Tragedi Idol dan Kebutuhan Kapitalisme Gelobal!

Oleh: Dr. Adian Husaini

TendaBesar.Com - Opini - Pakar theologi Adian Husaini kembali memaparkan tentang satu pemahaman yang  sangat penting khususnya bagi mereka yang beragama islam.

Dalan tulisan terbarunya yang berjudul "Tragedi Idol dan Kebutuhan Kapitalisme Gelobal" yang dipost di webnya "https://adianhusaini.id" itu menyinggung tentang salah satu kata yang sederhana namun sangat besar dampaknya buat kehidupan banyak orang. Iya kata itu adalah kata "Idol". Bagaimana pemahaman selanjutnya? mari baca dan pahami di tulisan berikut ini! 

https://adianhusaini.id
“Idol” sudah menjadi kosa kata bahasa Inggris yang berasal dari bahasa Yunani “eidolon”; artinya “image” atau“form”. The American Heritage Dictionary mengartikankata “idol” sebagai “An image used as an object ofworship”, atau “one who is adored”. “Dari kata ‘Idol’berkembang kata “idolatry” kemudian dimaknai sebagai“The worship of idol”, yakni ‘penyembahan satu idola’atau “blind devotion”, yakni, ‘ketaatan yang membuta’.

Kekaguman, pemujaan, biasanya memang berujung pada ketaatan yang membabi-buta. Itu tampak dari perilaku banyak anak-anak yang menggilai idol pujaannya di kalangan selebritis, mulai dari perilaku mengoleksi album, foto, tanda tangan, lalu meniru-niru perilaku dan model pakaiannya. Sebagian pemuja idol ini sampai rela menyerahkan dirinya untuk diperlakukan saja oleh idol-nya.

Berbagai acara di media televisi yang mempertemukan antara idol dan pemujanya sudah ditayangkan. Biasanya digambarkan, bagaimana histerisnya, ketika sang pemuja berjumpa dengan sang idola. Satu bentuk kegetaran hati, kebahagiaan, keterharuan, yang menurut al-Quran, harusnya dialami oleh seorang mukmin, saat ‘berjumpa’ dengan Allah, ketika sang mukmin melaksanakan ibadah salat.

Jadi, kata “idol” memang berkaitan dengan aspek“pemujaan”, “penghormatan”, dan “penyembahan”. Para juara dalam program-program pemilihan idol akan ditampilkan sebagai “idol”, idola, yang dipuja, dihormati, dan mendapatkan berbagai fasilitas hidup duniawi yang menggiurkan.

Pesatnya perkembangan industri showbiz membutuhkan banyak “idol”. Sebagaimana layaknya, dunia showbiz, sosok-sosok pujaan dibangun di atas “realitas kamera” atau “realitas semu”, yang sifatnya temporer, sesuai dengan kebutuhan dunia bisnis hiburan. Di atas realitas inilah dibangun mitos-mitos. Mitos tentang idol, mitos tentang sang pujaan, mitos tentang sang bintang, yang cantik/tampan, berbakat menyanyi, berakting, dan beruntung.

Demam acara “Idol” di berbagai negara merupakan gambaran yang tepat dari sebuah proses globalisasi di bidang “fun” atau hiburan. Pada kenyataannya, globalisasi semakin mengarah kepada satu bentuk‘imperialisme budaya’ (cultural imperialism) Barat terhadap budaya-budaya lain.
Prof. Amer al-Roubaie (alm.), pakar Globalisasi di International Institute ofIslamic Thought and Civilization-International IslamicUniversity Malaysia (ISTAC-IIUM), mencatat:

“It hasbeen widely acknowledged that the present waves of global culture trends are mainly of Western products, spreads across the world by the advancement inelectronic technologies and various form of media andcommunication systems. Terms such as culturalimperialism, media imperialism, cultural cleansing,cultural dependency and electronic colonialism areused to describe the new global culture as well as itsimplications on non-Western societies.”

Hegemoni Amerika dalam dunia hiburan dan pembentukan budaya global, dapat dikatakan sebagai satu bentuk “American Cultural Imperialism”. Industri film Amerika dan berbagai stasiun TV-nya mendominasi pembentukan budaya global. Dan dibalik itu semua adalah mempromosikan kepentingan-kepentingan Amerika dengan mengekspor modernitas dan mempropagandakan konsumerisme. Globalisasi adalah satu masyarakat post-kapitalis yang mendorong kapitalisme dengan mempromosikan sejumlah karakteristik dari kapitalisme.

Sebagaimana dikatakan Holton: “Americanization thesis is that it is capitalism rather than Americanization that is becoming globalized.” Itulah yang sebenarnya sedang menimpa umat manusia diseluruh pelosok dunia. Sebuah proses imperialisme budaya yang dilakukan budaya Barat, yang akhirnya juga tidak lepas dari kepentingan (interests) dari negara-negara kuat. Dalam bukunya, Ideologies of Globalization: Contending visions of a New WorldOrder, Mark Rupert menulis satu bab berjudul “The Hegemonic Project of Liberal Globalization”.

Ia mencatat, bahwa globalisasi adalah proyek politik dari kekuatan sosial dominan dan akan selalu problematis dan mendapat tentangan: “There is no reason to believe that liberal globalization is ineluctable… it has been the political project of an identifiable constellation of dominant social forces and it has been, and continues to be, politically problematic and contestable.”

Berbagai kajian tentang fenomena globalisasi telah banyak diungkapkan. Namun, kuatnya arus konsumerisme, hedonisme, dan ‘narkotikisme’ yang dijejalkan kepada masyarakat dunia melalui berbagai acara-acara hiburan, memang sulit dibendung.

Sihir-sihir dunia showbiz begitu menawan dan menyapu akal sehat. Manusia terus dijejali cara berpikir pragmatis dan hedonis, untuk melahap apa saja, menikmati hidup, tanpa peduli apakah cara yang dilakukannya menghancurkan nilai-nilai akhlak dan agama.

Jika liberalisasi di bidang moral sudah berlangsung, maka sebagian kalangan akan mencoba-coba mencari legitimasi dari agama, sebagaimana dalam banyak kasus perzinahan. Meskipun Bibel secara tekstual melarang perzinahan, tetapi masyarakat Barat tidak memandang zina sebagai satu aksi kriminal.

Dalam banyak kasus, bukan hanya masyarakat yang tersihir oleh “Idol”. Tetapi, sang idol sendiri terjebak dalam kesepian dan kegersangan hidup. Di tengah-tengah limpahan materi dan popularitas, ia justru menderita secara batin. Ujung-ujungnya, biasanya konsumsi narkoba atau bahkan sampai bunuh diri.

Hanya jiwa yang tekun berzikir kepada Allah yang akan meraih kebahagiaan. Harta, tahta, popularitas – jika disyukuri dan digunakan sepatutnya – adalah potensi kebaikan yang sangat besar. Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Itulah yang akan membawanya kepada kebahagiaan.

Jika harta, tahta, dan popularitas menjadi tujuan, maka manusia akan hidup dalam lingkaran pemujaan syahwat yang tiada ujungnya. Penderitaan dan kesepian akan terus mencengkeram batinnya, meskipun ia tampak tersenyum di depan kamera. 

Wallahu A’lam bish-shawab
Lebih baru Lebih lama

Iklan

Iklan

Formulir Kontak