TendaBesar.Com - Jogja - Musibah itu datang kadang tidak terprediksi. Meskipun di abad ini alat untuk memprediksi bencana baik banjir, gempa bumi, tsunami, gunung meletus sudah banyak dan canggih, namun tidak sedikit bencana itu datang tiba-tiba, tanpa permisi dan tanpa terprediksi.
Hal itulah yang terjadi pada Erupsi Gunung Semeru yang terjadi pada Sabtu siang (4/12) begitu mengagetkan banyak orang.
Tidak hanya masyarakat awam, bahkan ilmuan sekalipun sangat terkejut dengan kepulan awan panas yang membumbung tinggi bak kiamat sudah datang. Hal itu nampak pada video viral yang beredar di masyarakat.
Hal itu dipandang aneh karena sebelumnya gunung Semeru tak terdengar berita peringatan-peringatan yang berkaitan dengan erupsi, bahkan masyarakat tidak mendapat informasi tentang kondisi bahaya dari gunung tersebut. Benar-benar unpredictable.
Salah satu dari ilmuan yakni Pakar Vulkanologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Wahyudi sangat merasa aneh dan dibuat bertanya-tanya tentang erupsi gunung Semeru.
Wahyudi mengungkapkan bahwa hasil penghitungan kubah lava di Gunung Semeru mestinya bisa digunakan untuk memprediksi jarak luncur awan panas saat gunung itu erupsi, tapi di sini tidak terjadi.
“Seharusnya kubah lava itu bisa dihitung volumenya apalagi sudah ada teknologi image sehingga bisa diperkirakan jarak luncurnya. Ini yang membuat kita bertanya-tanya kenapa bisa ‘miss prediction’,” kata Wahyudi seperti dilansir ANTARA, Senin (6/12/2021).
Wahyudi menambahkan, sebenarnya informasi mengenai data kegempaan di Gunung Semeru memang ada peningkatan selama 90 hari. Dan peningkatan ini mestinya bisa digunkan untuk melakukan identifikasi gejala awal atau prekursor letusan.
“Sejak 90 hari itu ada peningkatan. Jadi rata-rata di atas 50 kali per hari dalam 90 hari terakhir. Bahkan ada yang sampai 100 kali per hari. Ini sebenarnya sudah tanda-tanda, bisa dijadikan prekursor terjadinya erupsi,” papar Wahyudi.
Sebelumnya Kementerian ESDM mengatakan bahwa faktor erupsi Gunung Semeru dipengaruhi oleh faktor eksternal yakni tingginya curah hujan. Wahyudi sepakat dengan pendapat Kementerian ESDM tersebut.
Wahyudi mengatakan bahwa Curah hujan yang tinggi di sekitar Semeru menyebabkan ketidakstabilan kubah lava sehingga menyebabkan longsoran awan panas hingga radius 11 km dari puncak.
“Sehingga jarak luncurnya jauh ya. Padahal prediksi awal hanya lima kilometer,” kata Wahyudi
Di tempat terpisah, Seismolog UGM Ade Anggraini menyebutkan bahwa, berdasarkan data seismik PVMBG, grafik gempa letusan Semeru selama 90 hari terakhir memang mengalami peningkatan. Data itu mengindikasikan kalau material sudah naik ke permukaan Semeru.
Namun yang sangat mengherankan, PVMBG mengungkapkan tidak adanya gempa vulkanik dalam (VTA) maupun gempa vulkanik dangkal (VTB) di gunung itu. Yang artinya bahwa sebenarnya tidak ada suplai material magma dari bawah ke permukaan.
“Jadi benar-benar sudah ada penumpukan material di permukaan lalu terjadi awan panas. Maka analisis mengarah kalau awan panas itu muncul disebabkan oleh runtuhnya kubah lava,” terang Ade.
Ade melilai bahw terjadinya ketidak pastian dalam erupsi gunung dipengaruhi karakteristik setiap gunung yang satu sama lainnya berbeda, termasuk Semeru.
Ade mengatakan bahwa erupsi yang terjadi pada Sabtu (4/12/2021) itu berkaitan dengan karakteristik erupsi Semeru yang berbeda dengan gunung api lainnya. Ketidak pastian itu memang diluar kemampuan manusia sebab manusia hanya mampu menganalisis tanda-tanda yang muncul kepermukaan.
“Ketidakpastian di dalam faktor yang kemudian membuat menjadi lebih panjang itu memang kadang di luar kuasa kita. Karena kita hanya berbicara dengan data analisis yang kita punya,” pungkas Ade.
Segala sesuatu tentunya tidak terlepas dari kehendak Tuhan. Tidak semua bencana bisa diprediksi karena keterbatasan ilmu yang dimiliki manusia.
(ah/tb)
Tags
Nasional