (Qs. At-Taubah [9]: 111)

Imam Nawawi mengatakan, “Ayat ini menjadi dalil diperbolehkannya berhutang.” Dalam hal ini, Allah ta’ala berhutang kepada hamba-Nya yang mukmin. Orang mukmin menjual diri dan hartanya, sementara Allah membayarnya dengan surga. Entah berapa ratus dan ribu tahun lagi baru Allah membayarnya. Tetapi bagi seorang mukmin sejati, “Mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepadanya.” (Qs. Ali Imran [3]: 170). Sehingga pada level produksi ini, kematian bukan lagi menjadi sesuatu yang dikhawatiri. Bahkan, Imam Syahid Hasan Al-Banna sampai pada level menyebut, “Kematian adalah seni.” Ibarat seorang pekerja yang selalu menanti datangnya akhir atau awal bulan untuk mengambil gajinya. Karena gaji seorang mukmin baru bisa diterima dari Tuhannya setelah kematiannya, maka cita rasa kematian bagi seorang mukmin adalah seperti rasa senang yang menghampiri para pekerja di akhir atau awal bulan penggajian.

Kematian menjadi mengerikan karena shalat tidak mampu memproduksi amal ketaatan baru lainnya, karena amal ibadah tidak mampu memproduksi kehidupan yang lebih baik, karena kehidupan tidak mampu memproduksi kematian husnul khatimah. Pada akhirnya, seseorang tidak berani berpindah dari alam dunia menuju alam baka. Karena dunianya telah ter-design dengan sangat baik, sementara alam bakanya masih dibiarkan reot.

Secara praktis-idealis, Nabi Ibrahim as. telah mampu menjadikan shalat sebagai sesuatu yang sangat produktif untuk melahirkan kebaikan duniawi dan ukhrawi. Tidak saja bagi diri dan keluarga beliau, tetapi juga bagi generasi berikutnya. Beliau berdo’a;

“Wahai Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Wahai Tuhanku, (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Qs. Ibrahim [14]: 37)

Jika ayat di atas dikaji dengan kajian kependidikan, maka dapat ditemukan bahwa nabi Ibrahim as. mendidik anak keturunan beliau dengan empat langkah; dido’akan, tidak dimanja, mencari lingkungan yang baik dan dengan shalat. Faktanya, shalat yang beliau tekankan kepada anak keturunannya mampu memproduksi jumlah angka ziarah penduduk dunia terhadap kota Makkah. Hasil produksi lainnya adalah banyaknya jumlah buah-buahan di Makkah, padahal kebanyakannya tidak memiliki pohon di kota tersebut. Wallahu ta’ala a’lam !!! 

Lebih baru Lebih lama

Iklan

Iklan

Formulir Kontak